Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 13-14 Mei 1998 adalah hari-hari yang penting bagi etnis Tionghoa di Indonesia karena, pada dua hari itu, di Jakarta dan Solo terjadi kerusuhan anti-Tionghoa secara besar-besaran. Bukan saja terjadi pembunuhan dan pembakaran, tetapi juga pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa secara sistematis. Minoritas ini tidak mendapat perlindungan sama sekali dan teriakan mereka tidak didengar oleh penguasa. Peristiwa ini telah mengejutkan masyarakat Tionghoa dan dunia internasional. Mereka yang mampu telah mengungsi ke luar negeri, tetapi mayoritas tetap berdiam di Indonesia. Masyarakat Tionghoa umumnya bingung, jikalau tidak putus asa. Bahkan banyak yang bertanya-tanya apakah masih ada tempat bagi etnis Tionghoa di Republik Indonesia.
Pada bulan yang sama, Soeharto lengser. Sejak itulah sejarah kontemporer Indonesia memasuki era reformasi. Dalam era baru yang demokratis ini, etnis Tionghoa mulai merasa bahwa mereka masih punya harapan untuk memperoleh satu tempat yang layak di bumi Indonesia ini.
Peristiwa Mei yang rasialis dan tidak terpuji itu membawa perubahan bagi masyarakat Tionghoa. Etnis Tionghoa, baik yang peranakan maupun yang totok, rupanya sadar bahwa mereka harus bertindak dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara RI. Pelbagai partai politik seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembauran Indonesia (yang tidak lama kemudian menjadi asosiasi biasa), dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI) pun lahir. Di samping itu, banyak pula non-government organizations (NGOs) seperti Solidaritas Nusa-Bangsa (SNB), Gerakan Anti-Diskriminasi (Gandi), Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PSSTI), dan Perhimpunan INTI dibentuk untuk memperjuangkan nasib Tionghoa Indonesia.
Meskipun kelihatannya masyarakat Tionghoa Indonesia telah bersatu, sebetulnya ketidakpaduan masyarakat itu masih kentara. Ini disebabkan masyarakat Tionghoa Indonesia terdiri dari kelompok budaya, kelas, kepercayaan, dan orientasi politik yang berbeda. Karena itu, partai-partai yang didominasi etnis Tionghoa sangat lemah dan tidak efektif. Ini berhubung dengan kecilnya jumlah minoritas Tionghoa dan keanekaragaman komunitas tersebut. Tidaklah mungkin minoritas Tionghoa bergabung dalam satu partai politik atau organisasi.
Perlu dicatat bahwa Orde Baru, yang dikatakan telah menguntungkan minoritas Tionghoa itu, ternyata mengabaikan kelompok tersebut. Banyak Tionghoa yang kecewa terhadap rezim Soeharto serta Golkarnya. Maka, ketika Pemilu 1999 diadakan, banyak Tionghoa yang mendukung PDIP Megawati dan juga partai-partai Indonesia lainnya seperti PKB dan PAN. Rupanya, yang menyokong Golkar tetap ada, namun kecil jumlahnya. Sedangkan partai etnis Tionghoa sendiri, seperti Parti dan Partai Pembauran, tidak ikut pemilu. Yang ikut serta hanya PBI-nya Nurdin Purnomo, yang hanya memperoleh satu kursi di DPR 1999-2004. Tampaknya, etnis Tionghoa lebih cenderung ikut serta dalam partai-partai pribumi ketimbang partai etnis. Partai etnis kurang populer di Nusantara dan, pada Pemilu 2004, tidak satu pun partai etnis Tionghoa yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu.
Namun, puluhan orang etnis Tionghoa yang berpartisipasi politik bergabung dalam partai-partai "pribumi". Mereka sadar bahwa jumlah Tionghoa di Indonesia terlalu kecil sehingga suaranya juga tidak terdengar. Tanpa dukungan masyarakat pribumi yang mayoritas, bukan saja mereka tidak akan terpilih, bahkan keselamatan mereka pun tidak akan terjamin. Jadi, memperoleh pengertian dan simpati rakyat Indonesia yang pribumi merupakan syarat mutlak bagi keselamatan, kalau bukan kemakmuran, etnis Tionghoa di Indonesia.
Sebetulnya sikap masyarakat "pribumi" pun mulai berubah terhadap minoritas Tionghoa. Pemerintah Indonesia yang baru, terutama sejak Abdurrahman Wahid, mulai memberikan tempat bagi etnis Tionghoa di Nusantara. Ia telah membatalkan satu keputusan presiden yang melarang etnis Tionghoa merayakan hari-hari besar tradisionalnya, bahkan secara simbolis ia bertahun baru Imlek bersama masyarakat Tionghoa setempat. Sebetulnya, sebelum menjadi presiden, Gus Dur telah mencetuskan konsep bangsa Indonesia yang baru, yaitu bangsa Indonesia terdiri dari tiga "ras", salah satunya ialah "ras Cina".
Namun, konsep semacam ini kurang mendapat perhatian masyarakat pribumi. Sebetulnya, pada tahun 1963 sebelum Sukarno tumbang, dia juga pernah mengusulkan konsep bangsa Indonesia yang terdiri dari suku-suku, salah satu sukunya adalah "suku peranakan Tionghoa". Tetapi konsep itu telah dicampakkan jauh-jauh di zaman Soeharto. Orde Baru telah menjalankan kebijakan asimilasi total untuk masyarakat Tionghoa. Tiga pilar budaya etnis Tionghoa, yaitu organisasi Tionghoa, media massa Tionghoa, dan sekolah Tionghoa, telah dihapus. Bahkan semua WNI Tionghoa dianjurkan mengganti namanya dengan "nama Indonesia", yang sering diartikan nama apa saja kalau bukan "nama Cina". Secara umum, karena tekanan, kawin campur, atau kesadaran diri sendiri, etnis Tionghoa di Indonesia telah mengganti nama Tionghoa-nya menjadi "nama Indonesia". Namun, ketika Gus Dur menjadi presiden dan ia menganjurkan supaya WNI Indonesia memakai nama Tionghoa-nya kembali, tidak banyak yang melakukan itu. Sebabnya?
Mungkin mereka enggan mengganti namanya kembali karena mereka sudah dikenal dengan "nama Indonesia"-nya. Mungkin mereka merasa repot untuk mengurus surat-surat yang begitu banyak jikalau mau ganti dengan nama lama. Yang perlu disebut di sini adalah: generasi muda yang lahir sejak berdirinya Orde Baru umumnya tidak lagi memiliki nama Tionghoa. Jadi, ganti dengan nama lama bagi generasi muda ini merupakan hal yang mustahil.
Yang perlu dicatat, ada etnis Tionghoa yang mengalami trauma dan putus asa dengan Indonesia dan tidak mau kembali lagi ke Indonesia. Akan tetapi, yang terbanyak kemudian kembali ke Indonesia ketika keamanan Indonesia pulih kembali. Bagi etnis Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya! Banyak yang tidak betah atau tidak biasa hidup di rantau orang.
Di samping itu, pemerintah Indonesia pasca-Soeharto mulai menjalankan "multikulturalisme". Kebijakan asimilasi secara teori, kalau bukan secara praktis, telah ditinggalkan. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia tidak lagi dipaksakan untuk berasimilasi total dengan pribumi. Media massa Tionghoa, organisasi Tionghoa, dan sekolah "bahasa Tionghoa" (bukan sekolah Tionghoa ala pra-1965 yang berbahasa pengantar bahasa Tionghoa) telah diizinkan. Walaupun adanya tiga pilar budaya Tionghoa ini tidak banyak artinya bagi peranakan Tionghoa yang berjumlah besar di Indonesia, sebagai masalah identitas ini merupakan suatu simbol bahwa pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru mengakui budaya Tionghoa.
Walaupun pengakuan kebudayaan Tionghoa di Indonesia sudah ada, diskriminasi rasial dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan masih belum dicabut. Frans H. Winarta, S.H., misalnya, menunjukkan bahwa masih lebih dari 60 buah undang-undang dan peraturan-peraturan yang berunsur diskriminasi rasial yang belum diamendemen, termasuk Undang-Undang Kewarganegaraan dan Ketetapan MPRS No. 32/1966 (mengenai larangan koran Tionghoa dan penggunaan aksara Tionghoa untuk toko-toko). Drs. Eddie Lembong, Ketua Umum INTI, juga merujuk ke staatsblad di zaman kolonial yang membeda-bedakan golongan rasial yang menjadi sumber "diskriminasi". Tetapi, semua ini masih belum diamendemen. Pemerintah dan wakil rakyat masih harus membenahi undang-undang dan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan semangat reformasi.
Perlu ditegaskan bahwa keadaan masyarakat Tionghoa, terutama dalam bidang budaya, mengalami perbaikan sejak bermulanya reformasi. Namun, kentara pula bahwa keamanan kurang memuaskan. Di samping itu, pemerintah sampai kini masih juga belum menuntaskan perkara peristiwa Mei 1998 dan peristiwa-peristiwa lain yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam konsep bangsa Indonesia, meskipun pluralis, dasar kepribumian masih kuat. Konsep kepribumian itu kini bukan saja ditujukan kepada etnis Tionghoa, tetapi juga kepada sesama suku Indonesia sendiri. Misalnya, orang Madura di Kalimantan dianggap bukan pribumi sehingga mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Jadi, dampak kepribumian ini bukan saja terhadap etnis Tionghoa, tetapi lebih besar lagi bagi negara kesatuan Indonesia. Ditonjolkannya dasar kepribumian akan memecahkan bangsa Indonesia yang masih muda ini.
Pembangunan-bangsa Indonesia selain mendapat cabaran ethnic nationalism (nasionalisme suku) yang disebut di atas, globalisasi, dan bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dan politik, juga bisa menarik hati etnis Tionghoa di seluruh Asia Tenggara, termasuk yang di Indonesia. Namun, ini tidak berarti bahwa etnis Tionghoa di Indonesia, terutama peranakan Tionghoa, akan menjadi Chinese seperti Tionghoa daratan (mainland Chinese) kembali. Sebab, selama mereka tetap tinggal dan hidup di Indonesia, memperoleh pendidikan di Indonesia, dan diperlakukan sebagai warga Indonesia, mereka akan tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo