Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Terjaga dari Tidur Panjang

Tren "go Mandarin" melanda kursus bahasa serta siaran radio—juga televisi—di berbagai belahan Indonesia setelah reformasi 1998.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 54 tahun, dunia Sidharta Wirahadi Kusuma seakan berputar pada poros yang sama: pengajaran bahasa Mandarin. Dia mengenal bahasa itu sejak dalam ti-mangan ibunya dan berlatih ilmu menulis aksara Cina sejak usia kanak-kanak. Bahasa itu mengantarkannya pada gelar profesor dari Huaqiao University di Cina. Bahasa yang sama membikin Sidharta tidak ingin menjadi apa pun yang lain kecuali "menjadi guru". Sidharta mengenal bahasa itu sepanjang 72 tahun usianya dan mengajarkannya selama 54 tahun kepada para muridnya.

Di kantornya, Seksi Mandarin ILP (International Language Program) Pancoran, Jakarta Selatan, Sidharta mengenalkan seorang tamu kepada TEMPO pada pekan lalu. Wang Xin Xin nama tamu itu, 27 tahun. Berasal dari Shen Yang, timur laut Cina, Nona Wang, yang belum lama tiba di Indonesia, adalah seorang guru bahasa. Berperawakan mirip model, Wang Xin Xin yang mahir "Mandarin tingkat tinggi" itu mengaku siap bekerja sebagai relawan untuk mengajar para murid di kursus tersebut. "Ni hao, apa kabar?" ujarnya kepada TEMPO dalam nada melodius.

Kedatangan Nona Wang harus diakui sebagai buntut dari berkah keterbukaan yang melanda Indonesia sejak reformasi 1998. Presiden Habibie membangunkan bahasa Mandarin yang dormant , tertidur selama tiga dekade, pada 1999. Penggantinya, Presiden Abdurrahman Wahid, lebih murah hati lagi. Dia mencampakkan semua larangan yang membelenggu adat-istiadat, kebudayaan, dan bahasa Cina. Mau main barongsai, silakan. Mau pergi ke kelenteng tiap hari, monggo. Mau kursus Mandarin sampai khatam, ayo saja.

Alhasil, dalam lima tahun belakangan, jumlah peminat bahasa ini menjamur seperti cendawan selepas hujan. Dalam hitungan Sidharta—dia Wakil Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin Jakarta—jumlah kursus bahasa Mandarin, yang tak seberapa di Jakarta sebelum tahun 1998, kini melejit hingga 145 gerai. "Sebelum reformasi, orang yang belajar Mandarin sekitar 200 ribuan di seluruh Indonesia. Sekarang kurang-lebih di atas tiga juta orang," dia menjelaskan.

Di Bandung, jumlah tempat kursus juga sampai puluhan—salah satunya ada di Pusat Dakwah Islam dekat Gedung Sate. Di Surabaya, pemimpin grup media Jawa Pos, Dahlan Iskan, turut menjadi pelopor kursus sejenis di Graha Sena. Dan jangan salah kira. Yang doyan belajar bahasa ini ternyata bukan cuma pensiunan yang merintang waktu atau pegawai yang diwajibkan oleh perusahaannya. Datanglah sesekali ke Seksi Mandarin ILP Pancoran.

Di ruang kelas berukuran sekitar 4 x 6 meter, serombongan remaja belasan tahun menerobos masuk pada suatu sore. Di antara 13 remaja, cuma ada satu yang bertampang amoy. Itu pun separuh "neneng" alias campuran Cina-Sunda. Selebihnya pribumi asli. Tampang mereka betul-betul "anak gaul": celana hipster, kaus tank top, atau jins ketat dipadu jaket gombrong. Ada seorang remaja lelaki mengecat rambutnya hingga pirang dan memberi sebelah kupingnya anting-anting—jauh dari kesan kutu buku.

Di satu pojok, seorang gadis muda berjilbab tampak alim menekuni konsonan Mandarin yang menurut dia "sulit bukan main". Di sebelahnya, seorang nona belia berusaha menekankan lidahnya ke langit-langit mulut sembari menutupkan kedua baris giginya agar mampu melafalkan zh, sh, s, yang bunyinya hanya berbeda dalam "derajat desis".

Sementara itu, di depan kelas, lao tse alias Ibu Guru Lydia tengah memulai sesi latihan ucapan. "Bian bie xialie yinjie (perhatikan perbedaan suku katanya—Red.)." Lalu, dengan sabar dia memandu seisi kelas: "Coba diulang, lihat contoh lao tse. Gigi rapat ke pinggir, lidah di dalam gigi, dan ucapkan zheeeeee." Semua murid meniru dengan tabah. Seorang siswi menggelengkan kepala sambil menepuk-nepuk jidatnya setengah putus asa. "Aduh, susah banget," ujarnya dengan gemas. La, untuk apa belajar kalau membikin pusing tidak keruan? "Kan untuk gaul. Gimana, sih, agar enggak bodoh-bodoh banget," ujar Melina, salah satu siswi, dengan ceria kepada wartawan mingguan ini.

Jauh lebih dari sekadar "untuk gaul", bahasa ini menjamur dengan cepat dari tempat kursus hingga ke bidang media massa, serta membuka peluang informasi dan bisnis—terutama pada industri jasa seperti pariwisata dan perhotelan. Setiap pagi dan malam, Metro Xin Wen muncul di layar Metro TV selama setengah jam. Inilah siaran televisi berbahasa Mandarin pertama di Indonesia. Pemimpin Redaksi Metro TV, Don Bosco Salamun, mengakui acara ini tak terlalu menggaet iklan, tapi punya target pemirsa khusus: mereka yang paham bahasa Mandarin. Dalam hitungan Don, jumlahnya sekitar 6,3 juta orang. Memang bukan jumlah besar, "Tapi, banyak di antara mereka yang berpengaruh di negeri ini," katanya. Lagi-lagi bisnis, tepatnya para pelaku bisnis.

Berlainan dengan siaran televisi yang cuma di Metro TV, menu Mandarin tampaknya lebih populer di jalur radio. Di Surabaya, ada radio Mahasiswa Turut Bekerja (MTB) 102,7 FM milik pengusaha Nasion Said Marcos. Sejak empat tahun lalu radio itu mengudarakan siaran berbahasa Mandarin selama empat jam sehari. Sekitar 200 ribu lebih warga keturunan Cina di Surabaya juga bisa menyimak program-program serupa melalui radio Merdeka FM, El Viktor, serta Global FM.

Sekarang, mari kita ke Bandung. Di sana para penikmat Mandarin lebih dimanjakan lagi. Radio Bandung Suara Indah (BSI), dikenal juga dengan nama radio Mei Sheng, menyajikan seluruh siaran dalam bahasa Mandarin. Mengudara 18 jam sehari dengan 42 penyiar, mereka hanya menyelipkan materi berbahasa Indonesia dalam siaran-siaran iklan.

Direktur Mei Sheng, Rizal Daja Sumardi, mengatakan radio itu berawal dari kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid yang membuka keran berekspresi untuk warga keturunan Tionghoa.

"Kami lantas ingin menggarap pasar pemirsa keturunan ini," katanya. Tadinya, siaran Mei Sheng malah mendapat kecaman, terutama dari sesama keturunan Cina. Alasan mereka, bisa menyulut kerusuhan, "Kalau Bandung rusuh, pasti karena BSI," Rizal menirukan ucapan pengkritiknya.

Eh, alih-alih rusuh, para a'a dan teteh yang asli Bandung malah ikut mendukung. Mereka minta diputarkan lagu tertentu dan kerap bergabung dalam acara-acara off air di Mei Sheng. Tren go Mandarin menurut Sidharta bisa pula membuka lahan besar baru dalam industri jasa. Sekitar 25 juta wisatawan Cina bertandang ke luar negeri saban tahun, 7 juta di antaranya mampir di Thailand. Di Indonesia? "Baru sekitar 50 ribuan. Mereka bilang seperti orang buta huruf jika masuk ke sini," tuturnya.

Soal "buta huruf" itu dialami pula oleh orang tua Sidharta, yang menginjak Indonesia satu generasi lalu—Sidharta adalah generasi kedua yang tumbuh di tanah baru Indonesia. Dilahirkan pada 72 tahun lalu, dia diberi nama Xu Jing Neng, yang berarti menghormati orang pandai. Dan inilah keyakinan Sidharta: "Kepandaian datang dari pengetahuan, dan bahasa adalah khazanah yang mengalirkan rupa-rupa pengetahuan."

Untuk menghindari "buta huruf dan buta budaya" itu pula, kedua orang tuanya memasukkan dia ke pendidikan berbau nasional sejak kecil, yakni di Taman Madya, Perguruan Taman Siswa. Selain itu, ia juga bersekolah di Tiong Hwa Hwee Kwan (THHK), lembaga pendidikan dengan bahasa pengantar Cina. Alhasil, kemampuan bahasa Mandarin-nya diasah sejak kecil. "Dan saya mulai mengajar sejak umur 18 tahun," tutur Sidharta.

Alumni Xianman University yang pernah ikut melatih 2.000 guru Mandarin di Jakarta ini menyaksikan masa-masa pasang naik dan pasang surut perkembangan bahasa ini di Tanah Air. Termasuk di zaman susah, ketika bahasa ini dilarang dipercakapkan di depan umum setelah naiknya Orde Baru. "Saya yakin betul suatu hari bahasa Mandarin akan bangkit," kata Sidharta. Dan, "Saya ingin sekali bahasa ini dipelajari sebanyak mungkin orang-orang Indonesia yang non-keturunan."

Maka, pada 1993, bersama beberapa rekannya, ia membuka seksi Mandarin di Lembaga Pendidikan ILP di Jakarta. Dimulai dengan beberapa murid, kini mereka menjaring sekitar 2.000 murid di seluruh Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus