Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Fatwa Mati untuk Ulil

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH parsel Lebaran buat Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla. Senin pekan lalu, sekelompok ulama yang mengatasnamakan dirinya pimpinan pondok pesantren dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengeluarkan ancaman keras kepada Ulil. Menantu Mustafa Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah, ini dinilai menghina Allah, Islam, dan Nabi Muhammad.

Dasar fatwa itu adalah tulisan Ulil berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" di harian Kompas, 18 November lalu. Di sana ia mengkritik keras orang-orang yang memandang Islam sebagai doktrin yang beku dan mencampuradukkan antara Islam dan kebudayaan Arab. "Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab tidak usah diikuti. Contohnya jilbab, potong tangan, kisas, rajam, jenggot, jubah...," tulis Ulil. Ia juga menggugat banyak ulama yang meyakini adanya "hukum Tuhan" sebagai hukum yang pasti dan mengikat. "Yang ada adalah prinsip-prinsip (Islam) yang umum dan universal," tulisnya lagi.

Sejumlah ulama berang. "Syariat Islam menggariskan siapa yang menghina Islam ganjarannya adalah hukuman mati," kata Athian Ali M. Da'i, Ketua Umum Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), salah seorang penanda tangan petisi itu.

Menurut Athian, yang sebenarnya mereka gugat bukan tulisan Ulil semata, melainkan juga Jaringan Islam Liberal (JIL)—komunitas pemikir Islam yang dipimpin Ulil. JIL memang aktif mengkampanyekan pemikiran Islam alternatif melalui sejumlah diskusi, termasuk melalui milis Islam Liberal di internet. "Tapi artikel Ulil yang secara tegas menyerukan keberanian mereka untuk 'mengoreksi' Al-Quran," kata Athian.

Menurut Ulil, yang dilakukannya dengan tulisan itu adalah ajakan berdialog. "Saya berharap, setelah artikel itu dimuat akan diikuti dengan artikel lain yang menyerang atau mendukung," katanya. Sebelumnya ia memang telah mendiskusikan isu serupa dengan tokoh-tokoh Islam "garis keras" seperti dari Front Pembela Islam (FPI) atau Gerakan Pemuda Islam (GPI). "Meski keras, terjadi dialog di antara kami," kata Ulil.

Karena fatwa mati ini terkesan datang tiba-tiba, Ulil justru meragukan kredibilitas penggugatnya. Dalam rilis yang dikirimkan ke media massa, petisi mati itu didukung oleh 15 orang dari 15 organisasi, di antaranya sejumlah pesantren, Muhammadiyah, NU, dan Partai Keadilan. Tiga lembaga terakhir adalah organisasi Islam besar yang dikenal moderat, dan pengurus Partai Keadilan mengaku tak tahu ada petisi itu. "Kami tidak tahu. Fatwa semacam itu berada di luar koridor partai kami," kata Suryama, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan.

Di luar soal kredibilitas itu, adakah umur Ulil lalu tinggal beberapa hari? Entahlah. Tapi Athian mengaku mereka akan menempuh jalur hukum: melaporkan Ulil ke polisi. "Soal hukuman mati kami cantumkan karena syariat memang mengatur demikian," katanya. Sebelumnya, FUUI pernah pula mengeluarkan fatwa serupa kepada Poernama Winangun dan Suradi ben Abraham, dua pendeta Kristen yang mereka tuding menghina Islam. Tapi hingga kini tak pernah terdengar cerita tentang pembunuhan dua pendeta tersebut.

Ulil sendiri tenang-tenang saja. "Kemungkinan besar saya juga akan melaporkan mereka ke polisi, karena mengancam saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus