Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makassar adalah segalanya baginya. Dia mengagumi M. Yusuf, bekas Panglima ABRI yang berasal dari Kota Angin Mamiri. Nama putra M. Yusuf, Jaury, diambilnya sebagai bukti kekagumannya. Sekali waktu M. Yusuf bertanya padanya, mengapa dia memakai nama belakang "Jauri" dan bukan "Jaury". Paul menjelaskan, dua huruf terakhir namanya, "ri", adalah singkatan dari Republik Indonesia.
Ia ingin berarti bagi RI. Di usia yang digambarkannya sudah "separuh kaki di liang kubur", dia ingin, "Menyumbang sesuatu untuk Indonesia." Sebagai pebisnis, dia merintis teknologi pengolahan singkong, tanaman yang banyak dijumpai di sini. Sebagai warga negara, tiga atau empat tahun terakhir dia aktif mengunjungi seminar dan diskusi sekitar pembauran dan peran politik warga keturunan Tionghoa.
Dia punya usul tentang istilah Tionghoa atau Cina. "Kalau mau pembauran, sebut saja semua warga dengan sebutan Indonesia," katanya. Pengusaha yang kartu namanya berwarna merah dan putih ini tahu persis masih ada masalah dengan pembauran. Kata dia, soalnya bukan pribumi bersikap anti-keturunan Cina, melainkan budaya korupsi. "Kalau dapat duit, kan tidak anti. Ini yang harus dibersihkan. Yang harus memulai adalah yang ngasih duit. Kalangan etnis (Tionghoa) jangan menggoda aparat dengan duit," ujarnya menunjuk kasus SBKRI dan uang pelicin dalam pengurusan dokumen negara.
Proposalnya yang lain tentang pembauran adalah soal partai politik. Dia menyarankan agar warga keturunan membaur saja di partai-partai politik yang sudah ada, tanpa perlu membuat partai sendiri. Masih ada ketakutan membuat partai sendiri? "Bukan. Saya tidak setuju pengkotak-kotakan," ujarnya pasti.
Ia mengakui, suasana politik sekarang sudah jauh lebih longgar. Di sebuah acara lembaga pemerintah tempat ia diundang, ia mengaku dengan lantang mengkritik Ibu Presiden, yang batal datang. "Kalau di zaman dulu, saya tidak berani bicara begitu, bisa ditangkap saya."
Tentu Paul Jauri tidak sendiri menikmati kebebasan ini. Sejumlah seminar dan diskusi tentang pembauran dan peran politik keturunan Tionghoa selalu padat pengunjung. Tapi, benarkah itu indikasi partisipasi politik warga keturunan Cina meningkat pesat setelah era Orde Baru berakhir? Benarkah tak ada problem yang tersisa? Peringatan hari kemerdekaan, yang kembali melintas pekan ini, adalah saat yang tepat untuk mencari jawabannya. Dari jawaban itu, kita akan tahu apakah Paul Jauri seorang diri atau dia memang potret dari sebuah etnis yang sedang berubah.
TIM EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN
Koordinator:
Daru Priyambodo, Mardiyah Chamim, Agung Rulianto
Penyunting:
Arif Zulkifli, Gendur Sudarsono, Toriq Hadad, Leila S. Chudori, Hermien Y. Kleden, Amarzan Loebis, Idrus F. Shahab, Daru Priyambodo, M. Taufiqurohman, Malela S Mahargasari.
Penulis:
Daru Priyambodo, Agung Rulianto, Mardiyah Chamim, Nugroho Dewanto, Setiyardi, Arif Firmansyah, IGG Maha Adi, LR Baskoro, Ngarto Februana, Wenseslaus Manggut, Nezar Patria, Hanibal W.Y. Wijayanta, R. Fadjri, Dwi Wiyana, F. Dewi Ria U, Nurdin Kalim.
Pengumpul Bahan:
Danto, Dimas Adityo, Nunuy Nurhayati, Indra Darmawan, Poernomo G. Ridho, (Tempo News Room), Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang), Bobby Gunawan (Bandung), Fatkhurrohman, Agustinus Raharjo (Surabaya), Faidil Akbar (Banten), Bambang Soedjiartono (Medan), Abdi Purmono (Malang), Aris mustafa (Pusat Data dan Analisa TEMPO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo