Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA Gerakan 30 September 1965 diikuti demonstrasi panjang mahasiswa dan pelajar yang tak puas terhadap keadaan, dan kemudian berujung pada kejatuhan Sukarno. Demonstrasi pertama mahasiswa setelah peristiwa kudeta yang gagal itu dilakukan pada 3 Oktober 1965 di Menteng, Jakarta Pusat. "Itu aksi pertama mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia," kata Fahmi Idris, saat itu tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan aktivis Senat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pertengahan September lalu.
Menurut Fahmi, demonstrasi itu digelar setelah ada konsolidasi dengan organisasi lain yang sehaluan di bawah Persatuan Perserikatan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Demonstrasi itu antara lain diikuti oleh massa dari Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). "Setelah itu terjadi sejumlah demonstrasi lain di Jakarta," tutur Fahmi.
Dalam salah satu periode kritis dalam sejarah Indonesia itu, ada dua perkumpulan organisasi mahasiswa besar yang eksis. Selain PPMI, ada Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Beda keduanya, PPMI merupakan perhimpunan dari sejumlah organisasi ekstrakampus, seperti HMI, PMKRI, dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sedangkan MMI merupakan kumpulan dari organisasi intrakampus, yaitu dewan mahasiswa. PPMI lebih dekat ke isu politik, sedangkan MMI lebih berfokus pada isu kemahasiswaan.
Menjelang 1965, kata Fahmi, PPMI tak lagi bersatu. HMI dengan sejumlah organisasi lain berada di satu kubu, sedangkan CGMI, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, berada di kubu lainnya. Perpecahan di tubuh PPMI ini yang mendorong lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1965. Pendiriannya difasilitasi oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan Brigadir Jenderal Sjarif Thajeb, yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong.
Demonstrasi mahasiswa pada Oktober 1965 itu sebagai bentuk ketidakpuasan atas pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap lembek terhadap PKI dan kian terasanya krisis ekonomi pada akhir 1965. Kemarahan mahasiswa ditunjukkan lebih jelas melalui rentetan unjuk rasa yang dilakukan pada tahun berikutnya. Yozar Anwar, dalam bukunya, Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, merekam peristiwa itu cukup lengkap, yang mencatat rentetan demonstrasi mahasiswa selama Januari-Maret 1966. Yozar adalah Ketua Presidium KAMI Pusat.
Demonstrasi pertama terjadi pada Jumat, 8 Januari 1966. Pemicunya, kata Yozar, adalah sikap pemerintah yang tak kunjung membubarkan PKI, selain ekonomi terus memburuk sejak pemerintah melakukan sanering, yaitu memangkas nilai mata uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Ribuan pemuda, yang berasal dari HMI, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah, dan Ansor, melakukan unjuk rasa menuju gedung Sekretariat Negara di Jakarta Pusat.
Aksi mahasiswa lebih besar terjadi dua hari berikutnya. Pada 10 Januari 1966, KAMI Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia membuka Pekan Ceramah dan Seminar Ekonomi Keuangan dan Moneter di aula kampusnya. Pada hari yang sama, KAMI Pusat, yang terdiri atas 17 organisasi mahasiswa, menggelar rapat umum di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hari itu Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo datang dan berbicara di depan mahasiswa, yang menjadi sinyal jelas dari sikap tentara dalam krisis tahun 1966 itu. "Suatu kehormatan besar bagi saya selaku komandan pasukan bicara di depan mahasiswa Ibu Kota yang tergabung dalam KAMI. Untuk itu, terima kasih kepada Bung Aidit dan Gestapu-nya yang telah mempersatukan kembali mahasiswa seperti sekarang ini," kata Sarwo Edhie. Aidit adalah pemimpin PKI.
Seusai apel itu, mahasiswa bergerak. Mula-mula mereka menuju gedung Perguruan Tinggi Ilmu dan Pengetahuan di Jalan Pegangsaan Timur. Saat massa tiba di Jalan M.H. Thamrin, hujan sempat turun, tapi tak menyurutkan semangat para demonstran. Di jalanan mahasiswa meneriakkan yel-yel: "Turunkan harga beras! Turunkan harga bensin! Singkirkan menteri-menteri yang tidak becus! Ganyang menteri goblok! Ganyang Subandrio!" Tiba di Sekretariat Negara, mereka diterima oleh Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh. Mahasiswa menyampaikan tiga tuntutan, yang kemudian dikenal sebagai Tritura: Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Demonstrasi berlanjut keesokan harinya. Menurut Yozar, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas berkumpul di Universitas Indonesia di Salemba. Mereka mogok kuliah dan tidur-tiduran di depan kampus, yang membuat kemacetan parah di jalan itu. Yang juga jadi sasaran para demonstran adalah kendaraan umum, seperti bus PPD, opelet, dan bemo, dengan cara mencorat-coret kata-kata yang menyuarakan tuntutan mahasiswa di kendaraan itu.
Pada hari yang sama, sekitar 50 mahasiswa melakukan long march dari kampus Universitas Indonesia di Salemba menuju Rawamangun. Salah satu yang ikut adalah Dr Sutjipto. "Akulah arsitek dari long march ini," kata Soe Hok-gie, aktivis mahasiswa yang saat itu aktif di Senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran, Gie menilai gerakan yang didesainnya itu berhasil. "Dengan long march ini moga-moga mereka sadar bahwa soal tarif bukanlah soal tarif an sich, akan tetapi merupakan satu aspek kecil saja dari perjuangan rakyat," kata Gie.
Long march pada 12 Januari 1966 itu bukan demonstrasi pertama yang diikuti oleh Gie, tapi menjadi salah satu pembeda dengan aktivis. Marsillam Simanjuntak, yang saat itu Ketua KAMI Jaya, menyebutkan salah satu peran Gie sebagai penyumbang ide. "Karena enggak punya saluran resmi, dia mencari salurannya. Salurannya saya. Dia hubungi saya supaya dia tahu KAMI dan supaya ide dia bisa disalurkan, seperti kempesin ban dan sebagainya," kata Marsillam.
Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers yang dekat dengan kakak Gie, Arief Budiman, menyebutkan salah satu peran Gie adalah mempersatukan berbagai kelompok. "Dia bisa berkomunikasi," kata Stanley—sapaan Yosep—akhir September lalu.
Aristides Katoppo, wartawan senior yang dekat dengan Gie, menyebut Gie sebagai "man of action", selain sebagai intelek. "Gie punya kemampuan memimpin di lapangan. Saya tahu karena dia sering minta diboncengin, kadang ke tempat demonstrasi," kata Aristides, yang saat itu sudah menjadi wartawan Sinar Harapan.
Kelincahan Hok-gie ini membuatnya leluasa bergerak ke mana-mana, termasuk menjadi penghubung antara KAMI Pusat dan KAMI Bandung yang kurang akur. "Dia aktif kasak-kusuk kanan-kiri, bisa masuk ke kelompok mana pun," ujar Ismid Hadad, juru bicara KAMI.
Marsillam mengingat peristiwa Apel Besar Kesetiaan kepada Presiden Sukarno di Lapangan Banteng, 23 Februari 1966. Acara itu dipimpin oleh Panglima Kodam Jaya Amir Machmud. Massa KAMI juga datang dalam apel itu. "Saya dan Gie mau memakai kesempatan itu untuk bentrok," ucap Marsillam. Ide itu dilakukan, kata dia, "Karena tentara ini enggak mau ambil alih penertiban masyarakat atau melakukan sesuatu karena dia bilang enggak ada darah."
Seusai apel itu, massa KAMI melakukan long march menuju Sekretariat Negara. Menurut Yozar, dalam perjalanan menuju Jalan Medan Merdeka itu, sempat terjadi penembakan yang menyebabkan dua mahasiswa terluka serta bentrokan antara demonstran dan pasukan pengawal Istana, Cakrabirawa. Insiden hari itu tak menyurutkan semangat mahasiswa karena demonstrasi lebih besar dilakukan keesokan harinya, yang berujung pada tertembaknya Arief Rahman Hakim.
Meninggalnya Arief tetap tak menghentikan aksi mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, tapi malah mengobarkan semangat perlawanan. Dalam catatan Yozar, demonstrasi berlanjut pada Maret hingga berujung pada keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Surat yang berisi amanat untuk memulihkan keadaan itu yang juga kemudian menjadi awal kejatuhan Sukarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo