Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSEUM Naturalis di Leiden, Belanda, itu tidak tampak sebagai sebuah museum. Menempati gedung hipermodern yang baru dibuka pada 31 Agustus 2019, Museum Naturalis tampak lebih mirip kantor zaman sekarang. Letaknya di sebelah barat Stasiun Leiden Centraal. Begitu masuk, pengunjung melihat sebuah atrium besar. Melalui tangga yang juga besar, pengunjung dibawa menuju ke tujuh tingkat ruang koleksi di sebelah kanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran pertama baru terlihat di tingkat ketiga. Di situ terdapat tiga ruangan besar. Yang pertama adalah semacam ruangan garis besar tempat menampilkan pelbagai obyek yang akan bisa dilihat lebih rinci di dalam ruangan di tingkat-tingkat selanjutnya. Ruangan besar kedua berisi binatang zaman sekarang yang telah diawetkan, meliputi hewan darat, udara, dan laut. Yang langsung mencolok mata adalah tampilan binatang besar seperti gajah Afrika atau jerapah yang sedang berupaya berdiri tegak. Ruangan besar ketiga di tingkat ini memamerkan pelbagai binatang purba yang sudah musnah. Bertajuk Dinosauriërs (Dinosaurus), ruangan ini memperlihatkan pelbagai tulang binatang purba yang pernah hidup di bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eugene Dubois. Museum Naturalis
Tampak menonjol pada ruangan ketiga di tingkat ketiga ini adalah Camarasaurus, jenis dinosaurus yang tingginya mencapai 11 meter, koleksi tertinggi Naturalis, yang hidup sekitar 145 juta tahun silam. Kerangka Camarasaurus yang dipamerkan ini digali di Amerika Utara. Segera terlihat anak-anak ramai meriung di sekitarnya, yang datang bersama orang tua mereka. Pengunjung langsung mafhum, Museum Naturalis ramai didatangi keluarga dengan banyak anak kecil. Inilah perbedaan Naturalis dengan museum-museum lain di Belanda. Naturalis memang dirancang sebagai tempat pelesiran keluarga. Hampir semua ruang pameran memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bermain seraya menambah pengetahuan.
Masih ada satu hal lagi yang istimewa di ruang pameran Museum Naturalis. Di ruangan Dinosaurus, misalnya, terdengar suara binatang purba. Dengan demikian, Museum Naturalis tidak hanya mengandalkan indra penglihatan para pengunjung. Mereka juga ingin melayani indra pendengaran. Terdengar pula suara-suara alam, seperti desir angin dan daun yang tertiup angin. Pameran di museum abad ke-21 memang harus menjangkau sebanyak mungkin indra, meninggalkan kebiasaan lama bahwa pameran di museum hanya terpusat pada indra penglihatan. Walaupun pameran sulit menjangkau segenap pancaindra, di ruangan ini pengunjung masih diberi kesempatan memegang fosil dinosaurus. Kesempatan untuk indra peraba ini tampak dimanfaatkan dengan penuh antusiasme terutama oleh pengunjung anak-anak. Mereka juga diberi tahu fosil itu merupakan bagian tubuh mana dari binatang yang sudah punah tersebut. Tentu saja penjelasan itu tidak terlalu rumit karena terutama ditujukan kepada anak-anak.
Ruangan di tingkat keempat yang berjudul De aarde (Bumi) belum dibuka. Kelak, jika ruangan itu telah dibuka, pengunjung dipersilakan menonton pelbagai aspek bumi, termasuk proses terbentuknya intan. Di tingkat kelima, pengunjung diberi penjelasan yang lebih serius. Terdapat tiga ruangan di tingkat ini: De ijstijd (Zaman Es), De vroege mens (Manusia Dini), dan Evolutie (Evolusi). Hanya ruangan Manusia Dini yang tampak serius, sementara di ruangan Zaman Es dan Evolusi masih terlihat selingan berupa permainan bagi anak-anak. Ruangan Zaman Es menyajikan fosil dan kerangka binatang yang ditemukan di Belanda dan bagian Eropa lain. Terlihat kerangka rusa purba raksasa, setinggi 2 meter lebih, juga mastodon, nenek moyang gajah yang tingginya 3 meter lebih.
Meninggalkan ruangan temaram ini, pengunjung bisa masuk ke semacam ruangan lokakarya yang terang benderang. Di atas meja ruangan itu terlihat banyak tulang dan kerangka. Pengunjung, baik anak-anak maupun dewasa, dipersilakan memegang obyek yang dipamerkan. Mereka, misalnya, bisa menyentuh-nyentuh fosil. Pengunjung pun diberi informasi tentang fosil binatang apakah itu dan kapan kira-kira ia hidup di bumi.
Model manusia Jawa berambut yang dibuat oleh Adrie dan Alfons Kennis yang dibuat berdasarkan fosil bagian atas tengkorak dan tulang paha atas yang ditemukan oleh Eugene Dubois. Museum Naturalis
Di bagian lain terlihat beberapa jenis tengkorak, yakni tengkorak manusia modern, manusia purba, dan kera. Tampak anak-anak memegang-megang tengkorak-tengkorak tersebut dan berusaha menjawab petugas yang menanyakan tengkorak apakah itu. Penjelasan yang tidak begitu rumit juga terlihat di ruangan Evolusi karena di sini dengan ringan diungkap teori evolusi. Pengunjung juga diperbolehkan menyentuh gigi-gigi mastodon yang terasa dingin.
Penjelasan paling serius dapat ditemukan di ruangan Manusia Dini. Begitu masuk, pengunjung dipersilakan melihat perkembangan tengkorak, dari kera sampai manusia. Di ruangan ini kita bisa menyaksikan film pendek tentang Eugène Dubois. Dubois adalah peneliti Belanda yang melakukan banyak penelitian tentang manusia purba di Jawa. Dubois dianggap sebagai peletak dasar penelitian asal-usul manusia di Belanda.
Dubois lahir pada 1858 dalam keluarga Katolik di Limburg, Belanda selatan. Dia sebenarnya menamatkan pendidikan dokter di Amsterdam. Tapi dia lebih tertarik pada teori evolusi Charles Darwin yang berpendapat bahwa manusia berasal dari kera. Dia percaya makhluk transisi, yang disebut missing link, antara kera dan manusia bisa ditemukan di Asia Tenggara. Karena itu, dia memutuskan pindah ke Indonesia, demikian film menjelaskan. Pada 1891, di Sangiran, Jawa Tengah, para buruh yang bekerja untuknya menemukan ribuan fosil gajah, kura-kura, kerang, dan tanaman. Ada juga fosil bagian atas tengkorak, gigi, dan tulang paha atas. Fosil-fosil makhluk yang oleh Dubois disebut Pithecanthropus erectus itu ia anggap sebagai makhluk transisi antara kera dan manusia.
Gudang penyimpanan fosil Koleksi Dubois, Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Museum Naturalis/Taco van der Eb
Di balik layar film terdapat ruangan sempit. Di situlah dipertontonkan bagian atas fosil tengkorak manusia Jawa ditambah fosil tulang paha dan fosil kerang yang jelas tergores. Di samping tiga fosil itu terdapat model manusia Jawa, seorang perempuan dini tak berambut tapi jelas memiliki payudara hasil karya dua seniman kakak-adik Adrie dan Alfons Kennis. Semuanya berada di dalam lemari kaca kedap peluru sehingga pengunjung tidak dapat menyentuhnya. Cahaya dalam ruangan kecil ini juga hanya diarahkan pada obyek pameran. Keluar dari ruangan ini, pengunjung akan masuk ke ruangan yang lebih besar berisi penjelasan mengenai evolusi manusia, termasuk manusia Jawa. Kemudian terlihat pula model manusia Jawa, perempuan purba yang berbulu dan tampak malu-malu, hasil karya Kennis bersaudara.
Jelas, Museum Naturalis menampilkan koleksi Dubois sebagai obyek utama. Ruangan manusia awal itu hanya berisi manusia Jawa ditambah beberapa tengkorak untuk menjelaskan evolusi umat manusia. Penyajian khusus ini tampaknya mengandung pesan bahwa manusia Jawa adalah puncak koleksi Museum Naturalis. Lihatlah bagaimana pengunjung museum juga sangat tertarik mencermati fosil manusia Jawa ini. Pada Sabtu sore, 14 Januari lalu, misalnya, seorang pengunjung sepuh bernama Joke Visscher datang ke Museum Naturalis bersama suaminya, Joop Visscher. Meski sudah berusia lanjut, mereka tidak datang bersama anak-anak mereka. Joke terlihat mengagumi ruangan Manusia Dini. Dia mengatakan obyek pameran diatur dengan penuh selera. Adapun Joop membandingkan Naturalis dengan museum sejenis yang pernah mereka kunjungi di Paris. “Di museum serupa di Paris orang hanya melihat tulang-tulang, tidak terlihat lingkungan alamnya seperti di sini,” katanya kepada Tempo.
Manajer Koleksi Natasja den Ouden, di gudang penyimpanan fosil Koleksi Dubois, Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Museum Naturalis/Taco van der Eb
Pasangan suami-istri Visscher itu mengaku mengikuti kontroversi seputar Museum Naturalis. “Saya mengikuti berita tentang manusia Jawa ini,” tutur Joke. “Menurut saya, fosil-fosil manusia Jawa itu harus dikembalikan.” Sebelum wabah Covid-19 menyeruak, keduanya berkesempatan mengunjungi Yogyakarta dan ikut dalam perlawatan ke Sangiran. “Situs penggalian manusia purba di Sangiran sangat indah dan menarik,” ucap Joop. Menurut dia, orang Indonesia pasti sudah mampu merawat sendiri koleksi ini. Istrinya menimpali, “Fosil-fosil tengkorak itu juga tidak utuh, banyak tambalan. Jadi mereka sebenarnya juga bisa memasang tiruan di sini, yang asli dikembalikan saja ke Sangiran.”
Baik penjelasan di ruangan tentang asal-usul manusia purba maupun film tentang Eugène Dubois tidak menyebut-nyebut ihwal kolonialisme. Dubois, misalnya, disebut melakukan pencarian di Jawa, Indonesia, bukan Hindia Belanda—sebutan Indonesia ketika masih merupakan jajahan Belanda. Hal ini menarik. Sebab, jelas dalam keterangan itu koleksi Dubois dilepaskan dari konteks kolonialismenya. Inilah yang menjadi perdebatan umum di Belanda.
•••
KONTROVERSI tentang koleksi Eugène Dubois bermula pada pertengahan Oktober 2022, ketika harian Trouw memberitakan bahwa pemerintah Indonesia telah meminta kembali delapan obyek warisan budaya yang sekarang disimpan di Belanda. Pada Juli 2022, pemerintah Indonesia menyerahkan daftar delapan obyek itu kepada pemerintah Belanda. Di peringkat pertama daftar tersebut tertera koleksi Eugène Dubois, yaitu himpunan 40 ribu fosil, termasuk fosil bagian atas tengkorak manusia Jawa yang sekarang dipamerkan di Museum Naturalis. Koleksi Pita Maha pahatan kayu Bali, kendali kuda Pangeran Diponegoro, dan Al-Quran milik Teuku Umar juga masuk daftar yang diajukan Indonesia. Semua benda itu, situs NOS memberitakan, adalah “topkunst” alias benda seni top yang dipamerkan di pelbagai museum Belanda.
Tak ayal, pers Belanda meramaikan pembocoran koran Trouw itu. Pelbagai museum yang diduga menyimpan delapan warisan sejarah budaya Indonesia itu dihubungi, dimintai pendapat mengenai permintaan repatriasi Indonesia. Ada museum yang sama sekali tidak berkeberatan, bahkan siap mengembalikan obyek pamerannya. Tapi ada pula museum yang berkelit dalam semua kemungkinan untuk menolak permintaan Indonesia. Salah seorang yang tidak berkeberatan adalah Marieke van Bommel, direktur museum etnologi Volkenkunde. “Saya sangat senang koleksi ini diminta kembali,” katanya kepada NOS Journaal, program warta televisi NOS yang ditayangkan pada pukul 20.00, 19 Oktober 2022. Dia menjelaskan bahwa pembicaraan sudah lama berlangsung tentang pengembalian apa yang disebut “roofkunst” (seni jarahan) dan memang benda-benda koleksi itu tidak seharusnya berada di museumnya di Leiden.
Istilah “roofkunst” semula digunakan di Belanda untuk menunjuk benda-benda, kebanyakan milik keturunan Yahudi, yang diambil alih oleh Nazi Jerman ketika Belanda diduduki selama Perang Dunia II. Baru pada awal abad ke-21 pemerintah Belanda membentuk komisi khusus untuk menangani perkara seni jarahan, yang berujung pengembalian kepada pemilik sah atau ahli warisnya. Setelah beleid tentang seni jarahan ini berjalan selama dua dekade, giliran barang seni yang diperoleh pada zaman penjajahan yang ditangani. Keduanya dinilai berstatus sama: pemilik tidak secara sukarela melepaskan barang miliknya.
Anak-anak bermain repliika fosil tengkorak manusia Jawa, di Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Joss Wibisono
Van Bommel merujuk pada dua pedoman tentang repatriasi warisan sejarah yang berlaku di Belanda, sebelum datang permintaan Indonesia. Pertama, rekomendasi Raad voor Cultuur atau Dewan Kebudayaan Belanda. Pada akhir 2020, atas permintaan Ingrid van Engelshoven, Menteri Kebudayaan waktu itu, dewan ini datang dengan rekomendasi agar semua barang seni kolonial dikembalikan ke negeri asal jika dapat dipastikan bahwa negara-negara itu telah secara tidak bebas kehilangan warisan budaya tersebut.
Kedua, hasil penelitian Pilot Project Provenance Research on Objects of the Colonial Era (penelitian awal terhadap asal-usul barang-barang zaman penjajahan, disingkat PPROCE), yang pada Maret 2022 menerbitkan semacam petunjuk pelaksanaan tentang bagaimana asal-usul barang-barang warisan kolonial harus diteliti. Selain itu, diberi contoh 33 warisan budaya yang sudah diteliti asal-usulnya sebagai pilot project. Walau masih berupa proyek percontohan, penelitian PPROCE tidak main-main karena melibatkan guru besar dan ahli sejarah serta dilakukan dengan kerja sama pelbagai pakar dari negara asal barang-barang itu: Indonesia dan Sri Lanka.
Dengan dua pegangan ini, Van Bommel mengakui bahwa Volkenkunde yang ia pimpin harus mengembalikan patung-patung dari Singosari di Jawa Timur yang sekarang memperoleh tempat prominen di museumnya. Volkenkunde pasti akan merasa kehilangan, Van Bommel menegaskan dalam siaran berita televisi NOS, tapi bukan rasa kehilangan itu yang sekarang penting. Menurut dia, pada zaman ini yang penting adalah membenarkan apa yang dari awal sudah salah.
Bagaimana dengan Museum Naturalis yang menyimpan koleksi Eugène Dubois? Kepada NOS Journaal, Corine van Impelen, juru bicara Naturalis, berpendapat bahwa posisi museumnya sebagai pusat penelitian internasional yang digunakan oleh banyak ilmuwan dari seluruh dunia akan terganggu jika koleksinya harus dikembalikan ke Indonesia. Dia juga ragu terhadap kemampuan Indonesia mengadakan penelitian seperti yang kini dilakukan di Leiden. Kalau koleksi Dubois dikembalikan, penelitian yang sekarang berjalan akan harus dihentikan. Selain itu, mungkin ini yang terpenting, Van Impelen menegaskan bahwa koleksi Dubois adalah obyek utama yang dipamerkan Naturalis.
Kepada harian Trouw, Van Impelen lebih lanjut menyatakan koleksi fosil Dubois bukan merupakan seni warisan budaya. Dia jelas berupaya melepas latar belakang kolonial dari pelbagai koleksi museumnya. Menurut dia, seni warisan budaya sering diambil dari candi, sementara benda-benda sejarah alam itu tergeletak di alam bebas. Dia menambahkan, pengambilan fosil itu dapat disamakan dengan upaya membawa pulang batu dari tempat liburan. Namun, Van Impelen menambahkan, tentu saja Dubois lebih terarah dalam mencari fosil yang hendak ia temukan.
Ternyata pendirian yang sependapat dengan Van Impelen cukup banyak di Belanda. Pandangan itu umumnya tak mengaitkan penemuan fosil dengan latar belakang kolonialnya. Seorang wartawan yang menekuni ihwal fosil, Frank Westerman, misalnya, menulis dalam harian NRC Handelsblad bahwa tidak satu pun orang, keluarga, bangsa, atau pemerintah yang bisa menuntut fosil manusia purba sebagai miliknya. Homo erectus berkeliaran di mana-mana di dunia ini tatkala belum ada perbatasan, bea-cukai, ataupun penjelasan yuridis terhadap pengertian hak milik. Karena itu, menurut Westerman, fosil bagian atas tengkorak manusia Jawa tersebut adalah milik bersama. Dia mengusulkan koleksi Dubois tidak dikembalikan sebagai bukti bahwa Belanda sudah menyesali tindakannya menjajah Indonesia.
Namun pendapat Westerman ditolak oleh Tineke Bennema, wartawan dengan spesialisasi sejarah kolonialisme Belanda. Bennema tidak setuju terhadap Westerman yang tidak memperhatikan penjajahan sebagai latar belakang koleksi Naturalis. Menurut dia, justru kolonialismelah yang memungkinkan penemuan dan pengambilalihan fosil. Hal senada dilontarkan empat sejarawan Belanda yang, dalam menanggapi penjelasan juru bicara Museum Naturalis, menulis opini di harian de Volkskrant. Dengan menyatakan fosil sama dengan batu yang dibawa pulang dari tempat berlibur, sejarawan Caroline Drieënhuizen, salah satu sejarawan itu, berpendapat, Museum Naturalis memberi kesan tidak paham akan kaitan erat antara kolonialisme Belanda dan pengumpulan benda-benda sejarah alam. Padahal beberapa tahun terakhir banyak terbit kajian yang membuktikan adanya kaitan erat pembangunan pelbagai museum Belanda dengan masa lampau kolonial Negeri Kincir Angin yang selalu menerapkan kekerasan dan penindasan.
Pengunjung melihat fosil bagian atas tengkorak dan fosil tulang paha atas serta fosil kerang yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Jawa, di Museum Naturalis, Leiden, Belanda. Joss Wibisono
Menurut Drieënhuizen, manusia Jawa baru ditemukan Dubois setelah penggalian selama sepuluh tahun yang dilakukan oleh kelompok besar pekerja paksa bumiputra. Hal ini jelas sangat berbeda dengan membawa pulang batu yang ditemukan sewaktu berlibur. Drieënhuizen dan kawan-kawan berpendapat pengumpulan artefak oleh Dubois tidak pernah dilakukan dalam suasana hampa. Aktivitas itu jelas tidak akan pernah bisa dipisahkan dari penjajahan Belanda. Sikap Museum Naturalis yang abai terhadap sejarah penjajahan ini, menurut dia, menyangkal nilai manusia Jawa bagi Indonesia, negeri asal fosil-fosil itu.
Drieënhuizen dkk menampilkan contoh menarik. Menurut mereka, dua tahun setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949 tatkala Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Muhammad Yamin, anggota parlemen Indonesia waktu itu, mengajukan daftar barang yang harus diminta kembali oleh Indonesia. Manusia Jawa tertera dalam daftar yang diajukan pada 1951 itu. Drieënhuizen cs menyatakan penolakan pemerintah Belanda dulu dan Museum Naturalis sekarang jelas sudah lebih dari 70 tahun.
•••
SEMUA pendapat yang mengkritik sikap Museum Naturalis yang ingin mempertahankan koleksi Eugène Dubois ternyata sedikit-banyak didengar oleh pihak Naturalis. Museum itu tidak diam seribu bahasa dan agaknya mulai mempertimbangkan pendapat-pendapat kritis tentang kolonialisme dan koleksi tersebut. Kalau hari-hari ini mengunjungi Museum Naturalis, begitu pulang kita akan mendapat surat elektronik. Surat ini dikirim kepada setiap pengunjung. Dalam surat itu Museum Naturalis menginformasikan bahwa, jika berminat mendalami koleksi, pengunjung dipersilakan mengunjungi laman khusus di situs web Naturalis yang berisi pelbagai penjelasan lebih lanjut. Di situ dapat kita baca: Museum Naturalis menyatakan kolonialisme memang melatarbelakangi koleksi Dubois, pada zaman itu suasananya tidak selalu sederajat, bebas dari paksaan, dan sesuai dengan hukum.
Museum Naturalis bahkan juga secara terbuka memberikan informasi dan penjelasan khusus tentang adanya permintaan repatriasi yang diajukan Indonesia. Di situ tertulis koleksi Dubois bernilai besar bagi negara-negara tempat benda-benda tersebut ditemukan. Pemerintah Indonesia telah menyatakan kehendaknya supaya koleksi Dubois dinilai oleh komisi mandiri yang bertugas meneliti asal-usulnya. Pihak Naturalis juga tegas menyatakan memahami permintaan Indonesia. Naturalis berjanji melakukan penelitian secermat-cermatnya terhadap asal-usul koleksi Dubois dan akan bekerja sama dengan mitra dari Indonesia.
Perubahan pendirian yang sampai 180 derajat ini menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin Museum Naturalis yang semula begitu tidak peduli terhadap kolonialisme mendadak sontak berubah menjadi begitu memperhatikan asal-usul koleksinya? Mungkinkah museum ini merasa terdesak oleh pemberitaan pers? Adakah pemerintah Belanda sebagai pemilik resmi koleksi dan penyedia dana telah turun tangan sehingga Museum Naturalis tidak punya pilihan lain kecuali menurut saja? Lalu bagaimana dengan sikap awal mereka yang tidak tertarik pada kolonialisme, secuil pun?
Di titik ini, muncul banyak keraguan di kalangan pengamat permuseuman Belanda. Mereka tidak begitu percaya pada perubahan drastis posisi Museum Naturalis. “Penolakan itu pasti masih ada,” tutur salah seorang pengamat Belanda yang menolak namanya dicantumkan. Para pengamat lebih yakin bahwa janji Naturalis mengadakan penelitian secermat-cermatnya merupakan upaya mengulur-ulur waktu. “Mereka tidak langsung berkata ‘ya, pasti akan kami kembalikan’, tapi akan melakukan penelitian dulu, dengan secermat-cermatnya, bahkan bekerja sama dengan pihak Indonesia segala,” ujar pengamat lain. Ini berarti akan dibutuhkan waktu yang sangat lama sebelum mereka bertindak mengembalikan koleksi Dubois seperti yang diminta Indonesia. Karena itu, layak disimpulkan perubahan sikap ini merupakan taktik untuk mengulur-ulur waktu.
Para pengamat ini pun menunjukkan dua ketidakkonsistenan pada laman penjelasan di situs Museum Naturalis. Pertama, terasa ada tendensi Naturalis untuk membelokkan perhatian terhadap masalah. Naturalis menyebutkan pada koleksi pelbagai museum lain di beberapa kota Eropa, seperti London, Paris, Brussels, dan Berlin, juga terlihat hubungan erat antara negara-negara barat dan bekas wilayah mereka di seberang lautan. Jadi apa yang dilakukan Museum Naturalis sesungguhnya memiliki pola yang sama dengan museum-museum lain di Eropa. Kedua, dalam pernyataan bahwa Museum Naturalis menyimpan fosil asli bagian atas tengkorak manusia Jawa, disebutkan salinan fosil asli ini sekarang tersebar di banyak museum di dunia. Di situ masih terasa bahwa museum tersebut ingin menegaskan bahwa museum lain di dunia bisa menyajikan salinan artefak itu, tapi yang asli lebih baik dipertahankan di Belanda.
Para sejarawan itu memperhatikan, kalau Museum Naturalis benar-benar peduli terhadap kolonialisme, mengapa faktor penting ini tidak tertera dalam pelbagai penjelasan mengenai koleksi yang mereka pamerkan? Mengapa sikap terbarunya yang peduli terhadap latar belakang kolonialisme koleksinya tidak ditampilkan dalam informasi penjelasan koleksi, termasuk koleksi Dubois?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo