Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH puluh tahun lalu, Muhammad Yamin ternyata sudah gusar mengenai beberapa artefak fosil manusia purba dari Indonesia yang dibawa ke Belanda. Dia mendesak pemerintah Belanda membuka informasi tentang keberadaan fosil-fosil itu dan mengembalikannya ke pemerintah Indonesia. Kegusaran Yamin itu dimuat di koran-koran Belanda yang terbit di Indonesia. Dari Delpher, situs web di Belanda yang berisi koran-koran lama, kita dapat menemukan koran yang memuat pernyataan Yamin itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dapat dibaca, misalnya, pernyataan Yamin yang dimuat di harian Het Nieuwsblad voor Sumatra terbitan Medan edisi 3 April 1951. Artikel itu berjudul “Mr. Moh. Yamin over Historische Objecten Indonesië” (Moh. Yamin tentang Obyek Sejarah Indonesia). Kemudian ada artikel “Kunstschatten dienen aan de Nederlandse regering teruggevraagd” (Harta Seni Harus Diminta Kembali dari Pemerintah Belanda). Ada pula satu kepala berita “Teruggave buiten culturele accoord der R.T.C.” (Permintaan Kembali Ini di Luar Kesepakatan Budaya Konferensi Meja Bundar).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel ini memberitakan pencarian Yamin terhadap sedikitnya lima fosil manusia purba. Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat sejak 1950, Yamin waktu itu berencana mengajukan nota kepada pemerintah Indonesia berisi desakan untuk meneliti keberadaan fosil-fosil yang ia maksudkan. Lima fosil itu adalah Pithecanthropus modjokertensis yang ditemukan di Jetis, Mojokerto, Jawa Timur; Pithecanthropus robustus yang ditemukan bersama Meganthropus paleojavanicus di Sangiran, Jawa Tengah, pada 1938; Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Trinil, Jawa Timur, dengan Eugène Dubois disebut sebagai penemunya; Homo soloensis yang ditemukan di Ngandong, Jawa Tengah; serta Homo wajakensis yang ditemukan di Wajak, Jawa Timur.
Mohamad Yamin, 1954. Wikipedia
Sebelum Perang Dunia II, fosil-fosil itu disimpan di Museum Geologi Bandung. Tapi sesudah Indonesia merdeka tidak diketahui lagi letak fosil-fosil itu. Yamin menambahkan, hanya Pithecanthropus erectus (berusia sekitar 300 ribu tahun) yang diketahui disimpan di Universiteit Leiden, Belanda. Dia pun menegaskan, fosil tengkorak ini harus diminta kembali oleh pemerintah Indonesia karena pemilik sahnya adalah Republik Indonesia. Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra menambahkan bahwa permintaan kembali benda-benda warisan sejarah itu tidak tertera dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar, yang ditandatangani Indonesia dan Belanda pada Desember 1949. Karena itu, pemerintah Indonesia harus mengajukan tuntutan tersendiri. Yamin menekankan, sebagai warisan budaya, bagi Indonesia serta ilmu prasejarah dan antropologi, fosil-fosil ini tak ternilai harganya. Menurut Yamin, salinan fosil yang dibuat dari gips tidak akan bermanfaat karena di dalam fosil tengkorak terdapat lekukan-lekukan yang sangat penting bagi penelitian.
Yamin masih merinci nilai penting fosil-fosil itu. Dari lima butir yang dikemukakan, dua butir tetap relevan dan penting sampai sekarang. Pertama, fosil manusia Jawa sangat penting bagi Indonesia karena itu adalah bukti ilmiah bahwa Jawa termasuk lokasi asal-usul manusia yang harus diperhitungkan. Selain itu, jelas bahwa Jawa merupakan (salah satu) pulau tertua dunia. Kedua, fosil manusia Jawa menandakan sejarah sudah ada di Nusantara sebelum penjajahan Belanda. Fosil-fosil ini juga penting bagi pendidikan tinggi di Indonesia yang baru akan bisa maju setelah penelitian dan penggalian diadakan. Tugas penelitian sejarah Indonesia ini membutuhkan obyek yang harus diteliti dan obyek itu tidak mungkin diganti.
Tulang paha bagian atas Manusia Djawa, di Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Museum Naturalis
Sesungguhnya tidak banyak informasi tentang bagaimana koleksi Dubois itu bisa sampai di Belanda. Menurut dua sejarawan Belanda, Caroline Drieënhuizen dan Fenneke Sysling, dalam artikel ilmiah tentang biografi politik koleksi ini, Dubois membawa sendiri fosil manusia Jawa ke Belanda pada 1895 sebagai milik pribadinya. Di Belanda dia ingin meneliti lebih lanjut fosil ini dengan cara membandingkannya dengan fosil-fosil lain yang ada di Leiden.
Tindakan Dubois membawa fosil ini ke Belanda menimbulkan sengketa antara Den Haag dan Batavia. Dalam pencarian lebih lanjut di situs Delpher, ditemukan sebuah berita di harian De Locomotief terbitan Semarang. Berita yang terbit pada edisi 24 Maret 1932 itu berjudul “De Collectie-Dubois blijft toch in Holland. Ofschoon ten onrechte” (Koleksi Dubois Tetap Disimpan di Belanda, walaupun Tidak Seharusnya".
Berita ini menarik karena menginformasikan konflik mengenai koleksi Dubois, apakah milik pemerintah Belanda di Den Haag atau pemerintah Hindia-Belanda di Batavia. Menurut A.C. de Jongh, kepala penelitian geologis Hindia Belanda, koleksi Dubois itu milik pemerintah Hindia Belanda karena Dubois mengadakan penelitian atas tugas pemerintah kolonial. Pertanyaan mengapa koleksi Dubois tidak disimpan di Hindia-Belanda sempat diajukan dalam sidang Volksraad, parlemen kolonial. Tapi tak diperoleh jawaban yang memuaskan. De Jong menulis bahwa, walau koleksi Dubois berada di Belanda, hak milik fosil-fosil itu tetap berada di Hindia.
Bagian kepala tengkorak Manusia Djawa, di Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Museum Naturalis
Koleksi Dubois, pendek kata, menimbulkan sengketa dari awal. Sengketa yang belum terselesaikan antara Den Haag dan Batavia kini melimpah kepada Indonesia dan Belanda. Tujuh puluh tahun lebih telah berlalu sejak Indonesia secara terbuka menyatakan niat menuntut pengembalian obyek-obyek historis dari Belanda. Tapi bekas penjajah ini selalu saja punya dalih untuk menolaknya. Terakhir, alasan penolakan itu adalah fosil yang diambil dari Sangiran bukan obyek historis. Akankah pemerintah Indonesia menerima alasan ini?
Apakah Museum Naturalis akan memulangkan fosil-fosil yang ditemukan Dubois itu ke Indonesia? Yang jelas, pada Desember 2022, pemerintah Belanda memenuhi tuntutan repatriasi yang diajukan Malaysia atas 41 kerangka manusia yang digali di Penang yang usianya mencapai 5.000 tahun. Gunay Uslu, Menteri Muda Kebudayaan Belanda, menegaskan bahwa kerangka manusia yang ditemukan di Penang itu berbeda dari segi nilai budaya dan kadar ilmiah dari fosil manusia Jawa yang ditemukan di Trinil dan Sangiran. Karena itu, fosil manusia Jawa harus diteliti dulu oleh komisi mandiri Belanda untuk memastikan apakah telah diperoleh secara jujur atau dijarah pada zaman penjajahan.
Di titik ini, sulit memastikan kepastian pengembalian temuan Dubois itu ke Indonesia. Apalagi permintaan maaf yang diajukan Raja dan Perdana Menteri Belanda kepada Indonesia tampaknya memang tidak berkaitan dengan tuntutan pemulangan fosil manusia purba tersebut, walau bisa jadi permintaan maaf itu telah membangkitkan harapan bahwa kali ini Belanda benar-benar tulus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo