Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Enam Belas Abad

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fa Hien menapakkan jejak orang Cina pertama di wilayah Nusantara pada tahun 414—setidaknya itu yang dicatat sejarah. Musafir Buddha inilah yang menulis tentang Kerajaan Hindu Tarumanegara dan Kalingga di Jawa. Migrasi besar pertama ke Indonesia pada tahun 1600-an melejitkan jumlah orang Cina di Batavia dari 2.000-an ke 10.000-an. Kronologi di bawah ini akan memaparkan sejumlah peristiwa penting menyangkut etnis Cina di Indonesia. Dibuka dengan pembantaian orang Cina oleh serdadu Belanda pada 1740, kronologi bergerak hingga periode 2000. Di tahun ini, Presiden Abdurrahman Wahid mencopot aneka larangan yang lama mengungkung warga keturunan Cina di Indonesia.

9 Oktober 1740
Pembantaian orang Cina di Batavia oleh serdadu VOC, menewaskan sekitar 10 ribu orang. Disebut-sebut sebagai rasialisme anti-Cina terbesar dan pertama kali di Indonesia.

1800-an
Terjadi gelombang migrasi terbesar dalam sejarah migrasi etnis Cina ke Indonesia. Kebanyakan mereka didatangkan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan. Dikotomi antara "totok" dan "peranakan" muncul dari migrasi ini.

1804
Pemerintah kolonial Belanda melarang etnis Cina menjalankan perdagangan primer.

1816
Dalam politik adu domba di antara rakyat jajahan (divide et impera), penjajah memanfaatkan orang Cina sebagai pedagang perantara dengan penduduk pribumi.

23 September 1825
Puluhan orang Cina dibantai di Ngawi, Jawa Timur, oleh pasukan berkuda pimpinan Raden Ayu Yudakusuma, putri Sultan Hamengku Buwono I.

17 Maret 1900
Di Batavia berdiri Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pimpinan Phoa Keng Hek. Ini organisasi peranakan Cina yang bertujuan memajukan kembali budaya Cina dan agama Konghucu.

1901
Sekolah THHK di Jalan Patekoan 19 (Jalan Perniagaan) mendapat sambutan luas. Pemerintah Hindia Belanda khawatir, lalu membuka HSC, sekolah khusus untuk anak-anak Cina dengan pengantar bahasa Belanda. Berdirinya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam, Moehammadijah, dan organisasi lain.

1907
Pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan orang Tionghoa mengajukan permohonan untuk memperoleh persamaan status hukum dengan golongan Eropa (gelijkstelling).

1909
Pemerintah Cina mengeluarkan undang-undang yang menyatakan seluruh orang keturunan Cina berkebangsaan Cina.

10 Februari 1910
Pemerintah Kerajaan Belanda mengumumkan berlakunya "Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap" (WNO), undang-undang yang menyatakan seluruh orang Cina keturunan kedua yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula Belanda tetapi bukan warga negara Belanda. Karena pemerintah Cina dan Belanda sama-sama mengklaim orang Cina yang lahir di Hindia Belanda sebagai warganya, timbul masalah dwi-kewarganegaraan. Pada 1955, masalah ini diselesaikan dengan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan Republik Rakyat Cina.

1912
Kerusuhan anti-Cina di Solo dipicu oleh persaingan dagang antara para pedagang batik Cina dan Jawa.

31 Oktober 1918
Kerusuhan anti-Cina pecah di Kudus, dipicu oleh persaingan antara pengusaha rokok etnis Cina dan non-Cina. Rumah-rumah dan toko-toko milik orang Cina dijarah dan dibakar oleh ribuan orang Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak, dan daerah sekitarnya.

1919
Orang-orang Cina di Surakarta memotong kucir dan menukar pakaian tradisional mereka dengan pakaian bergaya barat dan tampil seperti sinyo.

1927
Lahir kelompok baru peranakan Tionghoa berpendidikan Belanda. Kelompok ini bernaung di dalam Partai Chung Hua Hui, yang menganggap Hindia Belanda sebagai bagian dari Kerajaan Belanda sehingga menghendaki komunitas Cina berorientasi kepada Negeri Belanda. Kelompok ini menjadi pesaing Sin Po, kelompok yang menganggap Cina adalah negara leluhurnya.

1930
Sensus penduduk pertama untuk golongan Asia Timur. Pemerintah kolonial mencatat ada 1,9 juta etnis Cina di Hindia Belanda, 63 persen di antaranya lahir di Indonesia. Dari 1,9 juta jiwa ini, 83 persen tinggal di Pulau Jawa.

1932
Lahir Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di Surabaya pimpinan Liem Koen Hian. Kelompok ini berargumentasi bahwa Indonesia adalah tanah airnya karena sebagian besar peranakan Tionghoa lahir, hidup, dan meninggal di Indonesia. Partai ini mendukung gerakan mencapai Indonesia merdeka.

1940
Terjadi pembatasan berimigrasi ke Indonesia sehingga jumlah Cina "totok" di Indonesia terus menurun.

Mei 1946
Sebanyak 635 (termasuk wanita dan anak-anak) orang Cina menjadi korban pembunuhan. Sebanyak 1.268 rumah etnis Cina habis dibakar dan 236 rumah dirusak di Tangerang dan sekitarnya. Diperkirakan ada 25 ribu orang pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Kerusuhan menjalar ke Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Pekalongan, Tegal, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Gombong, Lumajang, Jember, Malang, Lawang, Singosari, dan lain-lain.

Juni 1946
Kerusuhan rasial terjadi di Tangerang—dikenal dengan istilah "peristiwa Tangerang"—dipicu oleh adanya tuduhan sepihak bahwa orang-orang keturunan Cina sebelumnya pro-Belanda dan dicurigai menjadi agen tentara NICA.

1949
Republik Rakyat Cina mendirikan Departemen Komisi Cina Perantauan dan memberikan 30 kursi di Kongres Rakyat Cina untuk wakil-wakil Cina perantauan, termasuk dari Indonesia. Tujuannya: melindungi kepentingan orang-orang Cina di perantauan, memperkuat ikatan mereka di perantauan dan dengan tanah leluhur, menganjurkan kaum perantauan mengirimkan uangnya ke Negeri Cina.

Agustus 1950
Partai Demokrat Tionghoa Indonesia disahkan dalam sebuah kongres di Bandung.

13 Maret 1954
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan oleh para pemuka golongan Cina di Jakarta. Organisasi massa ini kemudian berubah menjadi partai politik dan berhasil meraih beberapa kursi di Konstituante pada Pemilu 1955.

1959
Pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959, yang isinya melarang orang-orang Cina asing berdagang di tingkat kabupaten ke bawah. Akibatnya, ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa melakukan repatriasi ke RRC.

1963
Akibat lanjutan dari PP No. 10, para komandan militer (Angkatan Darat), khususnya di Jawa Barat, melarang orang Cina bertempat tinggal di pedesaan.

Mei 1963
Kerusuhan rasial pecah di beberapa tempat di Jawa Barat, seperti Sukabumi, Cirebon, dan Bandung.

1967
Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 14/1967, yang berisi larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat Cina di Indonesia. Juga, dikeluarkan surat edaran No. 06/Preskab/6/67, yang isinya menyatakan masyarakat Cina harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia.

1978
Penggunaan bahasa Cina dilarang sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/KP/XII/1978. Rezim Orde Baru juga menginstruksikan agar gerak-gerik masyarakat Cina harus diawasi oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

1988
Dikeluarkan surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/988, yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum. Juga lahir Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui kelenteng Cina.

1996
Muncul ketentuan Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 Juli 1996. Isinya, semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus. Keputusan presiden ini kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 26/1998.

Mei 1998
Pecah kerusuhan Mei di Jakarta dan Solo. Sejumlah korban tewas dan terjadi pemerkosaan terhadap para wanita keturunan Cina. Sekitar 5.000 warga keturunan Cina Indonesia melarikan diri ke luar negeri.

5 Juni 1998
Lieus Sungkharisma, bendahara Komite Nasional Pemuda Indonesia, mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti). Tujuan partai ini, antara lain, memperjuangkan integrasi keturunan Cina ke dalam bangsa Indonesia.

Mei 1999
Terbit Instruksi Presiden No. 4/1999, yang memperbolehkan adanya pelajaran dan penggunaan bahasa Mandarin di Indonesia.

2000
Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina di Indonesia. Presiden juga menerbitkan Keputusan Presiden No. 6/2000, yang memperbolehkan warga Cina mengekspresikan kebudayaan, termasuk kebebasan menjalankan agama di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus