DIGORESKAN dengan tinta darah, tulisan "CALEG" masih terpampang jelas di tembok. Kantor PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Bondowoso, Jawa Timur, ini sekarang terkesan seram. Sebulan silam, mayat R. Soewardjo ditemukan di sana. Istri dan anak bungsunya pun dibantai hingga tewas.
Soewardjo, 68 tahun, dikenal sebagai figur yang cukup disegani di kotanya. Sehari-hari ia menjadi Wakil Ketua PDIP Bondowoso. Dan yang lebih penting, ia calon anggota legislatif urutan pertama untuk DPRD tingkat dua. Seandainya tidak dibunuh, kini ia tentu sudah berkantor di gedung dewan.
Siapa yang membantainya? Pembunuhan pada 14 Juli silam tersebut mulai terkuak pekan lalu. Polisi sudah menahan empat tersangka. Mereka adalah Sucipto (wakil bendahara PDIP Bondowoso), Abdul Fatah (pengurus PDIP Kecamatan Grujugan), Erfan (bekas Ketua Banteng Muda Indonesia Grujugan), serta Saiful (kakak kandung Erfan).
"Mereka sudah mengakui berada di tempat kejadian saat korban dibunuh," ujar Komisaris Besar Winarso, Kepala Kepolisian Wilayah Besuki. Hanya, keempat tersangka masih saling lempar tanggung jawab. Sucipto, 55 tahun, umpamanya, mengaku hanya mengeksekusi Soewardjo.
Pembantaian terkuak setelah ditemukan jaket dan baju lengan panjang yang penuh bercak darah. Pakaian ini teronggok di bawah jembatan Sungai Koncer, sekitar empat kilometer dari tempat kejadian. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, akhirnya polisi memastikan bahwa jaket dan baju tersebut milik Sucipto. Maka dialah yang ditangkap pertama kali.
Hanya, penyidik sempat kesulitan menjerat pelaku lain lantaran Sucipto selalu bungkam. "Dia ketakutan karena diancam yang lain," kata Inspektur Dua Ainur Rofid, salah seorang penyidik. Toh, tak lama kemudian, tiga pelaku lainnya terendus juga. Abdul Fatah, Erfan, dan Saiful tak berkutik saat petugas menahan mereka pekan lalu.
Motifnya? Berbalut urusan politik. Soalnya, selama ini, Sucipto menjadi calon anggota legislatif PDIP dengan nomor urut dua, di bawah Soewardjo. Karena PDIP cuma mendapat jatuh satu kursi untuk DPRD Bondowoso, otomatis Sucipto tidak kebagian.
Buat mengobati kekecewaannya, rupanya ia meminta uang kompensasi kepada Soewardjo. Sucipto semakin kesal ketika permintaan ini tidak dipenuhi oleh korban. Lalu dibuatlah "perhitungan terakhir". Aksi ini, menurut pengakuan para tersangka kepada polisi, dirancang di rumah Sucipto pada Minggu, 11 Juli silam.
Dua hari kemudian, mereka menjalankan rencana dengan mendatangi rumah Soewardjo pada pukul 11 malam. Setelah sekitar setengah jam mereka mengobrol di depan rumah, putra bungsu korban, Sapto Prihandono alias Dodik, 28 tahun, sempat melintas, lalu masuk kamar. Tak lama kemudian, Sucipto mengajak Soewardjo ke Sekretariat PDIP Bondowoso, yang terletak persis di samping rumah korban.
Di sana, sekali lagi Sucipto dan kawan-kawan berusaha memaksa Soewardjo agar memberikan uang kompensasi. Karena korban tidak peduli, akhirnya ia dijerat dengan kawat dan tengkuknya dipukul hingga tewas. Agar pembunuhan ini tak terbongkar, istri korban, Dewi Soesilowati, dan Dodik juga dihabisi. Soalnya, "Mereka tahu malam itu saya yang datang bertamu terakhir kali," kata Sucipto dalam berkas pemeriksaan polisi.
Saat menunggu ketiga rekannya membantai Dewi dan Dodik, tangan Sucipto rupanya tak bisa diam. Guru bela diri jiu-jitsu ini menggoreskan tulisan di dinding sekretariat dengan menggunakan darah Soewardjo. Bunyinya: "CALEG". "Dia mengaku sekadar iseng," kata salah seorang penyidik. Setelah itu, mereka kabur.
Itulah pengungkapan versi polisi. Keluarga Sucipto sudah menunjuk Irianto sebagai pengacaranya, tapi dia sulit dihubungi TEMPO karena telepon genggamnya mati. Adapun Wagino dan Santoso, yang menjadi pengacara Abdul Fatah, masih enggan berkomentar. "Kami masih ingin mempelajari berkas pemeriksaan dan berbicara banyak dengan klien," ujar Wagino.
Yang pasti, Ketua PDIP Bondowoso, Sugiono, mengaku prihatin atas penahanan sejumlah politisi dari partainya. Namun, "Siapa pun yang melakukan tindak pidana, ya, harus tetap dikenai sanksi hukum sesuai dengan undang-undang," katanya.
Andy Marhaendra, Mahbub Djunaidy (Bondowoso)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini