Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Serial novel Balada Si Roy diangkat ke layar lebar
Fajar Nugros sebagai sutradara film Balada Si Roy
Naskah skenario film Balada Si Roy setia dengan teks novelnya
GOL A Gong mengingat pertemuan pertamanya dengan Fajar Nugroho, sutradara film Balada Si Roy yang lebih dikenal dengan nama Fajar Nugros. Suatu hari pada 1990, Gol A Gong menjadi pembicara dalam pelatihan menulis yang digelar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu Fajar yang masih berstatus pelajar sekolah menengah atas datang ke acara tersebut. “Nah, waktu itu Fajar diusir panitia karena mungkin tidak bayar,” kata Gol A Gong, berseloroh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya, kejadian tak bisa mengikuti pelatihan menulis itu justru melecut semangat Fajar untuk suatu hari berkolaborasi dengan Gol A Gong, penulis serial novel legendaris Balada Si Roy. Impian Fajar itu akhirnya terwujud pada 2018. Saat itu Fajar yang berniat mengangkat novel Balada Si Roy menjadi film layar lebar menghubungi Gol A Gong via telepon. “Saya dihubungi Nugros ketika masih di Kamboja,” tutur Gol A Gong yang saat itu tengah berkunjung ke negara di Asia Tenggara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fajar kemudian berkunjung ke kediaman Gol A Gong di Kampung Ciloang, Serang, Banten. Di sana Fajar bertemu dan berdiskusi dengan puluhan pembaca garis keras novel Balada Si Roy yang diundang Gol A Gong ke Rumah Dunia untuk memperingati ulang tahun ke-30 novel tersebut. Mereka datang dari berbagai kota di Tanah Air, seperti Medan, Palembang, Samarinda, dan Blitar.
Dalam diskusi bedah karya itu, banyak kritik, pendapat, dan saran yang disampaikan para pembaca garis keras novel tersebut. Fajar pun mencatatnya sebagai masukan untuk mewujudkan niatnya menggarap film Balada Si Roy.
Gayung bersambut. Setelah pertemuan itu, penggarapan film dimulai, dari penulisan skenario, perburuan pemain, casting, reading, hingga survei lokasi syuting di tiga titik: Kota Serang dan Rangkasbitung di Banten serta Lampung. Gol A Gong pun terlibat aktif dalam proyek film yang diadaptasi dari novel karyanya itu. “Saya supervisi. Jika ada yang kurang pas, saya kasih catatan,” ujarnya.
Menurut Gol A Gong, adaptasi teks prosa dari novel ke naskah skenario film itu berhasil. Penulis skenario Salman Aristo juga sukses memberikan sentuhan humor dalam naskah sehingga jalan cerita menjadi segar.
Salman pun memasukkan hal-hal yang relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia sekarang dalam naskah. Balada Si Roy menjadi film bergenre aksi romantis yang masih berkaitan dengan kondisi kekinian. Meski begitu, “Delapan puluh persen naskah skenario film itu masih bersetia pada teks asli novelnya,” katanya.
Yang juga menarik adalah cerita terpilihnya Abidzar Al-ghifari sebagai pemeran Roy, tokoh utama dalam film tersebut. Abidzar adalah putra mendiang Ustad Jefri Al Buchori. Ustad yang akrab dipanggil Uje itu menjadi sahabat Gol A Gong ketika keduanya terlibat dalam sebuah program televisi.
Gol A Gong menuturkan, dulu Uje pernah menyampaikan ketertarikannya memerankan tokoh Roy jika suatu saat novel Balada Si Roy diangkat ke layar lebar. “Namun saat itu saya bilang ke Uje belum berminat memfilmkan novel saya itu,” ujarnya.
Tak dinyana, Gol A Gong menambahkan, keinginan Uje puluhan tahun lalu itu justru dituntaskan putra sulungnya, Abidzar. Menurut Gol A Gong, ketika Fajar Nugros bercerita kepadanya tentang Abidzar yang dinilai mampu memerankan sosok Roy, dia merestuinya. “Saya seperti merasakan roh Roy masuk ke diri Abidzar,” ucapnya.
Gol A Gong menjelaskan, sebetulnya tokoh Roy dalam novel kreasinya itu bukanlah sosok superhero. Dia justru seorang antihero berkarakter kuat yang gelisah terhadap kondisi status quo sosial dan politik yang terperangkap dalam hegemoni kekuasaan.
“Hal-hal seperti itulah yang dirasakan Roy, kegelisahan anak muda akan adanya dominasi kekuasaan, anak anggota Dewan yang sombong, ada anak bisa bela diri tapi sikapnya sok jagoan di kampung,” tuturnya. “Nah, Roy yang memiliki sense of crisis dan bersikap sangat kritis tak mampu seketika mengubah keadaan. Lalu dia pun bertualang dan haus membaca buku.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo