Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hasil WTO dan Indonesia

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari Pangestu *) Ekonom CSIS

Setelah diperpanjang beberapa hari, akhirnya pada 1 Agustus telah dicapai kesepakatan kerangka negosiasi putaran perundingan perdagangan multilateral yang disebut Putaran Doha (Doha Round). Seharusnya kerangka dan negosiasi sudah rampung pada akhir 2005, tapi karena kegagalan proses perundingan sejak pertemuan World Trade Organization (WTO) di Doha pada 2001, termasuk gagalnya Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Cancun pada September 2003, baru tiga tahun setelah pertemuan Doha, "kerangka negosiasi" disepakati. Apa maknanya bagi Indonesia? Ada beberapa hal yang penting disimak dan diantisipasi.

Pertama, kita patut gembira bahwa pertemuan Juli lalu di Jenewa menghasilkan sesuatu. Kegagalan mencapai kesepakatan hanya akan memunculkan ketidakpastian mengenai nasib sistem perdagangan multilateral, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi global. Lebih celaka lagi, kecenderungan proteksionisme atau tindakan-tindakan sepihak negara maju terhadap mitra dagangnya dapat meningkat.

Di samping itu, ada kekhawatiran bahwa pembentukan perjanjian bilateral dan regional—antara lain karena lambannya proses WTO—akan lebih dominan. Hanya negara yang ikut dalam perjanjian bilateral dan regional yang dapat menikmati akses pasar. Hal itu tidak menguntungkan negara kecil seperti Indonesia yang hanya bisa menerima keadaan eksternal yang dihadapinya, yang punya posisi tawar yang lemah terhadap negara besar, dan yang belum menempuh perjanjian-perjanjian bilateral secara intensif.

Kedua, kata-kata Winston Churchill, this is the end of the beginning and not the beginning of the end, tepat untuk menggambarkan situasi negosiasi Putaran Doha. Meskipun proses negosiasi sudah dapat dimulai, perjalanan masih jauh atau kita belum dapat melihat secara jelas apa yang berada di ujung perjalanan negosiasi dan kapan kita akan sampai. Kesepakatan baru dicapai untuk kerangka negosiasi, sedangkan negosiasinya sendiri untuk merinci jenis komitmen dan jangka waktu yang diperlukan belum dimulai. Mengingat ada pemilu di AS dan pergantian komisioner di Uni Eropa, diperkirakan proses negosiasi paling cepat dapat dimulai pada akhir 2004 atau awal 2005.

Proses negosiasi diperkirakan berjalan alot dan lamban mengingat jumlah isu yang harus dirundingkan dalam "satu paket" (single undertaking), variasi kepentingan dan kapasitas 147 anggota WTO, dan bahwa putaran-putaran negosiasi sebelumnya memakan waktu yang panjang. Putaran Uruguay, misalnya, memerlukan waktu delapan tahun.

Mungkin tenggat sesungguhnya adalah 2007 karena pada tahun itulah izin Kongres AS terhadap negosiatornya untuk melakukan fast track negotiations—tanpa harus meminta izin untuk setiap isu—berakhir. Namun yang lebih penting adalah komitmen politik dan kepemimpinan dalam perdagangan internasional yang baru di AS dan Uni Eropa belum diketahui, sehingga sulit memprediksi nasib negosiasi yang akan datang.

Banyak juga pihak yang skeptis mengenai hasil yang bisa diharapkan dari negosiasi ini karena semua komitmen masih belum jelas, dan banyak loopholes atau pengecualian yang memungkinkan komitmen hanya menjadi janji kosong belaka. Lihat saja bidang pertanian. Setelah didesak beberapa negara sedang berkembang seperti Brasil dan India, akhirnya negara maju sepakat menghapus bantuan dalam negeri dan bantuan ekspor produk pertanian yang saat ini mencapai US$ 300 miliar per tahun. Mereka juga berjanji mengurangi bantuan sampai 20 persen dari jumlah itu di awal periode komitmen.

Bagian dari negosiasi pertanian yang tidak kalah penting adalah penurunan proteksi yang diberikan dengan mengubah proteksi menjadi tarif dan kemudian penurunan tarif. Namun pengecualian dalam bentuk blue box, green box, dan daftar produk sensitif masih bisa disalahgunakan untuk mengurangi arti komitmen itu. Tapi seberapa cepat atau lambat penurunan itu akan direncanakan juga tidak jelas.

Karena itu, tidak ada yang yakin bahwa negosiasi akan selesai pada akhir 2005 dalam Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Hong Kong. Diperkirakan semua negara akhirnya akan mencari "asuransi" dengan melakukan negosiasi perdagangan bilateral dan regional.

Ketiga, apa untung-rugi bagi Indonesia jika dilihat dari kacamata negosiasi murni—yaitu apa yang kita peroleh dan apa yang kita berikan? Kita mulai dari sektor barang. Karena kita bukan net exporter produk pertanian seperti Brasil, tidak banyak yang diperoleh dari segi akses pasar. Apa yang harus dilakukan Indonesia adalah menurunkan proteksi di bidang pertanian dan "mengikat" komitmen, sehingga tarif tidak bisa dinaikkan begitu saja.

Namun masih ada pengecualian. Produk istimewa (special product) hasil pengembangan daerah pedesaan serta jaminan penyediaan pangan dan keberlangsungan hidup (food security, livelihood) masih menikmati fleksibilitas dan proteksi untuk jangka waktu yang cukup lama. Kita perlu menyuarakan dan memberikan justifikasi mengenai produk yang akan dipilih sebagai produk istimewa seperti beras, jagung, dan kedelai.

Untuk produk manufaktur, akan ada negosiasi untuk menurunkan tarif puncak (lebih dari 15 persen) dan tingkat tarif yang mengikat (bound rate) yang telah disepakati pada Uruguay Round. Sesungguhnya penurunan tarif—yang menjadi komitmen Indonesia—dari tingkat bound rate 35,6 persen tidak akan berdampak banyak terhadap penurunan tarif aktual yang sudah cukup rendah (rata-rata 7,2 persen).

Pengaruh utama komitmen ini adalah bound rate Indonesia akan turun mendekati aktual dan Indonesia tidak bisa menaikkan tarif di atas bound rate tanpa mengundang reaksi dan bahkan bisa diusut dalam proses legal WTO. Penurunan peak tariff seperti untuk sektor otomotif pun sudah direncanakan Indonesia. Sedangkan Indonesia harusnya diuntungkan oleh penurunan tarif puncak dan eskalasi tarif bagi produk manufakturnya di pasar negara maju dan negara sedang berkembang lainnya. Misalnya untuk produk tekstil di pasar AS, yang tingkat tarifnya masih tinggi.

Bagaimana dengan sektor jasa? Kita juga bukan net exporter sehingga apa yang akan kita minta dari negara lain sulit dipenuhi, sementara kita harus memberikan komitmen pembukaan pasar jasa. Seperti sektor manufaktur, kebijakan aktual sektor jasa di Indonesia sudah sangat terbuka. Konsumen Indonesia bebas mengkonsumsi jasa di luar negeri, mengimpor jasa, dan mengizinkan perusahaan penanaman modal asing menyediakan jasa di pasar dalam negeri.

Kepemilikan asing di berbagai sektor jasa kita seperti telekomunikasi, penyediaan air, dan perbankan sudah dibolehkan dan bahkan bisa mayoritas. Maka komitmen yang diberikan adalah "mengikat" keadaan yang sudah aktual agar tidak bisa diubah tanpa mengundang aksi legal dari WTO. Misalnya, jika kita memberikan komitmen penyertaan modal asing di sektor perbankan sampai 95 persen (masih di bawah keadaan aktual yang 100 persen) dan kemudian kita mengubahnya menjadi maksimum 80 persen, hal itu bisa digugat secara legal melalui WTO Dispute Settlement.

Apa arti analisis singkat untung-rugi Indonesia dalam negosiasi WTO? Untuk menyederhanakan permasalahan, kelihatannya tidak banyak yang diperoleh Indonesia dari negosiasi karena pada saat yang sama keadaan aktual akses pasar Indonesia sudah cukup terbuka. Komitmen yang dapat diberikan hanya akan menyebabkan "pengikatan" kebijakan yang ada sebagai komitmen legal yang tidak mudah diubah.

Tapi keuntungan negosiasi sebenarnya tidak bisa diukur dari plus-minus negosiasi saja. Komitmen WTO dapat digunakan untuk menciptakan disiplin bagi pengambil keputusan sehingga mereka tidak mengobrak-abrik kebijakan yang ada berdasarkan vested interest (kecuali kasus mobil nasional yang terkenal!). Pada saat yang sama, komitmen ini juga menciptakan ekspektasi yang jelas bagi sektor swasta mengenai proteksi yang bisa atau tidak bisa diperoleh.

Secara empiris juga perlu diingat bahwa keuntungan yang diperoleh dari liberalisasi perdagangan adalah peningkatan efisiensi, lebih dari sekadar memperoleh akses pasar di luar. Kebijakan yang baik juga mementingkan pemerataan keuntungan yang diperoleh dari liberalisasi perdagangan dengan memikirkan sektor dan kelompok yang tidak bisa bersaing atau ikut serta—hal itu perlu diantisipasi dan direspons dengan kebijakan yang tepat. Tanpa menjawab konsekuensi ini, ketidakpuasan terhadap globalisasi tidak akan berhenti.

Akhir kata, Indonesia perlu menyimak ketiga hal itu dalam menghadapi negosiasi WTO ataupun kemungkinan negosiasi bilateral dan regional yang lain—karena pada kenyataannya semuanya akan berjalan paralel. Kesimpulan utama yang bisa ditarik adalah, untuk melakukan negosiasi yang strategis, Indonesia harus bisa menentukan prioritas berdasarkan visi dan rencana pembangunan dalam negeri yang jelas.

Baru kemudian kita memikirkan apa yang secara strategis dapat diperoleh dari mitra negosiasi. Kesiapan dan kapasitas kita untuk melakukan hal ini sering dipertanyakan karena soal koordinasi antar-departemen ataupun stakeholder yang lain (swasta, tenaga kerja, civil society) dan tidak tersedianya sumber daya manusia dan finansial untuk menangani negosiasi dengan tepat dan strategis. Mengingat negosiasi bilateral, regional, dan multilateral akan berjalan paralel, kemampuan Indonesia mengatasi berbagai masalah yang ada baik secara konseptual maupun kelembagaan perlu diangkat menjadi isu penting dan harus ditangani dalam waktu dekat.

Sudah waktunya kita berintrospeksi untuk memperbaiki persiapan kita menghadapi perkembangan ini. Kita perlu lebih strategis dan mencari gagasan baru, termasuk usul dari Ali Alatas pada pertemuan Forum WTO minggu lalu, untuk membentuk kantor khusus yang akan melakukan negosiasi perdagangan internasional supaya ada penanganan isu seputar negosiasi secara terus-menerus dan konsisten—yang kita harapkan dapat menguntungkan kita semua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus