Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Abad Gelap itu...

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah pojok kampung kusam nun di timur Jakarta, Kam Hok An memulai hari dengan berlutut. Di mukanya Dewi Kwan Im, Buddha, dan Kong Hu Cu telah memberikan janji: abad gelap sudah dilaluinya. Sejak 1998, nama Orde Baru telah menjadi makam. Artinya, Belpas, kelompok kesenian barongsai, ajangnya berekspresi sekaligus tempat mencari nafkah, telah bergeliat. Untuk 32 tahun yang gelap, segala kegiatan yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan Imlek yang terbuka dan riuh-rendah barongsai yang luar biasa berwarna itu, diberangus. Pada masa gelap itu, Kam Hok An menjalani masa pahit tersebut seperti sebuah gerilya. Sementara sesekali dia tetap mementaskan barongsai, Kam Hok An bekerja sebagai salesman di sebuah perusahaan alat-alat tulis kantor. Penghasilan yang tak seberapa harus terbagi dua: menghidupi lima anak dan grup kesenian barongsai. Ritme hidup yang pahit itu telah dijalani pria 53 tahun ini sejak 1973 hingga 1998. Kini, hari-harinya dicurahkan sepenuhnya pada barongsai. Ia mengajak pemuda dari berbagai suku—Jawa, Sunda, Ambon—di sekitar rumahnya di belakang Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, untuk ikut berlatih barongsai. Grup kesenian tradisional Cina yang dibidaninya itu bergairah kembali. Tawaran demi tawaran berpentas membanjirinya. ”Saya sangat bahagia karena barongsai boleh berpentas lagi,” katanya berseri-seri. Liem Hok Gie, 65 tahun, juga punya kisah masa lalu. Bersama 125 warga keturunan Tionghoa di kawasan Ranca Bungur, Bogor, Liem Hok Gie bergelut dengan kemiskinan selama bertahun-tahun. Program pengentasan rakyat miskin dari pemerintah tak menyentuhnya hanya karena mereka dianggap berbeda. Memang bantuan beras bagi rakyat miskin sempat mengalir di kampung itu. Namun beras yang tak seberapa itu pun hanya bisa dinikmati sekali dalam dua bulan. Pada usianya yang mulai renta, Liem Hok Gie bekerja serabutan demi menghidupi keluarganya. Kadang menjadi buruh peternakan ayam, lain hari sebagai buruh tani. Dalam sehari ia hanya mengantongi Rp 2.000. Itu kalau sedang mujur. Sepenggal kebahagiaan yang kini masih tersisa di rumah bilik berlantai tanah adalah berkumpul dengan keluarga melepas lelah sembari mengisap rokok. Syahdan, di Tanjung Burung, Teluk Naga, Tangerang, seseorang bernama Te Cun Wat, 46 tahun, juga berkubang dalam kemiskinan. Ia bekerja serabutan. Mencari kayu di sekitar kampungnya, menjadi buruh tak tetap di sebuah galangan kapal, dan memelihara 15 ekor babi yang diternakkan. ”Tapi itu tak seberapa,” katanya lirih, ”Makanya saya lebih suka disebut memelihara, bukan beternak babi.” Di berbagai pojok Indonesia, mereka hidup seperti sebagian besar rakyat Indonesia: mencoba bertahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus