Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Film India tanpa Inspektur Veejay

India jadi tamu kehormatan Festival Film Cannes dan merayakan seabad sejarah perfilman negeri itu dengan pesta serta pemutaran enam film khusus. Upaya untuk mengubah citra film Bollywood yang penuh tari dan nyanyian.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anoushka Shankar muncul dalam balutan busana salwar kameez. Malam itu, 3 Mei lalu, ia jadi pusat perhatian semua orang. Dia adalah putri Ravi Shankar, maestro sitar India yang pernah jadi guru gitaris George Harrison dan para personel grup band The Beatles. Anoushka tampil dalam jamuan makan malam delegasi India di Agora, bangunan besar nonpermanen di belakang Palais du Festival, tempat acara utama Festival Film Cannes berlangsung di Cannes, Prancis.

Anoushka beraksi di sebuah panggung kecil bersama seorang pemain tabla dan seorang pemain bas. Gerakan jemarinya yang cepat memainkan tiga nomor pendek yang menunjukkan beragam khazanah musik klasik India. Ia juga memainkan lagu Kaise Din Beete dan Kaise Beeti Ratiyan dari film Anuradha (1960) karya Hrishikesh Mukherjee. Lagu terakhir itu ditulis oleh Ravi, ayahnya, yang memang membuat skor musik untuk sejumlah film legendaris India, termasuk Trilogi Apu karya sutradara bereputasi internasional Satyajit Ray.

Sekitar 200 tamu bertepuk tangan riuh untuk permainan Anoushka yang memukau. Tampak di sana aktris film Slumdog Millionaire, Freida Pinto; bekas ratu kecantikan dunia Aishwarya Rai, dengan gaun hitam dan tiara emas di kepalanya; dan Maudy Kusnaedy, aktris Indonesia yang datang dengan gaun tanpa lengan rancangan Sebastian Gunawan. Ada pula Amitabh Bachchan, aktor legendaris perfilman India, dan Karan Johar, sutradara terkenal Bollywood (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Kushi Kabhie Gham, Kal Ho Naa Ho).

"Rasanya tepat untuk memasukkan skor musik film yang menakjubkan ini sebagai bagian dari perayaan 100 tahun perfilman India," kata Anoushka. Malam itu mereka memang sedang merayakan seabad perjalanan perfilman India.

Patokannya adalah pemutaran perdana film Raja Harishchandra karya sutradara Dadasaheb Phalke. Film bisu hitam-putih sepanjang 40 menit itu diputar untuk pertama kalinya pada 3 Mei 1913 di Coronation Cinematograph, Mumbai.

Tuan rumah perayaan 100 tahun sinema India yang digelar di Cannes adalah delegasi pemerintah India yang dipimpin Menteri Pariwisata K. Chiranjeevi.

Acara itu digelar seusai pemutaran khusus Bombay Talkies, film omnibus karya empat sutradara garda depan India—Karan Johar, Zoya Akhtar, Dibakar Banerjee, dan Anurag Kashyap—yang dibikin khusus untuk perayaan ini.

Selain itu, India memutar beberapa film lain, yakni Bollywood: The Greatest Love ­Story Ever Told karya Rakeysh Omprakash Mehra. Film dokumenter ini mengurai sejarah film India, dari film hitam-putih hingga film mutakhirnya yang penuh warna. Film lain adalah Monsoon Shootout karya Amit Kumar, Dabba karya Ritesh Batra, Ugly karya Anurag Kashyap, dan Charulata karya Satyajit Ray, yang baru direstorasi oleh RDB Entertainments.

India menjadi tamu kehormatan di Festival Cannes tahun ini. Pemerintah dan sineasnya pun mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah citra Bollywood. Menurut sutradara Amit Kumar, istilah "Bollywood" kini mewakili film "lagu-dan-nyanyi dengan kisah yang berpanjang-panjang". "Kami perlu menggambarkan sinema India yang lebih menginternasional dan saya berharap kehadiran kami di Cannes akan membuat dunia menyadari bahwa sinema India lebih dari sekadar Bollywood," katanya kepada Reuters.

Film India yang artistik sebenarnya bukan barang baru di Cannes. Bahkan India sudah hadir sejak penyelenggaraan pertama festival pada 1946. Saat itu, Neecha Nagar karya Chetan Anand memenangi Grand Prix, hadiah tertinggi festival sebelum adanya Palem Emas atau Palm d'Or. Kala itu, film Chetan memang tidak menang sendirian, tapi bersama 10 film lain, termasuk Roma Citta Aperta karya Roberto Rossellini dan La Symphonie Pastorale karya Jean Delannoy.

Sejak itu, kehadiran India di Cannes cukup rutin meski tak selalu menonjol. Pada 1956 bahkan Pather Pancali karya Satyajit Ray meraih Best Human Document. Setelah terhenti tiga dekade, India kembali mendapat penghargaan lewat Salaam Bombay!. Karya Mira Nair tersebut meraih Camera d'Or pada 1988 dan Murali Nair merebut kembali penghargaan itu lewat Marana Simhasanam pada 1999.

Namun sejak itu India kembali absen dari penghargaan. Sejak 2000, tak satu pun film India yang menang dalam kompetisi di Cannes. Film terakhir yang mencoba merebut Palem Emas (dan gagal) adalah Udaan karya Vikramaditya Motwane, yang bertarung di Un Certain Regard untuk sineas baru pada 2010.

India sebetulnya salah satu negara pertama dunia yang "melek sinema". Pada 1896, setahun setelah kamera film ditemukan di Prancis, gambar hidup itu dipertunjukkan oleh penemunya, Lumiere bersaudara, di Mumbai, yang waktu itu masih dijajah Inggris.

Mumbai pun berkembang menjadi pusat industri film India terbesar di dunia. Menurut data Badan Pusat Sertifikasi Film (CBFC, Central Board of Film Certification), semacam badan sensor film di sana, pada 2011 negeri itu memproduksi 1.255 film. Jumlah ini jauh di atas Amerika Serikat dengan Hollywood-nya yang tahun itu memproduksi 817 film dan Cina dengan 588 film. Itu pun bukan angka tertinggi dalam sejarah. Menurut laporan tahunan badan itu, angka tertinggi adalah 1.325 film pada 2008, disusul tahun 2009 sebanyak 1.288 film dan tahun 2010 sebanyak 1.274 film.

Tidak semua film India itu bisa disebut sebagai film Bollywood. Menurut Anjali Bhushan, wartawan dan pengajar di Institute of Film and Television, New Delhi, secara umum sinema India bisa dibagi dalam empat golongan: Bollywood yang berbahasa Hindi, sinema regional, sinema paralel, dan sinema diaspora.

Bollywood merujuk pada film India berbahasa Hindi, bahasa resmi Republik India. Film-film non-Hindi ini digolongkan dalam "sinema regional". Jumlahnya tidak sedikit, karena terdapat ratusan bahasa di 29 negara bagian India.

Sinema regional ini cukup tinggi produksinya. Menurut CBFC, ada lima bahasa lokal yang memiliki lebih dari 100 film per tahun. Bahkan dua di antaranya jumlahnya sangat dekat dengan produksi Bollywood, yakni sinema Telugu (192 film) dan Tamil (185 film).

Bahasa apa pun yang dipakai, resep yang dipakai tetaplah resep Bollywood: tokoh-tokoh khayalan dengan perbuatan kepahlawanan hebat, konflik hitam-putih, dan digulirkan setidaknya tiga jam dengan 20-an lagu dan tarian. Kemunculan Inspektur Veejay sebagai tokoh polisi yang jahat sudah menjadi stereotip.

Yang membedakan film Bollywood dengan sinema regional adalah pasar. "Pasar film Hindi boleh dikata tersebar ke seluruh India dan diekspor ke banyak negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Indonesia, negara-negara Afrika, bahkan Jepang," ucap Anjali. "Sedangkan sinema regional umumnya hanya diedarkan di negara bagian bersangkutan."

Hendrick Gozali, produser Magma Entertainment, Jakarta, mengatakan film India sudah masuk ke Indonesia pada 1950-an. "Bahkan ada gedung bioskop khusus yang memutar film India," ujar produser film Buah Terlarang ini. Dua gedung bioskop itu, kata dia, adalah Rivoli dan sebuah bioskop lain di seberang Gedung Kesenian Jakarta.

Hendrick, yang sudah membuat film sejak 1970-an, mengatakan film India yang masuk itu masih tergolong film hiburan, meski beberapa film Satyajit Ray juga diputar. Film Bollywood itulah yang kemudian banyak ditiru produser dan sutradara di sini. "Orang kan butuh hiburan, sekadar nonton, enggak butuh art," ujarnya.

Sinema paralel India merujuk pada perfilman yang berkembang di luar industri. Ini adalah film-film art house, film seni, atau film personal yang tidak mau tunduk pada kekuatan modal.

Di dunia internasional, jenis film ini paling dikenal lewat karya Satyajit Ray, sineas berlatar dari keluarga Bengali. Kebetulan pula para perintis jalan gelombang baru (new wave) sinema Indian ini banyak yang berbahasa ibu Bengali. Selain Satyajit Ray, para aktivis film seni berbahasa Bengali antara lain, Mrinal Sen, Shyam Benegal, Bimal Roy, dan Shaji Neelakantan Karun. Mereka tumbuh bersama gerakan Le Nouvelle Vague di Prancis dan neorealisme di Italia. Dan, merekalah yang mendominasi kehadiran India di festival internasional bergengsi seperti Festival Cannes.

Adapun sinema diaspora adalah karya para perantau India di luar negeri, seperti Mira Nair (The Namesake) yang tinggal di New York, Deepa Mehta (Bollywood/Hollywood) di Kanada, dan Gurinder Chada di London. Karya mereka sebagian besar berbahasa Inggris, tapi menampakkan topik keindiaan yang kuat, seperti mengangkat persoalan warga keturunan India. Contohnya Bend It Like Beckham karya Gurinder.

Namun harus diakui bahwa produksi film India masih didominasi tradisi Bollywood. Apakah bisa mereka mengubah citra itu? Yang jelas, dari enam film India yang diputar di Cannes, tak satu pun yang masuk untuk memperebutkan Palem Emas atau Un Certain Regard, dua penghargaan utama yang diperebutkan di festival ini.

Ging Ginanjar (Cannes), Kurniawan, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus