PERAWAKANNYA tak istimewa, tapi semangatnya jangan ditanya. Remaja yang sedang mekar ini, umurnya 17 tahun, seperti siap melakukan apa saja. Membuka hompongan (ladang), berburu, memasang jerat, mencari ikan, adu renang, atau—yang satu ini dijamin tak ada orang Kubu yang bisa menandingi—membaca dan menulis.
Kemampuan Gentar dalam baca-tulis boleh jadi merupakan berkah para dewa kayangan yang, harus diakui, jarang sekali turun ke Bukit Duabelas yang centang-perenang itu. Bagi orang suku Kubu, baca-tulis adalah ilmu pelet untuk memikat mereka keluar dari hutan. Sekolah hanyalah melawan takdir, merusak akhlak, dan menghasut anak-anak rimba agar berlaku jahat. Karena itu, ketika Gentar ngotot ingin belajar seperti anak-anak Melayu di desa, para tetua adat menjatuhkan kata putus: Gentar harus diusir keluar dari pesaken (keluarga) orang rimba.
Tapi Gentar tidak gentar. Ia nekat menerima sanksi adat asal ”tidak lolo (bodoh) dan dikerot (ditipu) tauke seumur hidup”. Bagi Gentar, satu-satunya cara untuk mengubah nasib orang rimba bukanlah tombak untuk berburu atau hutan untuk berladang, melainkan otak untuk berpikir. Perbedaan "orang terang" dengan orang rimba bukanlah halom (alam) tempat hidup, melainkan, ”Mereka pintar, dan kami lolo selamanya.” Ia juga tak tahan disebut sebagai orang Kubu, yang berarti bodoh, jorok, terbelakang, dan berilmu hitam.
Ketika akhirnya Gentar nekat keluar dari hutan dan lari ke desa, justru kerabatnya yang bertangis-tangisan. Sambil melolong-lolong, ibu Gentar mendatangi tempat belajarnya sambil menenteng cuka pengencer getah karet. Perempuan tua itu meng-ancam mau bunuh diri dengan minum cuka pengencer jika Gentar tetap sekolah. Perang mulut berletusan bagai pesta mercon—perempuan rimba selalu berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak. Beruntung, amarah sang ibu bisa diredakan. Gentar dibolehkan belajar dengan syarat tak boleh lari dari rimba.
Tapi itu cerita tiga tahun lalu. Kini Gentar sudah naik pangkat. Ia bukan hanya siswa, tapi sudah dipercaya menjadi guru bagi anak-anak rimba. Saban hari, sambil menenteng jorot (perangkap) untuk menjerat landak atau kancil, Gentar menyelipkan pensil dan buku tulis di sela-sela lipatan cawatnya. Buku tulisnya sudah ringsek dimakan keringat, juga hampir penuh terisi coretan murid-muridnya. Ia harus segera minta buku baru kepada seorang fasilitator yang datang rutin dari Jambi, atau kalau terpaksa ia membelinya di toko tauke.
Saat ini ada belasan murid Gentar yang tersebar di Sungai Makekal, bagian barat Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka belajar sambil berburu bulus (kura-kura air tawar), tikus, tupai, atau menuba ikan. Hasil buruan dipakai untuk praktek ilmu hitung: jumlahnya dibilang satu per satu, lalu dijual ke tauke. Kini mereka tak khawatir lagi tertipu—ada Gentar, yang sigap dengan perkalian sampai jumlah jutaan.
Bukan hanya mengajar anak rimba, ilmu hitung juga bermanfaat dalam penjualan hasil hutan skala besar milik pesaken (keluarga) orang rimba. Gentar kini mahir mengalkulasi kiloan rotan atau getah karet, termasuk menghitung uang kembalian. Para tetua adat, meskipun belum ikhlas benar, kini menyerahkan semua urusan dagang kepadanya. ”Dulu sekolah dilarang. Sekarang mereka pakai otak saya,” kata Gentar, yang selain cakap memakai kemeja kini juga mandi dengan sabun.
Sepekan dalam sebulan, Gentar berhenti mengajar. Itu saat ia harus memusatkan perhatiannya pada belajar ”hidup”: belajar berburu yang benar. Remaja seusia Gentar mestinya sudah cukup umur untuk berpisah dari sudung (pondok) keluarganya dan menumpang ke rumah ”induk semang”, calon mertuanya. Sebagai semendo (calon suami), ia wajib mencarikan lauk untuk keluarga gadis yang diincar sebagai calon istrinya. Setelah dianggap mampu, barulah ia dibolehkan meminang.
Bagi Gentar, acara pertunakan (perjodohan) ini tampaknya sulit bukan kepalang. Mungkin lantaran sibuk memegang buku dan buah pensil, kecakapan Gentar dalam berburu agak ketinggalan. ”Mana ada orang tua yang mau mengambilnya menantu?” kata seorang tetua di Kubu. Tapi Gentar agaknya abai dengan ancaman ini. ”Mau bujang lapuk, biar lapuklah,” ia membalas, seperti tidak ambil pusing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini