Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat keturunan Cina Indonesia di era reformasi adalah sosok barongsai yang melompat laksana kilat. Ya, barongsai setinggi tiga meter yang mengangkat kepala serta kaki depannya, namun sekonyong-konyong mengubah ritme gerakannya: menerkam bongkahan sayuran yang digantung di sebuah tiang.
Sore itu, pertengahan bulan lalu, di arena Pekan Raya Jakarta, penonton menahan napas. Bintang barongsai itu bersembunyi di balik selubung kepala singa: seorang remaja berwajah Melayu, bertubuh selentur karet dan memiliki penguasaan akrobatik tinggi. Namun bukan itu yang teramat menarik. Tubuhnya sekarang terayun-ayun seperti sebuah pendulum, kaki kirinya terkait di salah satu tiang, kepalanya di bawah. Penonton terkesiap, tapi barongsai itu tersenyum. Mulutnya merekah dan mata kanannya berkedip-kedip, jenaka, dan tentu saja atraktif.
Dialah Singa Selatan. Gerakan kepalanya lincah, melonjak-lonjak, sedangkan gerakan badannya lebih irit, mengimbangi dari belakang. Puncak atraksinya: gerakan singa memakan amplop berisi uangistilahnya lay see. Singa Selatan sering tampil humoris. Ia memang suka menelan amplop yang biasanya melekat di sayuran selada air, hadiah bagi sang singa. Ia bukan Singa Utara yang mempunyai gerakan gerakan-gerakan agresif, punya naluri bertanding tinggi. Dulu, pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, Singa Utara, yang menggunakan berbagai teknik agresif bela diri dari Cina Utara, dominan. Barongsai dari Ambarawa dan Semarang dikenal memiliki karakter itu.
Singa Selatan. Dari luar, ia adalah sosok dengan tubuh bersisik, jumlah kakinya bisa dua, bisa empat. Dari dalam, ia adalah para anak muda yang berkulit cokelat, bermata bulat, dan berambut keritingdi samping (tentunya) yang bermata sipit, berkulit kuning. Oscar Kam Hok Kan, lelaki keturunan Fujian (Hokkian) yang telah menggeluti barongsai sejak 1975, menyebut ini bineka tunggal ika. Di belakang Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Oscar, 60 tahunan, memimpin dan melatih sekitar 40 pemuda yang bergabung dengan Barongsai Bel Pas (Belakang Pasar). Sebuah kelompok barongsai yang cukup solid dan sering tampil dalam berbagai acara, tapi beranggotakan beragam etnis, bermacam profesi: dari buruh pasar, pemilik kios, pelajar, hingga mahasiswa.
Kini, Singa Selatan bermata lucu itu bukan makhluk asing yang hidup sendiri, terpisah dari lingkungannya. Sucipto, 57 tahun, pelatih dan pemilik perguruan wushu Genta Suci yang menaungi kelompok barongsai L'ung Chio Dragon Lion Dances Troop, misalnya, juga bercerita tentang keragaman anak buahnya. "Kebanyakan anak-anak sekitar rumah," katanya. Ia berbicara tentang regenerasi. Sebuah proses yang berasal dari ayahandanya, turun ke dirinya, lantas ke putranya Herry Siswantoro (Lim Swie Kiong), bagian dari satu generasi baru yang mulai menekuni barongsai sejak 1990-an.
Setiap hari, di markas kelompok barongsai ini, di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, anak-anak muda dalam usia 8-25 tahun memperlancar gerakan-gerakan gong wu, mengangkat beban, menjaga kelenturan tubuhnya. Sebenarnya, di dalam bangunan terbuka seluas 7 x 20 meter, di antara sansak dan tiang-tiang besi, mereka juga berlatih wushu. Tapi bela diri bukan menu utama. Gerakan dasar ini secara bertahap diramu bersama dalam komposisi gerakan barongsai. Mula-mula dimainkan di lantai, lalu di atas bangku, terakhir di atas tiang. "Main di atas tiang ini cukup sulit," kata Sucipto, lelaki yang lahir dengan nama Lim Tiong Giok, seorang pemegang sabuk hitam Dan-3 karate Kyokushinkai yang sekarang menekuni wushu.
Zaman memang sudah berubah, dan barongsai melompati sejumlah pagar yang menjaga sekaligus mengurungnya. Di Jombang, Jawa Timur, intensitas pertunjukan barongsai pernah melebihi pentas kuda lumping. Arena pentasnya pun istimewa: di lapangan terbuka dan alun-alun kota. Di kota santri ini kompetisi barongsai nasional pernah digelar tiga tahun silam.
Barongsai kini bukanlah kelompok yang cukup mendemonstrasikan kemampuannya di wihara ataupun kelenteng. Bukan sekadar ritual kuno pengusir roh jahat. Barongsai perlahan-lahan menjadi satu dengan dunia luar, tak terkecuali dunia bisnis. Sejak 1998, barongsai tak hanya tampil dalam perayaan Imlek. Barongsai muncul di mal-mal, di plaza. Bahkan belakangan ini sosok Singa Selatan, berikut bunyi tambur dan kencrengnya yang memekakkan, tampak dalam acara pembukaan pameran mobil, peresmian plaza, peluncuran produk baru, dantentu sajaperayaan 17 Agustusan.
Kelompok L'ung Chio Dragon Lion Dances Troop, binaan sejoli Sucipto dan putranya, misalnya. Kelompok pemegang gelar juara kedua Kejuaraan Nasional Barongsai 2001 di Jombang dan grup terbaik dalam kompetisi barongsai Jakarta Open 2001 ini bisa naik pentas dua kali sebulan. Termasuk laris memang. Tarifnya pun lumayan. Untuk manggung selama 10 menit di atas tiang tiga meter, tarifnya mencapai Rp 5 juta. Hampir semua plaza dan mal besar di Jakarta pernah dijelajahi, tapi itulah cerita tahun lalu, saat keberuntungannya memang luar biasa.
"Tahun ini sudah mulai berkurang," kata Herry Siswantoro, 28 tahun. Soalnya, kelompok barongsai semakin banyak dan pilihan yang ditawarkan kian beragam. Tapi inilah bisnis baru, dan di sana nama besar tak lekas pudar. Akhir Agustus nanti kelompok ini akan muncul dalam tablig akbar bersama Aa Gym di Markas Besar Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Jadwal tampil lain juga masih menunggu. Termasuk rutinitas turun-temurun, dari generasi kakek hingga cucu: mengisi acara internal di beberapa kelenteng Jakarta.
Sejak Soeharto lengser, percikan-percikan budaya Tionghoa yang dilarang di masa Orde Baru meranggas, berkembang biak seakan melalui spora. Paguyuban lama, seperti paguyuban kesenian, dihidupkan kembali. "Itu dimanifestasikan dengan barongsai, liang-liong, dan tarian Tionghoa," kata Harry Tjan Silalahi, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta. Itulah cerita tentang kembalinya kebebasan yang hilang selama tiga dasawarsa.
Lihatlah seni rupa. Potret sosok keturunan Cina di Indonesia juga sosok lukisan Cina yang perlahan-lahan bergerak meninggalkan obyek-obyek alam: ikan emas, burung, atau pohon bambu. Kebebasan berekspresi yang bahkan sejak tiga tahun silam menyerap gelombang pameran para perupa Cina di Indonesia. Tahun lalu, 16 perupa Cina kontemporer seperti Fang Lijun, Zhang Gong, Yue Mijun, dan Shen Xiaothong, menggelar pameran di Galeri Nasional Indonesia dan Edwin's Gallery Jakarta.
Lihatlah musik. Reformasi juga berarti kebebasan mengimpor instrumen tradisional Cina. Guzheng, alat musik petik Cina berdawai 21, adalah primadona yang kini dimainkan di mana-mana. Bentuk dan kekayaan nadanya mendekati kecapi: sang instrumen diletakkan di atas meja, lantai, atau di pangkuan si pemain, dan koleksi nada-nadanya bersifat pentatonik (do, re, mi, sol, la). Namun guzheng disambut demikian hangat. Alat itu dimainkan dalam acara pembukaan pameran properti, peluncuran produk baru, hingga peresmian pusat belanja.
Guzheng populer. Lebih-lebih setelah 12 Girls Band memperlihatkan kelenturan dan kehebohan alat itu, Juli lalu, di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta. Mereka pemain instrumen tradisional Cina, termasuk guzheng. Gadis-gadis cantik, berpendidikan sekolah musik, mendemonstrasikan kemampuannya memainkan musik tradisional, pop, bahkan klasik Barat. Ya, dengan sedikit teknik pelesetan, di tangan ahlinya, guzheng bisa menghasilkan nada-nada di luar kerangka pentatonik. Eni Agustian, 28 tahun, seorang pengajar guzheng, biasa memainkan theme song Meteor Garden yang beken, Yue Liang Dai Biau Wo De Xin, sebuah lagu yang kini teramat ngetop di Cina, atau bahkan Bengawan Solo.
Eni belajar guzheng di Taiwan, Singapura, dan Shanghai Music Conservatory, dan kini ia melihat dunia yang dulu tak terbayangkan.
Di Sekolah Musik Kawai, tempat Eni mengajar, 42 orangberusia 7 sampai 60 tahuntampak melatih jari-jari tangan kiri dan kanannya, memperlancar lagu-lagu lama dan berkenalan dengan lagu baru. Sebagian pemainnya keturunan Cina, sebagian lagi Melayu. Eni Agustian melihat perkembangan ini dengan hati gemuruh. Apalagi sekarang ia mempunyai 17 murid khusus, siswa Taman Kanak-Kanak Penabur, Jakarta. Ia melihat suatu kontras. Dulu, pada masa Orde Baru, hanya segelintir orang menekuni guzheng. Mereka tersebar di kota besar seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan, tapi tiada satu pun yang berani tampil di muka umum karena larangan Orde Baru. Mempelajari guzheng adalah tindakan rahasia: dari rumah ke rumah, dan sang guru menyembunyikan kemampuannya.
Tapi dunia berubah drastis. Sama seperti barongsai di atas, Eni mengungkapkan jadwal acara manggungnya yang ketat: naik pentas 2 sampai 5 kali sebulan, sebagian besar muncul dalam peresmian pusat belanja, atau main bersama band gereja.
Inilah Indonesia yang boleh jadi membuat kita tersenyum. Ada guzheng memainkan Bengawan Solo, ada kelompok nasyid yang melantunkan salawat nabi dalam langgam musik Mandarin, bahkan dua tahun lalu kelompok nasyid Snada merilis album Neo Solawat. Tembang andalannya salawat, dalam bahasa dan cengkok Mandarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo