Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUS tahun setelah produksi film pertamanya, India menjadi raksasa perfilman dunia. Mereka memproduksi lebih dari seribu film per tahun. Namun sebagian besar adalah film komersial yang mengedepankan aspek dagang. Hanya sebagian kecil sineas India yang mencoba melawan arus itu dan melahirkan karya-karya dengan mutu yang tinggi.
Mereka yang pertama-tama mencoba berjalan sendiri ini dikelompokkan dalam gerakan gelombang baru (1952-1976), dengan para tokoh di antaranya Satyajit Ray, Mrinal Sen, dan Shyam Benegal. Karya merekalah yang hadir dalam berbagai festival film internasional. Tapi, ketika para tokohnya pergi satu per satu, gelombang gerakan ini pada 1980-an seakan-akan reda.
Baru pada 1990-an dan 2000-an, gerakan ini dibangkitkan lagi oleh anak-anak muda. Mereka menganggap diri mereka sebagai sineas independen (indie) yang menghormati industri massal Bollywood tapi tak mau tunduk kepadanya. Merekalah yang kini dirayakan oleh para kurator Festival Film Cannes.
Para tokohnya yang hadir di Cannes tahun ini adalah Anurag Kashyap, Dibakar Banerjee, Zoya Akhtar, Amit Kumar, dan Ritesh Batra. Sedangkan yang tak hadir antara lain Vasan Bala, Buddhadeb Dasgupta, Farhan Akhtar, Gurvinder Singh, dan Kanu Behl.
Mereka bekerja dengan modal terbatas, mencari sumber-sumber dana alternatif, memproduksi sendiri karya-karya mereka, dan membangun sendiri jaringan pemasarannya.
Menurut Anjali Bhushan, pengajar di Institute of Film and Television, New Delhi, generasi ini lahir berkat kemudahan teknologi. "Sejak 10 tahun lalu, eksperimentasi digital jadi sangat mudah dan terjangkau. Ini mendorong lahirnya generasi baru sineas yang berpikir 'di luar kotak'," katanya.
Sebagian dari sineas baru ini berasal dari dunia periklanan dan punya pendekatan berbeda. Misalnya Dibakar Banerjee, 43 tahun, yang sebelumnya membuat lebih dari 50 film iklan serta program untuk saluran musik Channel V dan MTV.
Karya pertamanya, Khosla Ka Ghosla (2006), sebuah komedi yang menyentuh, langsung menyabet berbagai penghargaan, termasuk film Hindi terbaik. Sejak itu, setiap dua tahun karyanya muncul, dan dipuji. Pada 2008, karya keduanya, Oye Lucky! Lucky Oye!, diputar di Museum of Modern Arts, New York, Amerika Serikat, dan menyabet berbagai penghargaan. Di Cannes tahun ini, Dibakar terlibat dalam proyek Bombay Talkies. Karyanya di film omnibus itu, Star, berangkat dari sebuah cerita pendek karya Satyajit Ray.
Anurag Kashyap, tokoh terdepan sinema baru India, tak ragu menyebut Dibakar Banerjee sebagai sutradara terbaik India masa kini. Tapi Anurag sendiri barangkali adalah panglimanya. Dari statistik Cannes 2013 saja kita bisa langsung melihatnya: ia terlibat dalam semua film baru India yang diputar plus sebuah film animasi Israel karya Ari Folmann. Kalau bukan sebagai sutradara, ya, produser.
Lewat Anurag Kashyap Film Private Limited, lelaki 40 tahun ini membantu para sutradara muda berwawasan segar mendapatkan modal, khususnya lewat koproduksi dengan berbagai badan internasional. "Ah, media melebih-lebihkan," ujar Anurag. "Sebagian besar sih saya cuma jadi jembatan dan boleh dibilang tak terlibat lebih dari itu. Saya cuma akan sangat sibuk kalau menyangkut film saya sendiri."
Sementara film Dibakar Banerjee lebih dikenal karena sentuhan dramanya yang personal, karya Anurag Kashyap bisa dikenali lewat iramanya yang cepat, musik yang menghantam, suasana gelap, dan gambar-gambar keseharian. Ia dikenal sebagai salah satu perintis apa yang disebut Bombay noir, film yang menjelajahi dunia bawah tanah Mumbai dengan segala kerumitannya. Ugly, yang diluncurkan di Cannes, salah satu contohnya. "Ya, memang, kalau masuk langsung, berhadapan dengan polisi dan situasi Mumbai, Anda akan berhadapan dengan kenyataan yang njelimet, absurd. Sangat Kafkaesque," kata Anurag.
Dalam sesi tanya-jawab dengan penonton seusai pemutaran Ugly, Anurag menegaskan peran produsernya, Guneet Monga, perempuan dinamis yang disebutnya berada di balik gairah produksi film-film indie negerinya. Guneet hilir-mudik dari satu festival ke festival lain untuk bertemu dengan distributor, agen, dan para penentu keputusan koproduksi internasional. Perannya sangat menentukan karena sebagian besar film independen India bisa diproduksi hanya karena ada dana dari koproduksi internasional, yang juga memberi prospek pengedaran secara internasional.
"Sulit mengandalkan distribusi hanya di India dengan produksi sekitar 100 film per bulan, padahal jumlah layar masih terbatas," ucap Guneet. Tapi ia bersyukur cukup banyak film indie yang mencatat sukses pula dalam pemasaran di India, seperti Gangs of Wasseypur karya Anurag Kashyap, yang menuai pujian di Festival Film Cannes tahun lalu dan sukses dipasarkan di India oleh Viacom18, perusahaan independen yang memprakarsai pembuatan Bombay Talkies.
"Tantangannya memang banyak," kata Ashi Dua, produser Bombay Talkies. Tapi, "Di luar kelompok besar orang yang menonton film-film Bollywood tradisional, cukup banyak penonton India yang tertarik jika disuguhi tontonan yang menarik," ujarnya seraya menyebutkan bahwa Bombay Talkies juga sukses di India sejak diluncurkan pada 3 Mei lalu.
Kisah perjuangan sinema independen memang tak selalu ceria. Karya pertama Anurag, Paanch (2003), sampai sekarang tak bisa beredar karena ditolak badan sensor, yang menganggap film itu penuh kata tak pantas dan penggambaran kekerasan berlebihan serta penggunaan obat bius.
Karya kedua Anurag menghadapi masalah lain. Black Friday dibuat pada 2004 dan mendapat sambutan hangat di Festival Locarno, Italia, pada tahun itu, tapi baru boleh beredar di India tiga tahun kemudian. Masalahnya adalah film itu berkisah tentang serangan bom berantai di Mumbai pada 1993, yang menewaskan 257 orang dan melukai 1.400 orang.
"Memang," kata Dibakar Banerjee, "kami adalah generasi yang lahir dalam perubahan. Sinema tahun 1980-an masih mirip dengan sinema tahun 1970-an, yang juga masih mirip sinema tahun 1960-an. Tapi tahun 1990-an dan sekarang sangat berbeda."
Dibakar menunjuk liberalisasi ekonomi yang dimulai akhir abad ke-20 sebagai hal yang turut mendorong munculnya usaha-usaha baru di perfilman. Dia meyakini rumah-rumah produksi baru itu, kendati tak bisa melampaui studio-studio besar Bollywood, menawarkan jalan lebih gampang untuk produksi film.
Zoya Akhtar, sutradara yang juga terlibat dalam Bombay Talkies, menyatakan di "kalangan dalam" Bollywood sebetulnya juga banyak sutradara muda yang mencoba memberi bobot baru pada tradisi Bollywood dengan sentuhan keadaan kontemporer masyarakat India.
"Anak-anak muda, terutama," ujar Anurag, "mulai menuntut teknik bertutur yang lain, yang berbeda dari yang diinginkan orang tua mereka." Anak-anak itu, kata dia, terbiasa dengan MTV dan film-film Hollywood serta wawasan sinematografinya terbuka oleh festival-festival internasional dan pembajakan film melalui pertukaran data di Internet. "Pembajakan sangat buruk secara ekonomi. Itu tindakan pidana. Tapi pembajakan turut mengubah sinema India," ucapnya.
Sinema baru India mulai tumbuh, tapi tradisi Bollywood tampaknya tak bakal tergusur. "Kami, orang India, sedari lahir sudah jadi manusia dramatis dan musikal," ujar Anjali Bhushan. "Kami dibesarkan dengan legenda-legenda, Mahabharata dan Ramayana, teater-teater rakyat."
Seakan-akan, kata Anjali, orang India disiapkan secara tidak sadar untuk jadi penonton Bollywood. Lebih-lebih harga rata-rata karcis bioskop di India mungkin termasuk yang termurah di seluruh dunia. Dengan 20 rupee (sekitar Rp 3.500), orang bisa menonton di bioskop biasa. Untuk nonton film terbaru di sinepleks, tiketnya 150-200 rupee (setara dengan Rp 25-35 ribu).
Ging Ginanjar (Cannes), Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo