Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Temenggung Enggrip: Macan Rimba yang Putus Asa

Temenggung Enggrip hampir hilang harapan. Gara-gara penebangan liar, rotan dan bahan baku obat-obatan kini makin sulit dicari.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MACAN yang satu ini tak punya taring. Malah sebaliknya, ia banyak tersenyum. Kepalanya gundul, matanya lucu seperti tukang ngocol di televisi. Temenggung Enggrip (artinya macan) memang bukan jenis tetua yang suka mengaum. Meskipun tugasnya mengadili dan menghukum pelanggaran adat, Enggrip tetap saja ramah, juga ketika menerima tamu asing. ”Yang penting adil,” katanya, lagi-lagi sambil tertawa. Enggrip memang bukan orang rimba udik yang kolot. Ia sudah kerap bersentuhan dengan dunia luar, bahkan pernah terbang ke Jakarta naik pesawat. Waktu itu ia mewakili suku Kubu dalam acara ”Pameran Suku-Suku di Indonesia”. Tentu saja ia menginap di hotel bertingkat, berbintang pula. Ini jadi perkara besar, karena Enggrip ternyata tak bisa buang hajat—kecuali langsung di atas bumi. Setelah beberapa hari salah tingkah karena menahan bendungan yang mau jebol, Enggrip akhirnya menyerah. Ia menguatkan hatinya berbisik-bisik dengan panitia. Untunglah, ada yang berbaik hati. Di suatu malam yang disepakati, Enggrip diantar ke Lapangan Monas. Jongkoklah di sana macan rimba kita yang tegap dan sakti itu, di bawah siraman lampu listrik ribuan watt—seperti kucing kota melepas hajat. Boleh jadi karena pergaulannya dengan dunia luar, Enggrip memberi banyak toleransi pada aturan adat yang mengekang. Yang paling penting, barangkali, tetua Makekal Tengah ini membiarkan anak-anak rimba belajar baca-tulis—bahkan kalau perlu masuk sekolah. Lelaki 40-an tahun yang hingga kini buta huruf itu menerima anggota LSM Jambi yang sukarela menjadi guru ”terbang” dengan tangan terbuka. Bagi Enggrip, kelestarian orang rimba dan hutan tempat hidupnya sulit dipertahankan dengan ke-kolotan adat. Orang makin padat, hutan kian susut. Dulu, ia berani mencegat dan mengusir para pembalok liar keluar dari wilayahnya. Tapi, kini keadaan berbalik. Jika mereka bertemu, bukan para pembabat hutan itu yang pergi menyingkir, melainkan malah Enggrip yang lari terbirit-birit. ”Mereka pakai pistol,” katanya dengan muka seram. Enggrip tidak akan lupa peristiwa dua bulan lalu, ketika seorang anak rimba ditemukan mati dengan peluru di dadanya. Kejadian di Sungai Kejasung Kecil itu sudah yang ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir. Sejak itu, Enggrip memakai taktik ”diplomasi” guna meredakan nafsu orang-orang desa mem-babat hutan. Ia mendekati tetua desa dan minta mereka menghentikan perambahan. Tapi beberapa kesepakatan yang sudah dibuat masih sering dilanggar. Setahun lalu Enggrip mulai membangun hompo-ngan (ladang karet) yang menjadi batas simbolis antara wilayah orang rimba dan orang desa. Di dalam hompongan, orang-orang Kubu menanam ubi dan cabai di sela tanaman karet. Berdasarkan hukum adat di Jambi, pembukaan ladang tak boleh melangkahi ladang milik orang lain. Karena itu, hompongan bisa menjadi semacam zona penyangga yang melindungi habitat hidup orang Kubu. Siasat Enggrip mempertahankan kerapatan hutan sangat penting untuk menjaga sumber penghidupan rakyatnya. Sejak pembalakan liar merajalela, hasil madu merosot tajam. Sepuluh tahun lalu, Enggrip masih bisa memeras delapan dirigen sekali panen. Kini, paling banter cuma dua. Hasil rotan juga sama saja. Liana yang membelit pokok kayu itu makin hari makin sulit dicari. Tapi, selain itu, keragaman tanaman hutan juga vital sebagai sumber apotek hidup. Sejak para transmigran memasuki wilayahnya 15 tahun lalu, Enggrip mencatat banyak penyakit baru yang sulit disembuhkan. Sebagai temenggung yang mesti menguasai pula ilmu pengobatan, Enggrip harus bisa mencari ramuan baru. Celakanya, jangankan resep baru, ramuan lama pun kini sulit didapat. Pelbagai jenis tanaman perdu bahan jamu tradisional Kubu sekarang lenyap bersama habisnya hutan di Bukit Duabelas. Barangkali kepunahan itu pula yang memaksa Enggrip kini lebih sering menggaruk-garuk gundulnya. Batok kepala yang pelontos itu dihuni banyak kutu. Sebagai temenggung, yang harus suci ketika memimpin upacara, Enggrip diharamkan menyentuh sabun atau sampo seumur hidup. Dulu, gangguan ini bisa diatasi dengan perasan minyak buah mindi. Tapi sekarang buah beracun itu sudah jarang didapat. Mau apa lagi, untuk mengurangi penderitaan, rambut di kepalanya dibabat habis. ”Biar dingin, he-he-he,” kata Enggrip sambil menggaruk-garuk kepala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus