Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sony dan Burung Unta Indonesia

Sony segera angkat kaki dari negeri ini. Satu lagi pelajaran bagi Indonesia yang sangat tidak siap dalam memasuki persaingan di pasar global.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK kiat untuk memajukan industri, banyak pula kendala yang meruntuhkannya. Dalam memajukan industri batik, misalnya, diperlukan kegigihan Gubernur Ali Sadikin dan partisipasi seorang Nelson Mandelayang selalu mengenakan batik di berbagai forum internasionalbarulah produk asli Indonesia ini dikenal luas dan semakin dihargai di mancanegara. Memang, tidak mudah memproduksi barang berkualitas, tapi juga tidak gampang menjualnya ke seantero dunia. Diperlukan perencanaan jangka panjang, modal, keuletan, naluri bisnis, terobosan, network, dan semangat untuk menguasai dan menang. Bahkan 30 tahun setelah Ali Sadikin mempromosikan batik, Indonesia masih kecolongan dalam hal mempatenkan tenun ikat. Apakah ini kelambanan atau ketidakpedulian, yang pasti bangsa ini tetap saja tidak terlatih untuk bersaing di pasar global.

Lain halnya investor asing yang membenamkan modalnya di Indonesia. Mereka tidak hanya datang untuk secara massal memproduksi sepatu, consumer goods, barang elektronik, dan berbagai produk bermerek lainnya. Tapi, lebih dari itu, mereka bekerja keras agar barang itu laku dijual dan diserap pasar sebanyak-banyaknya. Mereka bukan perajin Indonesia, yang pandai membuat barang tapi tak mampu menjualnya. Bagi investor asing, selain merek barangnya dipertaruhkan, kelangsungan bisnisnya juga harus diperhitungkan dengan cermat, khususnya dalam era globalisasi yang serba tak terduga ini.

Tampaknya, kalkulasi yang cermat itulah yang membawa PT Sony Electronics Indonesia pada sebuah keputusan besar, yakni menutup pabriknya di Indonesia. Kendati Sony sudah sepuluh tahun berusaha di sini, produknya tetap berada di papan atas, juga mereknya masih sangat bergengsi, tapi pada saat yang sama, prospek bisnisnya semakin pudar. Barang elektronik selundupan yang membanjiri pasar Indonesia telah begitu cepat merebut segmen pasarnya. Produk Sony kalah bersaing, bukan karena kualitasnya rendah, tapi karena harganya tidak kompetitif jika diadu dengan barang selundupan yang umumnya berasal dari Cina. Sedemikian kuat impitan barang selundupan itu, sehingga Sony, yang berencana hengkang dari Indonesia dalam tiga tahun ke depan, ternyata mempercepat tenggat dan memutuskan untuk menutup pabriknya di Bekasi pada Maret 2003.

Keputusan itu dirasakan seperti tamparan bagi kalangan eksekutif, mungkin karena investor asing yang diharapkan segera kembali justru kian banyak yang angkat kaki. Ada menteri yang mengingatkan agar kasus Sony jangan dibesar-besarkan, ada pula yang terkesan pasrah. Namun pejabat bidang penanaman modal seolah membusungkan dada seraya berjanji tidak akan ada lagi perusahaan asing yang angkat kaki dari Indonesia. Dikatakannya pula bahwa pemerintah akan membentuk tim satuan tugas lintas sektoral, bahwa tim itu dipimpin langsung oleh presiden, dan seterusnya, dan seterusnya.

Kasus Sony memang bisa ditafsirkan macam-macam. Satu hal pasti, penutupan pabriknya menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi surga di mata industri kaliber raksasa. Di sisi lain, kasus itu juga menegaskan bahwa Indonesia tidak terlatih untuk bersaing di pasar global. Jangankan berkompetisi langsung, bersaing memperebutkan investor asing sajamelawan Cina dan Vietnamkita tidak mampu. Soalnya, kita lamban menangani penyelundupan, tidak sanggup memberikan kepastian hukum, terlalu ketat menerapkan kebijakan perpajakan, terlalu banyak pungutan liar, buruhnya terlalu rewel, dan banyak lagi.

Mungkin seperti diakui pihak Sony, keputusan meninggalkan Indonesia memang bagian dari strategi global mereka. Jadi, tak ada kaitannya dengan berbagai hal yang mematikan prospek bisnisnya di negeri ini. Namun, dengan demikian, apakah lalu kita meniru burung unta yang menyusupkan kepalanya ke dalam tanah, hanya agar tidak melihat adanya penyelundupan besar-besaran, pungutan liar yang gila-gilaan, kepastian hukum yang tidak keruan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus