Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tarzan Kota yang Merindukan KTP

Bagi Bahari, nasib orang rimba sudah tamat, kecuali jika mau ikut dunia orang terang. Ia lebih bangga menggelandang di kota ketimbang bercawat memburu rusa.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI tegap itu mengulurkan tangan. ”Nama saya Bahari,” katanya dalam bahasa Indonesia yang teratur. Kontan saja teman-temannya tergelak, ”Mana pantas orang rimba namanya begitu.” Paras Bahari, yang puluhan tahun tersengat matahari hutan Jambi, tampak bertambah gelap. Senyumnya tersendat, terasa dipaksakan. Nama aslinya Nyusun. Sejak memeluk Islam dua tahun lalu, ia mengubahnya menjadi Bahari. Menurut perasaan anak Temenggung Tarib dari Air Hitam ini, nama baru itu lebih patut tercetak dalam KTP (kartu tanda penduduk), ”kartu sakti” yang akan diterimanya tak lama lagi. Bagi orang rimba, KTP merupakan tiket yang akan mengantarnya ke dunia terang. Dengan kartu ajaib ini Bahari akan mendapatkan jatah pengobatan gratis, dana bantuan untuk orang miskin, juga jatah bibit karet unggul. Bahari termasuk satu dari 50 kepala keluarga orang rimba yang mengikuti program transmigrasi mandiri dua tahun lalu. Mereka ditempatkan pada Satuan Permukiman I di Bangko, Jambi, dengan jatah rumah dan bahan pangan secukupnya. Tapi, setelah setahun, ransum makanan disetop karena memang begitulah aturan mainnya. Bahari dan teman-temannya kelabakan. Beberapa di antaranya menjual jatah rumahnya dan kembali masuk hutan. Yang lain, termasuk Bahari, mencoba bertahan, menguji peruntungan nasib di dunia terang. Mereka yang bertahan lalu mendatangi pemerintah daerah untuk menuntut dua hektare lahan garapan. Toh, ketika tuntutan itu dipenuhi, mereka tak mampu menggarapnya. Ada saja alasannya: letaknya terlalu jauh (tanah garapan 10 kilometer dari permukiman), atau lahannya berlumpur. ”Kami ini memang tak pandai mengurus tanaman seperti orang-orang Jawa itu,” kata Bahari terus terang. Melihat Bahari ogah-ogahan, seorang penduduk desa mencoba menawarkan uang sewa: dua juta rupiah selama dua tahun. Tanpa pikir panjang, Bahari langsung menyambar tawaran empuk ini. Bayangkan, dua juta rupiah, mimpi pun belum pernah ia melihat uang sebanyak itu. Seperti kesetanan, dengan uang sewa tanah yang segunung itu bapak satu anak ini menjajal semua kenikmatan ”orang terang”. Tempat perjudian menjadi persinggahannya yang pertama. Dasar tak bisa baca-tulis, Bahari ketiban apes: lebih dari separuh uang sewa itu ludes. Tapi, malam berikutnya, seperti tak kenal putus asa, ia kembali membuang duitnya ke comberan judi. ”Dasar tak punya otak,” kata seorang temannya di permukiman transmigrasi. Lelaki 37 tahun itu kini hidup sendirian. Anak-istrinya sudah lama ”mudik” ke hutan. Katanya, mereka tak sanggup menyesuaikan diri dengan dunia terang—tapi mungkin juga lantaran mereka tak tahan melihat kelakuan suaminya. Sehari-hari, Bahari tampak gentayangan di seputar permukiman trans-migrasi dan kebun sawit milik penduduk, mirip Tarzan masuk kota. ”Cari buah yang rontok,” katanya, santai. Tak aneh jika orang-orang desa mencurigainya sebagai salah satu maling sawit yang kini sedang marak. Orang rimba memang sering ketahuan mengutil buah berminyak itu karena mereka menganggap kebun sawit tersebut tumbuh di lahan miliknya. Bahari sendiri sudah bertekad mengubur takdirnya sebagai orang rimba selama-lamanya. Cawatnya sudah lama dibuang. Pelbagai pantangan sudah dilanggar. Telur dan daging hewan piaraan, yang semula tabu, kini menjadi menu mewah baginya. Mandi dengan sabun, yang diharamkan sewaktu di hutan, kini menjadi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ini yang paling pokok: ia sudah memeluk agama, perkara yang tak mungkin bisa diterima tetua adat. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi Bahari kecuali menguatkan tekadnya untuk tetap menjadi orang terang. Ia masih ingat bagaimana ia diperlakukan seperti anjing ketika masih bercawat dulu. Kalau makan di warung, ia selalu disuguhi makanan bekas dalam piring plastik kotor. Padahal, ia membayar sama dengan orang lain. Begitu juga jika menumpang minum, ia selalu diberi air dalam batok kelapa. ”Saya tak sanggup lagi dihina,” katanya, sambil meluruskan kaki. Agaknya Bahari masih kikuk duduk bersila—orang rimba lebih sering duduk jongkok mencangkung. Kini, satu-satunya harapan Bahari bertumpu pada KTP yang belum kunjung selesai itu. Dengan kartu berlapis plastik ini, ia memisahkan dirinya dari masa lalu, dari dunia gelap orang-orang barbar Air Hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus