Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada tahun 1928, salah satu butir bahasan adalah tentang perlunya menetapkan bahasa Indonesia sebagai medium pendidikan. Ironisnya, pembicaraan berlangsung alot karena ternyata pemuda yang hadir pada kongres itu tidak semuanya lancar berbahasa Indonesia. Kebanyakan pidato politik tentang kebangsaan justru disampaikan dalam bahasa Belanda. Hanya Mohamad Yamin yang ketika itu dianggap paling piawai menggunakan bahasa Indonesia.
Keprihatinan akan kemampuan berbahasa Indonesia membuat Yamin diam-diam menyodorkan sebuah konsep naskah deklarasi kepada pemimpin kongres, Sugondo Joyopuspito. Sugondo menyetujui naskah itu dan meneruskannya kepada Amir Syarifuddin, yang juga langsung menyampaikan sinyal akur (akkoord). Sugondo dan Amir khawatir kongres akan diakhiri tanpa keputusan apa-apa.
Maka, lahirlah Sumpah Pemuda! Suatu kesadaran baru ditanamkan dalam jiwa bangsa Indonesia. Kesadaran tentang satu tanah air, bangsa, dan bahasadi tengah keragaman kesukuan yang ada. Sumpah Pemuda adalah antitesis terhadap politik divide et impera yang dijalankan penjajah. Anehnya, di masa kemerdekaan, justru kita kembali lagi memakai politik segregasi dalam berbagai selubung.
Sumpah Pemuda juga merupakan sebuah bukti autentik tentang pluralitas yang diakui dalam sebuah bingkai kesatuan. Mengapa, misalnya, para pemimpin gerakan kebangsaan, yang sebagian besar berasal dari Jawa, tidak mem-push bahasa Jawa sebagai bahasa kesatuan? Yang terpilih malah bahasa Indonesia berbasis Melayu, yang kurang dipahami sebagian besar bangsa kita pada waktu itu.
Tetapi, di kalangan etnis Tionghoa djadoel (djaman doeloe), ternyata bahasa Melayu justru sudah luas dipakai. Berbagai karya sastra pengarang etnis Tionghoa bertarikh akhir abad ke-19 sudah banyak yang memakai bahasa Indonesia. Sejak hilangnya huruf Arab dan aksara Jawi (huruf Arab gundul) digantikan oleh huruf Latin pada pertengahan abad ke-19, etnis Tionghoa di Indonesia justru menjadi pendahulu dalam penggunaan bahasa Melayu. Beberapa buku cerita berbahasa Melayu karangan para penulis Tionghoa mulai bermunculan. Demikian pula surat kabar berbahasa Melayu mulai dicetak di percetakan-percetakan yang hampir semuanya milik etnis Tionghoa, antara lain Soerat Kabar Bahasa Melajoe (1856), Soerat Chabar Betawi (1858), Selompret Melajoe (1860), dan Bintang Soerabaja (1860).
Proliferasi kesastraan Melayu dan surat kabar dalam bahasa Melayu semakin mekar pada awal abad ke-20. Buku-buku cerita silat Tionghoa dalam bahasa Melayu yang diterbitkan langsung laris manis. Tetapi, banyak pula cerita roman yang ditulis sastrawan Tionghoa dengan nuansa lokal, seperti Boenga Roos dari Tjikembang, Dengen Doea Cent Djadi Kaja, Tjarita Njai Soemirah, Tjerita Tjan Yoe Hok atawa Satoe Badjingan Millioenair, dan banyak lagi. Preseden ini terulang kembali pada zaman keemasan novel populer pada 1980-an yang dimeriahkan oleh beberapa penulis keturunan Tionghoa seperti Marga T., Mira W., dan V. Lestari
Di awal abad ke-20 itu terjadi pula proliferasi koran yang sebagian terbesar diselenggarakan oleh kaum Tionghoa. Beberapa jurnalis kawakan kita yang sekarang masih hidup bisa dirunut sejarahnya dari dua koran besar pada masa itu, Keng Po dan Sin Po. Pada masa gerakan kebangsaan, Sin Po yang nasionalis (berorientasi pada paham Dr. Sun Yat Sen) bahkan menjadi penyemangat para nasionalis Indonesia meraih kemerdekaan sebagai bangsa berdaulat. Sin Po bahkan adalah surat kabar pertama yang memakai istilah Indonesia untuk menggantikan nomenklatur Nederlandsch-Indie atau Hindia-Olanda.
Tetapi, mengapa dalam kitab-kitab yang dipakai sebagai bahan pengajaran di sekolah-sekolah kita saat ini peran etnis Tionghoa dalam kesastraan dan jurnalistik tidak pernah tersurat, seolah-olah sastra dan pers Indonesia muncul begitu saja dari sebuah ruang hampa?
Karena itu, saya begitu berbahagia ketika dua minggu yang lalu menerima surat elektronik dari S.T. Tjia, 89 tahun, seorang wartawan ABG (angkatan babe gue)bahkan di atas Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tjia sudah lama bermukim di Houston, AS. Pada usianya itu, ia masih aktif berkomunikasi lewat Internet. Kalau ditanya resep umur panjang dan kesehatannya, ia menjawab slengekan: "Berkat sambal terasi." Sekalipun sudah bermukim di luar negeri, ia masih selalu mengikuti berita tentang Indonesia. Ia tahu Mochtar Lubis baru saja meninggal. Setelah membaca tulisan saya tentang kekayaan kuliner Semarang, ia menyemangati saya untuk terus menulis. Sayang, tak banyak orang mengenal S.T. Tjia yang pastilah merupakan salah seorang peletak batu penjuru bagi jurnalistik ataupun kesastraan Indonesia.
Di rumah saya, ada sebuah lemari dari Tiongkok, terbuat dari kayu jojoba sekitar 150 tahun yang lalu. Daun-daun pintunya diukir dengan puisi yang belum dapat saya baca, karena ditulis dalam aksara lama. Di dalam lemari itu juga tersimpan sebuah sutra yang sangat penting maknanya bagi saya.
Lemari itu memang asli dari Negeri Tiongkok, dijajakan pada sebuah pameran antik Tiongkok beberapa tahun yang lalu di Surabaya. Belakangan ini kita makin sering melihat keramik dan benda antik Tiongkok dijajakan secara terbuka di berbagai kota Indonesia. Tampaknya, kita memang makin terbuka menerima ketionghoaan. Saya bahkan tak canggung menempatkan lemari itu di ruang paling depan rumah kami.
Di ruang tunggu sebuah perusahaan besar di Jalan Sudirman, Jakarta, para tamu bisa melihat dua lemari Tiongkok antik menjadi centerpiece dekorasi ruang tunggu itu. Suatu hal yang mungkin tak terbayangkan pada era pra-1998. Era reformasi telah menciptakan alam baru bagi kehadiran Tionghoa dan ketionghoaan dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Bukan saja lemari-lemari Tiongkok sudah berani keluar dari gudang dan hadir di ruang publik secara wajar, saya juga merasakan ada semacam analogi dengan keluarnya para pemikir etnis Tionghoa dari "lemari-lemari" yang semula mengungkung mereka. Kebebasan berekspresisekalipun masih diwarnai berbagai kegamanganmulai menunjukkan kecenderungan membaik.
Teman saya, Benny G. Setiono, belum lama ini meluncurkan sebuah buku setebal 1.140 halaman berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik. Sebelum itu, berbagai seminar dan diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Inti (Indonesia-Tionghoa) dan Elkasa (Lembaga Kajian Masalah Kebangsaan) selalu penuh dihadiri orang. Di Yogyakarta, tahun lalu, saya terkejut melihat sebagian peserta seminar Inti dan Elkasa mengenakan busana muslim. Sebuah harmoni dan pluralitas yang menyejukkan.
Sebuah serial buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia yang antara lain "dipandu" secara sangat resourceful oleh Myra Sidharta kini telah mencapai jilid kedelapan. Seri buku ini merupakan monumen sejarah yang tak terbantah atas peran etnis Tionghoa dalam kesastraan kita. Sebuah awal advokasi menempatkan peran etnis Tionghoa dalam sejarah bangsa kita.
Ketionghoaan memang sudah keluar dari "lemari". Meja-meja sembahyang sekarang tidak lagi diletakkan secara sembunyi-sembunyi. Berbagai kelenteng, yang semula disamarkan kehadirannya, "tiba-tiba" bermunculan di tempat-tempat terbuka. Di Semarang, Pasar Malam Capkaoking menjelang Imlek yang dihidupkan kembali ternyata disambut seluruh warga kota dengan sangat meriah. Pasar malam itu sekaligus menandai geliat Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) yang ingin memugar kawasan Capkaoking sebagai obyek wisata.
Tahun lalu, saya juga sempat semalaman menikmati malam tahun baru Imlek di Pontianak. Pagi harinya, katedral Pontianak bahkan menyelenggarakan misa bagi umat Katolik etnis Tionghoa. Imlek memang bukan perayaan keagamaan, melainkan penanda diawalinya musim tanam bagi para petani.
Di Forum Jalansutrasebuah komunitas penggemar jalan-jalan dan makan-makan yang mengangkat saya sebagai "kepala suku" merekakini sedang ramai dibahas makanan peranakan, sebuah pusaka kuliner yang telah hadir di Indonesia selama berabad-abad. Masakan peranakan (juga disebut masakan nyonya atau masakan baba-nyonya) adalah bukti telah padunya unsur-unsur kuliner Indonesia-Tionghoa.
Bhinneka Tunggal Ika. Begitu banyak persamaan di antara kita. Mengapa kita masih buang-buang waktu mencari perbedaan-perbedaan lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo