Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UTANG luar negeri bikin pusing Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta. Baru dua bulan menjadi menteri, wakil bendahara Partai Golkar sudah harus meneken blue book, buku kumpulan proposal utang luar negeri yang diajukan sejumlah departemen yang akan disahkan menjadi proposal utang negara.
Utang baru ini gila-gilaan: US$ 12 miliar atau sekitar Rp 120 triliun. Bisa diduga, cicilan utang plus bunga yang harus dibayar akan menggerus APBN yang seharusnya cukup membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan rakyat lainnya. Mengerem nafsu berutang memang jadi niat Paskah begitu memasuki Bappenas. Bahkan, kalau perlu, dengan meminta haircut atau pemotongan pokok utang.
Tawaran Paskah memang mengejutkan. Ada yang menyokong, ada yang ketar-ketir. Kreditor berdatangan, meminta penjelasan. Juga, kolega Paskah sesama menteri. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bos Bappenas sebelum Paskah, gencar memberikan penjelasan yang bertentangan. Menko Perekonomian Boediono idem ditto. Gesekan antara Menko Perekonomian dan Bappenas memantik kecurigaan tentang perpecahan di tubuh tim ekonomi kabinet SBY.
Di jadwal yang padat dan tamu-tamu yang tak putus, Rabu pekan lalu, Paskah Suzetta menerima Y. Tomy Aryanto, Widiarsi Agustina, dan Wenseslaus Manggut dari Tempo untuk sebuah wawancara. Petikannya:
Dua bulan bekerja di Bappenas, apa yang Anda lakukan?
Saya soroti APBN. Soalnya perencanaan apa pun yang dibuat, semuanya didasarkan pada budgeting. Berbagai kebijakan fiskal tecermin di sana. Ternyata, saya menemukan adanya beban sangat berat dalam APBN 2006, yaitu pembayaran utang dalam dan luar negeri yang jatuh tempo cicilannya tahun ini.
Berapa besar?
Tahun ini, bunga utang dalam dan luar negeri yang harus kita bayar adalah 11,8 persen dari APBN atau Rp 76,6 triliun. Kalau pokok utang dihitung, maka totalnya Rp 171,6 triliun atau 26,5 persen dari anggaran. Bandingkan dengan belanja modal yang menjadi stimulans bagi perekonomian kita yang cuma 9,7 persen dari anggaran atau Rp 62,95 triliun. Jadi, utang inilah sebenarnya kanker anggaran dan ekonomi kita. Karena itu, program utama saya di Bappenas adalah mengurangi stok utang pemerintah di luar utang IMF dan swasta. Totalnya sekitar US$ 135 miliar.
Apa yang menjadi pertimbangan Anda mengurangi stok utang itu?
Dengan rasio utang seperti itu, jelas ini jadi beban anggaran dan mengurangi biaya pertumbuhan. Padahal, Presiden memerintahkan menterinya menurunkan tingkat inflasi dan menaikkan pertumbuhan. Karena itu, tak ada cara lain, beban utang harus dikurangi. Kalau APBN 2006 ini tak terjadi apa-apa, mulus sesuai rencana, suku bunga dibayar, pokok dibayar, stok utang kita itu bisa turun sampai 42,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Saya pengennya pada 2009 bisa turun maksimal hingga 31,8 persen. Karena itu, PDB harus digenjot dan stok utang dikurangi.
Caranya?
Yang paling ekstrem dan saya banyak ditentang adalah haircut atau pemotongan utang. Kita harus bicara dengan negara kreditor: bisa tidak cara itu dilakukan, setidaknya bunganya.
Menurut Anda, kreditor akan setuju?
Semua bisa dinegosiasikan. Cuma mekanisme minta pembebasan bunga ini harus melalui pembahasan multilateral seperti Consultative Group on Indonesia (CGI), tidak bisa bilateral. Jepang juga minta multilateral. Padahal, dengan bilateral jauh lebih menguntungkan.
Apa kesulitan jalur multilateral?
Kalau dibawa ke forum multilateral, kita nggak bisa berbuat apa-apa karena akan dikeroyok dari berbagai penjuru. Kita juga harus menggunakan skema IMF, padahal kita sudah keluar dari lembaga itu. Hasilnya cenderung menguntungkan negara pengutang. Karena itu, sebaiknya tetap bilateral, karena bisa menjelaskan sesuatunya lebih komprehensif. Tapi okelah, permintaan pembebasan bunga ini sebenarnya adalah kata akhir. Sebelumnya masih ada alternatif lain untuk menyelesaikan masalah anggaran.
Misalnya?
Yaitu bagaimana kita bisa memberikan iklim kondusif untuk masuknya investasi. Masalahnya, kita dihadapkan berbagai kendala. Soal regulasi, misalnya, beberapa ketentuannya seperti RUU Pajak, Bea-Cukai, dan Investasi dianggap memberatkan investor. Regulasi itu kini masih dibahas oleh DPR. Ini akan memakan waktu, padahal kita butuh biaya pembangunan.
Kendala lainnya, soal otonomi daerah. Koordinasi pusat dan daerah yang tidak klop juga sudah diketahui investor. Ini artinya, menarik investor bukanlah hal mudah. Sekali lagi, rencana mengurangi stok utang kita begitu mendesak agar kita punya biaya pembangunan.
Cara lainnya adalah debt swap atau pertukaran utang dengan program. Jerman sudah mulai dengan program pendidikan dan lingkungan hidup, tapi Jepang belum mau.
Kenapa Jepang menjadi prioritas?
Karena 40 persen utang luar negeri kita dari Jepang. Memang program debt swap ini kecil-kecil, tapi lumayan kalau dikumpulkan. Berapa jumlahnya, masih dihitung, tapi yang penting, program ini bisa dilakukan sebagai alternatif untuk menghindari penyelesaian multilateral.
Soal mekanisme penyelesaian utang, Anda berselisih paham Menko Boediono?Pak Boediono berpikir ke depan. Negara kita ternyata masih membutuhkan pembiayaan luar negeri, makanya beliau membawanya ke mekanisme multilateral agar proses negosiasinya transparan. Tapi kalau kita menghendaki penyelesaian stok utang, saya lebih setuju pembiayaan bilateral. Lebih enak "curhat"-nya. Soal apakah caranya nanti saya nangis, mengeluh berat, orang tak akan tahu. Gaya itu tergantung bagaimana mengolahnya. Yang penting, hasil akhirnya terlihat. Saya kira Pak Boediono juga memikirkan masalah ini. Tapi karena saya mendapat tugas khusus, bagaimana Jepang tak menaikkan suku bunga, makanya saya bertahan.
Pernyataan Anda soal haircut mengejutkan kreditor?
Beberapa kreditor datang ke kantor. Selain Duta Besar Amerika Serikat B. Lynn Pascoe, Perwakilan Dana Moneter Internasional Stephen Schwartz, dan Perwakilan Bank Dunia Andrew Steer, juga Duta Besar Jepang Yutaka Iimura. Saya juga bertemu parlemen Jepang dari garis pemerintah maupun oposisi.
Saya sampaikan ke mereka kondisinya. Kepada parlemen Jepang saya katakan Indonesia bukan saja partner bisnis Jepang, tapi juga partner strategis. Andaikata tidak membantu, kita bisa beralih ke negara lain. Tapi ada untungnya, pernyataan saya itu ditanggapi. Saya juga tak perlu bernegosiasi ke mana-mana. Begitu saya bilang haircut, semua datang ke sini. Jadi irit ongkos.
Menteri Keuangan mengatakan statement Anda tak dikehendaki kreditor dan justru bisa menaikkan utang kita dan berdampak buruk pada investasi dan suku bunga?
Statement yang mana? Kalau kita mau punya duit, tapi kita katakan nggak mau bayar, orang pusing jadinya. Lalu kita punya duit, terus kita umpetin supaya dapat keringanan utang, ini juga jadi masalah. Wong kita ini memang lagi susah.
Perbedaan pandangan Anda dengan Menteri Sri Mulyani menimbulkan isu perpecahan tim ekonomi kabinet?
Tak ada apa-apa, cuma beda persepsi saja. Saya maunya evolusioner dalam pembenahan manajemen utang luar negeri. Karena itu, saya mulai tahapan pengurangan stok utang. Sekarang ini sudah ada kesepakatan antara Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menko Perekonomian, misalnya menyiapkan rencana kerja pemerintah tahunan yang akan dikoordinasikan Bappenas. Lalu soal penyusunan pedoman RAPBN akan dikoordinasi Menteri Keuangan. Menko Perekonomian mengkoordinasi implementasi kebijakan.
Presiden sendiri berpandangan apa soal ini?
Sejak kami dilantik, Presiden sudah menggariskan perlunya koordinasi antarmenteri. Sebagai perencana, Bappenas tak bisa diam karena mesti memberikan pandangan dan konsisten menjaga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Ketika kampanye Presiden bertekad mengurangi utang luar negeri, memberikan lapangan pekerjaan, menjaga pertumbuhan. Soal pertumbuhan dan menekan inflasi itu selalu diulang-ulang dalam sidang kabinet. Kalau menaikkan pertumbuhan, kita harus punya modal cukup buat pembangunan. Masalahnya, modal kita itu termakan untuk membayar utang.
Semua asumsi ini kan jika APBN 2006 berjalan mulus-bagaimana jika tidak?
APBN 2006 ini memang menghadapi masalah krusial. Salah satunya sub-sidi pemerintah untuk PLN. Waktu penyusunan anggaran, PLN meminta Rp 38 triliun akibat kenaikan harga BBM, namun DPR hanya memberi Rp 15 triliun. Artinya masih ada Rp 23 triliun yang harus dipecahkan pemerintah. Masalahnya, duit dari mana mengingat anggaran kita sudah defisit. Jika menaikkan tarif dasar listrik, memberatkan masyarakat dan mendongkrak inflasi. Padahal, Presiden mewanti-wanti, inflasi harus diturunkan. Problem ini harus terpecahkan sampai April.
Bagaimana dengan obligasi?
Obligasi ini kan tetap saja utang. Jangan terkecoh dengan surat utang karena bunganya juga lebih tinggi.
Anda mati-matian menekan utang, tapi pemerintah mengeluarkan surat utang juga?
Ini memang harus diperjelas. Karena itu, saya ingin ada kejelasan dalam manajemen utang kita.
Bagaimana dengan utang baru? Kabarnya sejumlah departemen mengusulkan pinjaman luar negeri?
Ya, dan terus terang saja permintaan pinjaman luar ngeri dari departemen dan daerah yang harus saya teken itu cukup besar, US$ 12 miliar atau kira-kira Rp 120 triliun. Ini dilematis buat saya. Di satu sisi, saya harus mengurangi stok utang dan membatasi pinjaman hingga 2009, di sisi lain permintaan pinjaman luar negeri lebih besar dibanding bunga utang yang harus kita bayar tahun ini. Karena itu, saya akan melihat lagi prioritas pengajuan pinjaman itu. Saya juga sudah membentuk tim untuk memverifikasi lagi usulan-usulan itu.
Kaget nggak begitu melihat besarnya pinjaman yang diajukan?
Terus terang, iya. Soalnya, untuk masuk blue book dan shopping list tak gampang.
Kabarnya Anda berencana mengumumkan usulan pinjaman dari masing-masing departemen?
Saya kira belum siap. Saya baru minta tim meneliti lagi usulan itu berdasarkan prioritas, permintaan dan kesiapannya. Saya minta mereka bekerja cepat. Kalau tidak, saya bisa dianggap menghambat atau meminta sesuatu.
Dari sekian usulan, departemen mana yang paling besar usulannya?
Jangan dulu. Biarkan tim ini bekerja (sumber Tempo menyebutkan, usulan terbesar datang dari Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, dan Departemen Energi).
Kabarnya kini ada sistem paket penyusunan blue book. Sebelum buku itu disusun, sudah ada pembicaraan antara kreditor, pengusaha, dan departemen terkait?
Saya nggak tahu. Tapi, terus terang, soal blue book itu saya baru tahu sekarang. Begitu duduk di sini, saya langsung disodori usulan blue book itu agar segera diteken. Wah, ya nggak bisa. Daripada pusing, saya bentuk saja tim untuk memverifikasi data usulan itu. Semua itu baru terpecahkan setelah satu bulan di sini.
Bagaimana dengan praktek-praktek percaloan yang terjadi?
Saya dengar soal itu. Terus terang saya juga takut diisukan macam-macam, misalnya Bappenas minta komisi ini itu. Karena nggak mau pusing itu, saya bentuk tim untuk memverifikasi data-data itu. Begitu selesai akhir Januari ini, semua data akan masuk internet agar masyarakat bisa melihat.
Anda hati-hati sekali soal usulan pinjaman baru?
Saya lebih baik hati-hati dalam mencantumkan proyek pinjaman luar negeri dalam blue book. Soalnya, kondisi keuangan dan rasio utang kita menyedihkan.
Semua pinjaman luar negeri yang tak bisa direalisasi juga akan dievaluasi.
Banyak proyek yang tak bisa jalan karena waktu proposal pengajuan pinjaman diajukan tidak mengindahkan persyaratan dan gegabah waktu menyusun proposal permintaan utang sebelum masuk blue book. Makanya, rencananya, kalau proyek itu bisa dialihkan, akan dialihkan. Jika tidak, akan dibatalkan untuk mengurangi stok utang. Proses evaluasi ini akan dipimpin langsung Menko Boediono, anggotanya Menteri Bappenas dan Menteri Keuangan. Gagasan lainnya untuk menekan utang adalah menyusun aturan tentang pembatasan utang.
Omong-omong, bagaimana rasanya menjadi menteri yang sejak awal diragukan kompetensinya?
Hahaha saya ini to be or not to be. Kalau saya tidak berbuat, saya harus berhadapan dengan teman-teman saya. Masak, sudah jadi menteri diam saja. Memang, awal-awal saya menjabat, banyak orang memperkirakan saya diam saja. Tapi mana bisa begitu? Apalagi masalah di sini multikompleks. Jadi, saya harus kreatif dalam mengelola isu-isu.
Paskah Suzetta
Tempat /Tanggal Lahir:
- Bandung, 6 April 1953
Pendidikan:
- STISIP, Ujian Negara di FISIP Unpad Bandung (1990),
- Program Magister Hukum Bisnis di Unpad, Bandung (2002)
Karier:
- Anggota Komisi IV Fraksi Karya Pembangunan DPR (1992-1997)
- Anggota Komisi VIII Fraksi Karya Pembangunan DPR (1997-1999)
- Ketua Komisi IX (Keuangan dan Perencanaan Pembangunan) DPR (1999-2004)
- Ketua Komisi XI DPR (2004-2009)
- Ketua Real Estate Indonesia (1992-1994)
- Wakil Ketua Kosgoro Jawa Barat (1992-1997)
- Wakil Bendahara Partai Golkar (2004-2005)
- Menteri PPN/Ketua Bappenas (2005-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo