Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Orang Cina di Mata Mereka

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH era reformasi datang, keleluasaan terhampar bagi orang Cina di Indonesia. Mereka bebas mengekspresikan budaya, aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Hanya, apakah diskriminasi yang pernah mereka alami sudah berakhir? Bagaimana pula pergaulan warga keturunan Cina dengan warga pribumi selama ini? Berikut ini pendapat sejumlah tokoh masyarakat.

M.S. Hidayat (Ketua Umum Kadin)
"Ada Pelajaran dari Peristiwa Mei"

Kerusuhan Mei 1998 silam memberikan banyak pelajaran kepada warga keturunan Cina. Teman-teman pengusaha Cina menjadi terbuka mata dan pikirannya bahwa selama ini ada sesuatu dari mereka yang juga perlu diubah. Mereka sadar perlu semakin bersosialisasi dan bergaul dengan warga pribumi.

Saya melihat banyak pengusaha keturunan Cina yang sangat nasionalistis. Mereka bahkan menyesalkan sejumlah temannya yang meninggalkan Indonesia setelah kerusuhan dan tidak mau kembali. Saya sendiri punya sejumlah teman, di antaranya Christianto Wibisono, yang setelah kerusuhan itu memilih tinggal di luar negeri.

Para pengusaha Cina itu kadang juga menyesalkan sikap rekan-rekan mereka yang melanggar hukum. Tindakan itu juga merugikan mereka. Karena itu, mereka tak ragu-ragu menuntut pemerintah untuk menghukum teman-teman mereka.

Jangan salah, kalangan orang Cina sendiri tidak kompak. Saya baru menyadari adanya sejumlah organisasi pengusaha saat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencari ketua komite Cina. Ternyata ada empat organisasi bisnis dan budaya Cina yang tidak pernah bersatu. Saya katakan kepada mereka bahwa kami perlu seorang ketua komite Cina di Kadin, tak penting apakah dia pribumi atau keturunan Cina. Mereka setuju dan bertepuk tangan. Akhirnya, terpilih Kiki Barki. Ia pengusaha pertambangan dan bergelar sarjana teknik dari Universitas Beijing.

Saya memang melihat masih ada warga keturunan Cina yang tertutup. Seharusnya mereka membuka diri. Saya sendiri tidak pernah membedakan apakah seseorang itu keturunan Cina atau bukan. Dari tiga sekretaris saya, dua di antaranya keturunan Cina dan beragama Katolik.

Dea Ananda (Artis)
"Masih Ada yang Berkelompok"

Saya tidak melihat lagi ada perbedaan antara warga keturunan Cina dan pribumi. Semua asyik-asyik saja. Sekarang warga keturunan dan pribumi semua sama, dapat berbuat sekehendak hatinya. Mereka punya hak yang sama. Di dunia artis, saya juga melihat tidak ada perbedaan. Dalam lingkup pergaulan, saya tidak membedakan apakah teman saya orang Cina atau bukan. Semua fine-fine aja.

Tapi, terus terang, saya melihat masih ada warga keturunan Cina yang hidup berkelompok. Mereka seakan tidak mau berbaur dengan warga pribumi. Saya tidak tahu jumlahnya karena memang belum ada survei. Hidup berkelompok seperti ini tidak baik. Karena itu, saya mengharap mereka menghilangkan kebiasaan ini. Hal itu juga untuk mengantisipasi agar kerusuhan Mei seperti dulu tidak terulang.

Masyarakat Indonesia majemuk, terdiri atas banyak suku dengan berbagai macam kebiasaannya. Nah, ini yang juga harus kita pahami semua, termasuk warga keturunan Cina. Mereka perlu mengerti kebiasaan dan adat istiadat suku bangsa di Indonesia. Kedua belah pihak juga harus saling menghormati. Dengan demikian, kita bisa hidup bertetangga dengan baik, tidak memancing tindakan yang bisa saling merugikan.

Eros Djarot (Budayawan dan Politisi)
"Hanya Perubahan Politik"

Saya melihat ada perubahan pada masyarakat keturunan Cina beberapa tahun terakhir. Kini mereka bebas merayakan hari raya Imlek atau leluasa memakai bahasa Cina. Tapi saya melihat bahwa perubahan ini sesaat, hanya perubahan politik. Kita memang mendengungkan pembauran, tapi realitasnya masih sulit dilakukan.

Dalam bidang ekonomi, tidak bisa dimungkiri, praktek-praktek monopoli dagang masih dilakukan oleh pengusaha Cina. Soal ini masih banyak yang tak berubah. Saya yakin, kendati minoritas, mereka juga sadar, mereka menguasai ekonomi. Ini harus diubah. Harus ada kesadaran untuk meninggalkan praktek tak terpuji ini.

Kita juga masih mendengar banyak pengusaha keturunan Cina yang memprotes perlakuan diskriminatif yang mereka alami, tapi di pihak lain mereka juga diskriminatif. Misalnya dalam memilih atau memperlakukan karyawan.

Saya percaya pembauran yang akan menyelesaikan persoalan ini. Kesadaran pentingnya pembauran itu harus datang dari kedua belah pihak dan peran aktif pemerintah. Jangan justru pemerintah yang merusak hal ini. Bukan rahasia lagi, banyak pejabat kita yang menjalin hubungan khusus dengan pengusaha Cina. Mereka dipakai untuk kepentingan ekonomi. Ini berbahaya karena bisa menimbulkan sentimen negatif terhadap warga keturunan Cina.

Jusuf Kalla (Pengusaha, Calon Wakil Presiden)
"Perlu Membantu Pengusaha Kecil"

Setelah reformasi terjadi, masalah diskriminasi terhadap warga keturunan Cina sudah mencair. Mereka sudah semakin bebas melakukan apa saja, juga mengekspresikan budaya mereka. Ini suatu kemajuan besar dibandingkan dengan lima atau sepuluh tahun lalu. Itu karena pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selama ini tidak dilakukan pemerintah sebelumnya.

Walau demikian, saya mengharap mereka membantu sepenuhnya untuk menumbuhkan iklim bisnis yang bersih. Saya meminta mereka aktif ikut membantu memberantas pelaku bisnis atau pengusaha yang nakal atau juga pengusaha congkak. Saya memang mengharapkan para pengusaha nakal itu diberantas. Jika tidak, negeri ini akan rusak.

Para pengusaha keturunan Cina yang kuat dan sukses seyogianya juga memberikan bantuan dan dukungan terhadap kelompok pengusaha kecil, baik pengusaha pribumi maupun nonpribumi. Kita memang sejak awal bertekad untuk tidak melakukan diskriminasi kepada siapa pun. Yang terpenting, kita semua menciptakan dan menjaga harmoni bangsa.

Indra J. Piliang (Peneliti dari CSIS)
"Belum Ada Perubahan Substansial"

Sekarang saya melihat ada kemajuan perlakuan pemerintah terhadap etnis Cina. Mereka lebih bebas bergerak di masyarakat. Ini tecermin dari meriahnya pertunjukan barongsai di mana-mana saat perayaan hari raya Imlek. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu juga sudah diakui.

Hanya, semua baru bersifat politis, belum menjangkau institusi pemerintah. Lihat saja, sampai sekarang warga keturunan Cina masih diwajibkan menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) saat mengurus paspor. Jadi, secara substantif belum ada perubahan. Pekerjaan utama pemerintah sebenarnya mewujudkan komitmen politik ini menjadi kebijakan teknis administratif.

Memang peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang lalu meninggalkan trauma bagi warga keturunan Cina. Tapi, trauma lebih banyak dialami warga keturunan Cina di Jakarta dan Solo. Untuk di luar daerah itu, tidak banyak pengaruhnya. Aspirasi mereka? Sebenarnya yang diinginkan orang Cina adalah stabilitas pemerintahan. Ini wajar karena sebagian dari mereka pedagang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus