Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arianto A. Patunru*
Brussel, awal 2011. Kita sedang membicarakan potensi kerja sama ekonomi Indonesia dan negara-negara Uni Eropa. Udara masih dingin. Kita sepakat, sekalipun volume arus dagang dan investasi di antara kedua pihak masih tipis, banyak kesempatan bisa diraih. Lalu kita, Vision Group, memberikan rekomendasi kepada kedua pihak agar mempererat hubungan perdagangan dan investasi demi peningkatan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pengurangan angka kemiskinan. Kerja sama ekonomi yang komprehensif itu sebaiknya ditopang oleh tiga pilar: akses pasar, peningkatan kapasitas, serta fasilitasi perdagangan dan investasi. Rekomendasi diluncurkan pada Mei 2011.
Lalu Eropa diterjang badai. Hari-hari ini dunia menyaksikan runtuhnya sebuah bangunan mata uang dan sistem moneter tunggal. Para pemimpin negara Eropa menghadapi simalakama. Jika talangan besar-besaran diberikan kepada negara-negara yang ambruk satu demi satu, ia memberikan ruang kepada aji mumpung (moral hazard). Jika negara-negara itu dibiarkan bangkrut, zona Eropa akan bubar dan resesi ekonomi menjalar ke seluruh dunia.
Banyak pakar telah menulis tentang krisis ini. Salah satunya Martin Feldstein, ekonom Harvard dan National Bureau of Economic Research, pada November lalu. Feldstein berpendapat bahwa kekacauan yang sedang berlangsung di Eropa saat ini bukanlah kecelakaan atau akibat salah urus; ia adalah konsekuensi logis dari sebuah eksperimen politik untuk menyatukan—tepatnya memaksakan bersatunya—ekonomi-ekonomi dengan heterogenitas tinggi ke dalam sebuah mata uang tunggal. Perbedaan bukan hanya pada struktur ekonomi, tapi juga tradisi fiskal dan perilaku sosial. Menyatukan mereka berarti menyerahkan perbedaan kepada kebijakan moneter yang sama, tingkat bunga dasar yang sama, serta kurs yang sama terhadap mata uang lain.
Maka, sekalipun salah satu negara anggota dapat meraih keuntungan atas negara non-anggota melalui perubahan harga relatif, ia tidak dapat merealisasinya, karena terikat pada kurs mata uang bersama. Dalam sistem yang fleksibel, sebuah negara yang mengalami penurunan permintaan agregat bisa menurunkan tingkat bunga untuk memotivasi perekonomian. Namun sistem mata uang tunggal menghalangi ini. Akibatnya, tingkat bunga menjadi relatif terlalu tinggi di negara yang angka penganggurannya meningkat dan terlalu rendah di negara yang mengalami kenaikan upah. Distorsi-distorsi ini mengaburkan fungsi harga dan tingkat bunga sebagai pembawa pesan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam perekonomian negara-negara anggota. Feldstein bahkan sudah mengingatkan risiko ini pada 1992 di majalah The Economist, tujuh tahun sebelum uang tunggal berlaku resmi di Eropa.
Lantas apa akibatnya bagi kita? Sekalipun kaitan ekonomi kita masih kecil, ambruknya ekonomi Eropa dapat menjalar ke Indonesia melalui mitra dagang bersama, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Jepang. Hingga Oktober lalu, Cina merupakan negara tujuan ekspor Indonesia yang terbesar, yaitu sekitar 13 persen dari total ekspor Januari-Oktober 2011; disusul Jepang (11 persen) dan Amerika Serikat (10 persen). Sementara itu, Cina, Amerika Serikat, dan Jepang mengirim 17 persen, 20 persen, dan 12 persen dari total ekspor mereka masing-masing ke Eropa. Maka, jika permintaan Eropa ke ketiga negara tersebut menurun drastis tahun depan, besar kemungkinan Indonesia akan mengalami dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, lewat jalur perdagangan.
Guncangan di Eropa juga dapat masuk ke Indonesia melalui jalur keuangan, seperti yang terjadi pada 2008-2009, misalnya berupa terbatasnya akses kepada sumber pembiayaan internasional dan tekanan pada kurs rupiah. Dapat pula terjadi penipisan likuiditas karena informasi tentang risiko krisis atau resesi menimbulkan perilaku latah yang menyebabkan orang-orang mengalihkan asetnya ke tempat yang dipandang lebih aman, walau dengan imbal lebih rendah (safe haven). Jika ini terjadi masif, sektor perbankan akan terancam. Di sini isunya menjadi lebih kompleks. Upaya menekan bunga rendah untuk merangsang perekonomian berpotensi inflatoir dan mendorong modal keluar. Sebaliknya, mempertahankan bunga terlalu tinggi akan menekan insentif di sektor riil dan memperbesar risiko arus modal masuk jangka pendek, yang mengganggu kestabilan makro lewat volatilitas kurs.
Ekonomi Indonesia memang masih menunjukkan tren yang baik. Dibandingkan dengan negara-negara industri yang sekarang dililit masalah, Indonesia tampil kontras—misalnya dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (di bawah 30 persen, dibandingkan misalnya dengan Yunani 110 persen, Jepang 200 persen, dan Jerman 80 persen) atau defisit publik (di bawah 3 persen, dibanding Yunani yang lebih dari 10 persen pada 2010). Pertumbuhan kuartal ketiga 2011 mencapai 6,5 persen—sebagaimana dua kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ekspor pun meningkat menjadi 18,5 persen pada kuartal ketiga. Dengan impor yang sedikit melambat, ekspor bersih tumbuh sebesar 34 persen pada kuartal ketiga. Investasi mengalami penurunan menjadi 7 persen pada kuartal ketiga, dari 9 persen pada kuartal sebelumnya—tapi peranannya dalam pertumbuhan PDB masih di atas 30 persen.
Fakta bahwa Indonesia cukup bisa bertahan dari empasan eksternal pada 2008 dan pasar domestik cukup besar bukan berarti Indonesia sebaiknya semakin berfokus pada pasar dalam negeri. Dengan semakin dinamisnya jaringan produksi regional maupun global, kurang bijaksana jika Indonesia menafikan kesempatan memanfaatkan potensi pasar eksternal. Asia Timur adalah wilayah paling dinamis saat ini. Bahkan diharapkan perekonomian dunia pada tahun-tahun mendatang justru diselamatkan oleh pertumbuhan di negara-negara berkembang, terutama di Asia Timur (World Economic Outlook 2011). Karena itu, kebijakan peningkatan infrastruktur maupun perbaikan sistem logistik tetap diperlukan, tak hanya untuk tujuan konektivitas dalam negeri, tapi juga buat memperlancar arus barang dan jasa internasional.
Yang cukup mengkhawatirkan adalah semakin turunnya daya saing Indonesia. Dalam dua tahun belakangan, peringkat Indonesia dalam laporan Doing Business dari Bank Dunia dan International Finance Corporation terus turun dari urutan ke-122 pada 2010 menjadi ke-126 dan ke-129 pada 2011 dan 2012. Walaupun terjadi perbaikan dalam prosedur memulai usaha di Indonesia, ukuran lain, seperti akses kredit, akses listrik, dan administrasi properti, malah menurun. Sementara itu, Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum menempatkan Indonesia di peringkat ke-46 dari 142 negara yang disurvei. Pada laporan sebelumnya, Indonesia berada di urutan ke-44 dari 139 negara yang disurvei. Menurut laporan ini, masalah utama berbisnis di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah, dan tidak memadainya infrastruktur.
Dalam survei iklim investasi putaran kelima (Juni-Desember 2010), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI 2011) menemukan bahwa ketidakstabilan makroekonomi, ketersediaan listrik, serta akses transportasi masih tetap menjadi faktor utama dalam pertimbangan bisnis perusahaan manufaktur dan jasa di Indonesia. Survei tersebut melibatkan lebih dari 450 perusahaan manufaktur dan hampir 300 perusahaan jasa di enam kota besar di Indonesia. Survei ini juga menemukan bahwa dampak negatif dari krisis global 2008/2009 lebih terasa di sektor manufaktur (misalnya perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam usaha kayu, bambu, dan rotan) ketimbang sektor jasa. Sebagian besar perusahaan ini terlibat dalam aktivitas ekspor-impor, sehingga dapat diperkirakan dampak negatif krisis menimpa mereka melalui permintaan yang berkurang, pasokan bahan baku yang lebih susah, ataupun karena volatilitas nilai tukar dan aliran modal jangka pendek.
Maka kita memasuki 2012 dengan harap-harap cemas. Indikator makro terakhir menunjukkan tren yang baik. Namun kita tidak boleh lengah. Seperti kejadian 2008, ada senjang waktu sebelum dampak krisis global mencapai Indonesia. Terlepas dari krisis Asia, krisis global, dan sekarang krisis Eropa, kendala utama sisi penawaran ekonomi Indonesia adalah kondisi infrastruktur kasar, terutama transportasi dan listrik, serta infrastruktur lunak, terutama birokrasi yang efisien. Ini termasuk isu koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Salah satu contohnya adalah tetap dipungutnya biaya untuk tanda daftar perusahaan, sekalipun telah dinyatakan bebas biaya melalui peraturan Menteri Perdagangan.
Citra Indonesia di luar negeri saat ini cukup bagus. Postur internasional, seperti anggota G-20, Ketua ASEAN 2011, dan Ketua APEC 2013, mungkin membanggakan. Namun, di sisi lain, urusan domestik tetap banyak, bahkan semakin bertumpuk. Semoga 2012 adalah tahun di mana kita bisa menahan dampak krisis Eropa, sembari memperbaiki diri. 6
* Direktur LPEM-FEUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo