BULAN depan, tepatnya antara 10 dan 15 September, Gunung Fuji
bakal meletus. Bakal terjadi gempa bumi raksasa di sekitar
Tokyo. Yang paling terancam adalah penduduk di sekitar
provinsi-provinsi Yamanashi dan Shizuoka, yang berdekatan dengan
Fuji Yama. Gawat, memang.
Untungnya ramalan itu tidak datang dari Kishocho, Badan
Meteorologi Jepang. Melainkan dari sebuah buku yang memang
berjudul Fuji San Dai Bakuhatsu (Gunung Fuji Akan Meletus),
karangan Masatoshi Sagara, 62 tahun.
Penerbit Tokumashoten, Tokyo, mengedarkan buku sensasional ini
sejak Agustus tahun lalu. Sudah 350 ribu eksemplar terjual.
"Jumlah ini sama sekali di luar dugaan," kata seorang redaktur
Tokumashoten kepada Seiichi Okawa, koresponden TEMPO di sana.
Ada dua hal yang membuat karya ini laris bukan buatan. Pertama,
penulisnya bukan orang sembarangan. Lulus dari jurusan ilmu
pengetahuan alam Universitas Tokyo, tidak kurang dari seperempat
abad Masatoshi Sagara mengabdikan diri di Pusat Badan
Meteorologi Jepang. Kini ia memimpin kantor swasta yang menjual
informasi cuaca kepada pelbagai perusahaan di sana.
Alasan kedua, ramalan Sagara memdetil, sampai ke tanggal letusan
segala. Apalagi ia menjamin ramalannya punya kemungkinan 90%.
"Bagaimana kalau nanti ternyata salah?" tanya Seiichi Okawa.
"Kalau begitu syukurlah," sahut Sagara. "Artinya, kita ditolong
oleh kemungkinan yang 10%." Pintar juga.
Yang terang, rakyat, bahkan pemerintah kota di sekitar Gunung
Fuji, sempat dibuat cemas. Pertanyaan resmi akhirnya disampaikan
kepada pemerintah pusat -- tak kurang oleh, misalnya, seorang
anggota Diet, parlemen, dari Partai Sosialis. Dan jawaban datang
dari Departemen Perhubungan Jepang yang membawahkan Badan
Meteorologi 28 Januari lalu. Apa katanya? Ramalan Sagara "tidak
punya dasar ilmiah".
Toh Sagara sendiri tidak bergeming. Bahkan, dengan menyangkal
ramalan ini, katanya, "berarti pemerintah menolak opini
ilmuwan." Sebab Sagara sampai pada kesimpulan itu berdasar
segala data yang dikumpulkannya selama ini.
Kendati dipercayai sebagai gunung berapi yang mati, sebenarnya
Fuji diduga banyak orang sebagai masih bekerja. Salah satu yang,
mengakui kemungkinan itu ialah Dr. Akira Suwa, vulkanolog Jepang
terkemuka. Demikian pula Dr. Fusakichi Omori ahli gempa bumi.
Menurut Omori, sebelum dan sesudah bulan muda dan bulan purnama,
paling sering terjadi gempa. Dan kebetulan bulan muda nanti
jatuh pada 7 September. Kemudian, antara Juli dan September,
bintangnya bintang Mars, Yupiter dan Zuhal akan berbaris tegak.
Peristiwa ini biasanya diikuti gejala alam yang luar biasa,
misalnya, letusan gunung atau gempa bumi.
"Berdasar perhitungan saya, sekitar 10-15 September nanti taifun
akan menyerang Jepang diiringi hujan besar," kata Masatoshi
Sagara kepada Seiichi Okawa. Toh Sagara sendiri, menurut
rencananya, akan tetap tinggal di Tokyo -- untuk "memberi
petunjuk kepada rakyat yang bakal panik".
Tidak jelas berapa persen penduduk Jepang yang percaya padanya.
Tapi karena menyangkut Gunung Fuji, masalahnya mudah menjadi
hangat. Bukankah selama berabad-abad gunung ini menjadi
semacam identitas negeri matahari terbit itu ?
Dalam Undang Undang Dasar Jepang, pasal 1 ayat 1, lambang negara
memang Tenno Heika. Ia sekaligus lambang persatuan rakyat
Jepang. Tapi secara umum muncul lambang-lambang lain, misalnya
bunga sakura. Kemudian, sangat populer, Fuji. Bahkan untuk
orang-orang luar negeri.
Beberapa bulan lalu, misalnya, stasiun televisi NHK menyiarkan
program khusus pendidikan SD di luar negeri. Di situ si wartawan
meminta anak-anak SD di Eropa menggambar apa saja tentang
Jepang.
Hampir semua anak menggambar sepeda motor dan mobil, serta
kata-kata Sony, Honda, Toyota. Sebagian lagi melukiskan
peralatan audio. Tapi hanya sedikit yang menuliskan Tenno
ataupun Sakura. Setelah nama-nama barang konsumsi, yang muncul
dalam jumlah lumayan banyak adalah Gunung Fuji.
Dengan ketinggian 3.775,63 meter, dan dengan salju abadi yang
menudungi puncaknya, Fuji Yama memang elok dipandang dari segala
penjuru. Diameternya timur-barat berukuran 39 km, sedang
utara-selatan 37 km. Lingkaran lerengnya sekitar 153 km.
Diameter lubang kepundan 800 meter, kelilingnya sekitar 3 km.
Luas gunung seluruhnya kurang-lebih 190.000 hektar. Isinya
diperkirakan 1.397 km3.
Di antara delapan puncaknya, Puncak Kengamine adalah yang
tertinggi. Di pinggir puncak itu berdiri sebuah stasiun
meteorologi -- yang tertinggi di dunia. Radar besar yang
ditempatkan di sini bisa meliput areal dengan diameter 800 km.
Suhu udara di puncak rata-rata 5-7ø C pada musim panas, dan -15
s/d. -20ø C di musim dingin. Pada saat tekanan udara di Tokyo
tercatat 1.000 MBS, di puncak Fuji hanya 640 MBS. Titik didih di
puncak sekitar 87ø C.
Sepanjang tahun di puncak ini angin bertiup kencang. Pada musim
panas kecepatannya sekitar 11 m per detik. Menurut Kishocho,
kecepatan angin palingtinggi tercatat 91 m perdetik, pada 25
September 1966. Suhu udara maksimal 17,8ø C, dan minimal -38ø C.
Demikian laporan.
Sejarah Gunung Fuji surut sekitar 500.000 sampai 600.000 tahun
ke belakang. Konon tersebutlah Gunung Komitake, yang meletus dan
membentuk gunung baru setinggi 2.300 meter. Kemudian, sekitar
30.000 tahun lalu, Gunung Kofuji Kazan yang terletak di dekat
Gunung Komitake meletus, hingga sekitar 20.000 tahun lalu.
Selama 10.000 tahun Kofuji Kazan bungkam, kemudian meletus
beberapa kali dalam jangka enam sampai tujuh ribu tahun.
Akhirnya Kofuji Kazan menjadi Gunung Fuji, seperti yang bisa
dilihat sekarang ini dalam semua kartupos bergambar.
Menurut catatan sejarah, Gunung Fuji diketahui meletus pada 781.
Kemudian 800. Pada 802 terjadi letusan paling besar, lalu
meletus lagi pada 826. Dengan letusan 864, di sebelah barat
lautnya terbentuklah dataran lahar yang sangat luas. Kini
dataran itu disebut Jukai, yang bila dilihat dari kejauhan bagai
samudra pohonan. Tempat ini paling sering dipilih untuk . . .
bunuh diri.
Toh setelah ledakan 864 itu, Gunung Fuji masih terus membuat
kejutan. Ledakan berikutnya tercatat pada tahun-tahun 870, 932,
937,952, 993, 999, 1017, 1033, 1083, 1511, 1560, 1627, 1700, dan
1707. Letusan terakhir itu tidak dari lubang kepundan melainkan
dari lereng sebelah selatan. Dan membentuk lubang besar yang
disebut Hoeizan. Bila Fuji ditengok dari selatan, lubang ini
jelas tampak.
Menurut dokumen yang mencatat letusan itu, pada 15 Desember
tahun itu terjadi sekitar 30 kali gempa di Kota Edo -- Tokyo
kini. Esoknya, pukul 10 pagi, barulah gunung itu meletus. Abu
menutup Edo siang itu juga. Suasana bagai dalam gerhana total
matahari.
Lantas sejak tahun itu Fuji seolah-olah tidur. Malahan
sebelumnya, antara 1083 dan 1511, selama tak kurang dari 428
tahun Fuji Yama beristirahat panjang. Siapa berani memastikan
gunung ini sudah betul-betul terlelap?
Sepanjang tahun, sekitar dua juta wisatawan melancong ke Fuji.
Dan 100.000 di antaranya mendaki sampai ke puncak. Musim mendaki
biasanya di hari-hari sekarang ini: mulai 1 Juli sampai akhir
Agustus. Di musim dingin, gunung itu berselimutkan salju. Dan
justru untuk menikmati dan mengkhidmati -- suasana matahari
terbit, banyak orang tua Jepang mendaki sampai-ke puncak di
musim salju.
Memang, setiap tahun sekitar 700 sampai 1.000 orang berusia di
atas 70 mendaki gunung itu. Menurut catatan kuil Fujinomiya
Asamano Jinjya, yang terletak di Kota Fujinomiya, di kaki Fuji,
pendaki pria tertua selama ini adalah Teiichi Igarashi, 97
tahun. Yang wanita: Mine Yajima, 88 tahun. Kuil ini memuja
Konohanasakuyahime, Dewa Roh Gunung Fuji.
Kini, siapa saja bisa mendaki Gunung Fuji dengan bis -- sampai
ketinggian 2.300 meter. Setelah itu harus ditempuh empat jam
jalan kaki sampai ke puncak. Pada zaman dulu tidak ada orang
Jepang yang mendaki sekadar berdarmawisata. Semua acara mendaki
gunung dihubungkan dengan kepercayaan.
Hubungan batin orang jepang dengan gunung-gunung agaknya bermula
pada akhir zaman Nara (710-784) dan awal zaman Heian (784-1191).
Ketika itulah para pemeluk kepercayaan Shugendo, yang beriman
kepada gunung, mulai rajin melakukan pendakian. Shugendo
dipelopori oleh En no Ozuno, dan bermaksud memperoleh
kemaslahatan melalui pertapaan berat. Kepercayaan ini masih
berakar pada Budhisme.
Lalu, Gunung Fuji menjadi salah satu tempat pertapaan sejak
penghujung 700-an. Cara memuja dan menggunakannya sebagai tempat
tapa itu membentuk salah satu shinto yang disebut Fuji-do
(Pertapaan Fuji). Fuji malah kemudian dipandang sebagai tanah
suci yang paling dekat dengan Takamanohara, singgasana para
dewa.
Fuji-do memang merupakan salah satu aliran Shinto, dan memuja
berbagai kami (dewa). Ada Amaterasu Omikami, dewi matahari. Ada
pula Tsukiyomi-no-kami, dewa bulan. Juga Konohanasakuyahime,
anak perempuan nomor dua Oyamazumino-mikoto, dewa gunung.
Konohanasakuyahime (hati-hati, bisa salah) menikah dengan
Ninigi-nomikoto, putra Amaterasu Omikami. Nah. Minigi-no-mikoto
inilah yang ditugaskan meninggalkan Takamanohara untuk turun ke
dunia, dan memerintah manusia.
Konohana dan seterusnya itu sampai sekarang tetap pada jabatan
pelindung Kuil Asama-no-jinjya. Kuil ini punya 1.316 cabang di
seluruh Jepang, dan berpusat tepat di kaki Fuji. Dengan
demikian, Konohana juga akhirnya dipandang mengejawantah dalam
Gunung Fuji. Jadi gunung ini lalu mendapat jenis kelamin
'perempuan'.
Dari perkawinan Dewa Ninigi-nomikotodengan Dewi Konohanasa . . .
itu, lahir seorang putra bernama Hohori-no-mikoto. Hohori
menikah dengan Dewi Toyotamahime (anak Dewa Laut), dan mendapat
seorang putra yang bernama Hikonagisatakeugayahukiaezu-no-mikoto.
Anak ini menikah dengan Dewi Tamayorihime, adik si Toyota.
Lahirlah empat anak lelaki. Yang bungsu bernama
Kamuyamato-iwarebiko-no-mikoto, dan ialah yang katanya menjadi
kaisar Jepang yang pertama dengan gelar Jinmu-Tenno. Konon
naik tahta pada 660 SM.
Jelaslah kiranya "hubungan kekerabatan" kaisar Jepang dengan
Gunung Fuji. Yaitu sekali lagi lewat Dewi Konohanasakuyahime.
Kaisar Jepang pertama itu jadinya cicit Konohanasakuyahime. Maka
Gunung Fuji pun, bisa dimengerti, menjadi lambang Jepang dan
semangatnya.
Fuji-do mengalami zaman keemasannya di bawah pemimpinnya yang
ke-6, Jikigyo Miroku (1671-1733). Pada usia 63 tahun, 1733,
Miroku mendaki Fuji hingga ketinggian 3.250 meter. Ia memasuki
sebuah lubang batu besar dengan maksud melakukan nyujo --
meninggal dalam tapa. Sebulan lamanya ia berpuasa. Kemudian
meninggal benar.
Tindakan Miroku itulah yang terutama memberi pengaruh besar
terhadap perkembangan Fuji-do. Di Edo, jumlah pemeluk
kepercayaan ini lantas melonjak tajam. Tapi menurut catatan dari
zaman itu, di 808 distrik kecil di ibu kota kuno itu terdapat
808 kelompok pemeluk Fuji-do. Mengapa?
Pada masa Keshogunan Tokugawa, 1700-an, Edo mengalami banyak
bencanaalam. Tahun 1707, seperti disebut tadi, Fuji meletus. Edo
tertutup abu, dan beberapa hari gelap gulita. Kebakaran besar
menimpa Edo pula beberapa kali: 1711, 1717, 1720, penyakit
berjangkit dari distrik ke distrik. Pada 1742 dan 1757 kota itu
dilanda banjir. Kemudian kebakaran besar lagi, 1760. Antara 1783
dan 1788, giliran kota itu ditimpa bencana kelaparan, disebut
Tenmei-no-Daikikin.
Dengan kekacauan dan kecemasan sosial itu Fuji-do tiba-tiba
menjadi tambah populer di kalangan rakyat menjadi semacam
pegangan di tengah bencana yang susul-menyusul. Maka seratus
tahun setelah Jikigyo Miroku "mati syahid" di Gunung Fuji itu,
Fujido mencapai puncak perkembangannya di sana.
Dan di masa itulah pelukis Ukiyoe yang kesohor, Hokusai
Katsushika (1760-1849), menerbitkan karyanya Fugaku Hyakkei,
yaitu seri hanga (gambar cetakan) yang menjadikan Gunung Fuji
sebagai subyek. Gambar itu segera disambut meriah oleh para
pemeluk.
Ketika itu perjalanan dari Edo ke Gunung Fuji memakan waktu
beberapa hari -- dengan kaki. Karena itu, terutama untuk orang
yang tidak bisa mendaki karena beberapa alasan, berbagai kuil di
Edo membangun Fujizuka, semacam miniatur Gunung Fuji. Ke
"perwakilan" inilah sebagian orang berziarah. Sampai sekarang
beberapa miniatur itu masih bisa disaksikan, misalnya di Kuil
Shinagawa atau Kuil Asama-no-jinjya, di Distrik Nerima, Tokyo.
Tingginya enam sampai tujuh meter. Di zaman Tokugawa, hingga
1800, kaum wanita dilarang mendaki Fuji. Jadi merekalah terutama
yang menjadi pengunjung Fuji Mini.
Tapi melihat terlalu banyaknya rakyat memeluk Fuji-do,
pemerintah Keshogunan Tokugawa akhirnya khawatir kehilangan
loyalitas. Maka pada 1849 da'wah Fuji-do dilarang hingga di
zaman Meiji, 1873.
Kini, tercatat enam aliran Shinto yang berdasar Fuji-do. Jumlah
pemeluknya di seluruh Jepang sekitar 285.000 orang. Kelompok
terbesar ialah Fuso-kyo, yang punya kuil pusat di Tokyo. Setiap
tahun mereka melaku kan upacara besar dua kali: 3 Juni, Pesta
Api, dan 16-19 Juli, upacara pendakian ke puncak Fuji. Kata Fuji
sendiri berasal dari bahasa Ainu (Jepang asli), Fuchi. Artinya
api.
Pada zaman Nara (710-784), konon penyair Yamabe-no-akahito
menulis waka -- sejenis syair Jepang -- yang terkenal sembari
memandang Fuji. Di zaman Heian (784-1191) muncul dongeng
terkenal Jepang, Taketorimonogatari, yang memilih Gunung Fuji
sebagai setting epilognya. Sastra klasik Jepang, seperti Genji
Monogatari dan Ise-Monogatari, juga menyebut-nyebut Fuji. Zaman
Heian memang mencakup masa aktif Fuji Yama. Di zaman itu gunung
ini meletus tidak kurang dari sepuluh kali.
Pada zaman Kamakura (1192-1333) pelukis Eni suka menggambar Fuji
dalam lukisan yamatoe. Kemudian pada zaman Muromachi (1338-1573)
banyak pelukis menggambar gunung itu dalam teknik suiboku-ga
(tinta cina).
Di masa Edo, sebelum pelukjs Ukiyoe Hokusai Katsushika melukis
Fugaku Hyakkei (Seratus Pemandangan Gunung Fuji), pelukis
Ike-no-Taiga (1723-1776) mendaki Gunung Fuji dan merekam
beberapa gambaryang kemudian terkenal. Dan di tahun-tahun yang
lebih akhir pelukis terkenal Taikan Yokoyama (1868-1958) juga
banyak menggambar Fuji. Di antara para pelukis, bahkan yang
belum terkenal, terdapat semacam kepercayaan. Yaitu, "lukisan
Gunung Fuji pasti laku."
Tapi setelah Perang Dunia II tidak begitu banyak lagi karya seni
yang menggambarkan Fuji. "Bila kelak Gunung Fuji muncul lagi
dalam sastra dan seni rupa, mungkin Jepang sedang berada dalam
bahaya," ujar Tadashi Kobayashi, 42 tahun, kepala bagian
pemeriksaan informasi Museum Nasional Tokyo. Sebab pada waktu
seperti itulah terutama "gunung penyelamat" itu diingat.
Sekarang ini, berbagai buku cerita dan novel misteri yang
menggunakan Fuji Yama sebagai setting umumnya kurang laku. Yang
paling terkenal adalah cerita pendek Hugaku Hyakkei (Seratus
Pemandangan Gunung Fuji), ditulis pada 1939 oleh Osamu Dazai.
Pengarang terkenal ini bertambah masyhur ketika ia melakukan
bunuh diri bersama pacarnya, pada hari ulang tahunnya ke-39,
1948.
Cerita pendeknya dia tulis di lantai dua sebuah warung teh, di
jalan sela Gunung Misaka, di Provinsi Yamanashi. Kini di jalan
itu didirikan sebuah monumen dengan kutipan kata-kata Dazai dari
cerita pendek tersebut.
Selain Osamu Dazai, terkenal pula Jiro Nitta (1912-1980),
pengarang yang pernah bekerja di observatorium cuaca di puncak
Gunung Fuji sebagai pegawai Kishocho.. Di antara karyanya
terdapat Fujinishisu (Mati di Gunung Fuji), yang menggambarkan
kehidupan Jikigyo Miroku, nabi aliran Fuji-do itu. Ia juga
menggambarkan suka duka bekerja di stasiun meteorologi melalui
karyanya Fuji Sancho (Di Puncak Fuji).
Ada pula novel berjudul Nami-no-to (Menara Ombak), karya
pengarang kontemporer Seicho Matsumoto. Ditulis sekitar
1959-1960 untuk sebuah majalah wanita. Di situ dilukiskan
seorang istri yang serong, kemudian bunuh diri di Aokigahara
Jukai, di kaki Fuji. Anehnya, setelah buku ini terbit,
sungguh-sungguh banyak orang Jepang memilih Aokigahara Jukai
sebagai tempat menghabisi hidup itu. Di antara mereka, menurut
harian Mainichi Shimbun 25 April 1974, ditemukan seorang gadis
berusia sekitar 23-24 tahun -- yang di bawah kepalanya, setelah
menjadi mayat, terdapat novel Nami-no-to tadi.
Angka bunuh diri di Aokigahara Jukai memang mengesankan. "Setiap
tahun kami mengumpulkan sekitar 50 mayat dari daerah itu," ujar
Sakuma, wakil kepala polisi Kota Fuji-yoshida, di kaki utara
gunung. Di samping itu masih banyak mayat yang tidak berhasil
ditemukan. Bunuh diri paling banyak dilakukan pada musim tak
bersalju -- sekitar Maret-November. Perbandingan antara pria dan
wanita: 30:20.
Menarik juga untuk mengetahui jumlah orang yang digagalkan bunuh
diri: 50 orang setahun. Sakuma mengakui, setelah novel
Nami-no-to beredar angka bunuh diri di Aokigahara Jukai memang
meningkat. Para pembunuh diri itu kebanyakan menggunakan pil
tidur dan tali gantungan.
Ada yang menarik: orang-orang yang membatalkan niat bunuh diri
itu, kini, diminta menulis semacam catatan -- bersisi semacam
petuah, agar para calon pembunuh diri mengundurkan rencana
mereka. Catatan itu ditempatkan di kotakkotak khusus di sekitar
jukai. Ternyata bermanfaat. "Banyak juga yang lalu membatalkan
niat," kata Sakuma.
Gunung Fuji juga berhubungan dengan uang. Lihat misalnya uang
kertas 500 yen. Pada satu sisinya tertera gambar Tomomi Iwakura,
pejabat tertinggi Pemerintahan Meiji. Pada sisi yang lain tampak
gambar Fuji.
Menurut Bank Negara Jepang, sudah empat kali gambar Fuji
menghiasi uang kertas dan logam negeri itu. Kalau tahun
pengedaran uang diingat bersama peristiwa di sekitarnya, tampak
adanya saling hubungan yang menarik.
Uang kertas 50 sen dengan gambar Fuji terbit pada 1938. Tahun
itu pemerintah Jepang mengumumkan Undang Undang Mobilisasi Umum
Nasional. Uang logam 1.000 yen dengan gambar Fuji dikeluarkan
pada 1964, bertepatan dengan pelaksanaan Olimpiade Tokyo. Pada
1970 keluar uang logam dengan gambar gunung itu pula, bertepatan
dengan Pekan Raya Dunia di Osaka.
Selain uang, perusahaan juga banyak menggunakan nama Fuji. Dalam
buku telepon Kota Tokyo bisa dilihat jumlahnya: lebih dari
6.000. Mulai dari perusahaan optik, mobil, kereta api swasta,
sampai bank.
Malah lembaga pemerintah menggunakan nama Fuji untuk pelbagai
benda. Salah satu kapal observasi Kutub Selatan milik Departemen
Pendidikan Jepang, misalnya, dinamakan Fuji. Juga kereta api
ekspres pertama, yang dioperasikan pada 1929. Juga pesawat jet
DC-8 pertama yang dimiliki Japan Air Lines (JAL), 1960.
Fuji juga dipakai untuk nama orang dengan pelbagai variasi.
Untuk lelaki biasanya menjadi 'Fujio'. Untuk wanita, 'Fujiko'.
Nama Fujiko populer, terutama setelah bintang film Fujiko
Yamamoto menjuarai kontes kecantikan, puluhan tahun lalu.
Perlu juga dicatat, di samping Gunung Fuji yang asli, Jepang
sebenarnya masih memiliki delapan gunung lain yang semuanya
bernama Fuji. Hanya saja mereka memang tidak bisa menandingi
Fuji yang nomor satu itu. Tinggi para umat Fuji itu hanya antara
300 dan 1.000 meter. Salah satunya, yang letaknya paling dekat
dengan Fuji asli, berada di Kurihama, Provinsi Kanagawa, di
barat Tokyo. Cuma 183 meter, tetapi penduduk di sekitarnya tetap
memanggilnya 'Fujisan'.
Sejak zaman Keshogunan Yoritomo sekitar awal abad XII, lereng
Fuji digunakan untuk latihan perang dan kemiliteran. Pada masa
lampau di situ sering diselenggarakan makigari, ketangkasan
berkuda sambil menghalau dan berburu binatang liar.
Juga di masa Meiji (1868-1912), Angkatan Darat Kerajaan Jepang
menggunakannya untuk latihan. Demikian pula pada masa Perang
Dunia II. Belakangan jieitai (Pasukan Bela Diri Jepang) juga
berlatih di situ.
Kini di lereng timur terdapat empat basis pasukan Angkatan Darat
Jepang. Di lereng utara juga terdapat basis yang sama. Ada pula
sekolah jieitai yang disebut Fuji Gakko. Di antara kelima basis
militer itu terbentang lapangan latih yang sangat luas.
Curah hujan di puncak Fuji sulit dicatat. Mengapa? Hujan
memercik kembali ke udara karena angin yang sangat santer.
Pada musim dingin, tebal salju di sana bisa mencapai dua meter.
Ketika musim berganti, salju berubah menjadi air yang terjun ke
bawah dalam volume besar. Air ini dimanfaatkan oleh beberapa
pabrik yang berdekatan -- misalnya, pabrik kertas, pabrik arak,
atau obat-obatan. Fuji Film mendirikan tiga pabriknya di sekitar
gunung ini pula.
Dulu, konon, Gunung Fuji bisa dipandang dari segala penjuru
Jepang. Kini hal itu sudah tak mungkin. Pelbagai bangunan
menjulang sudah membatasi pemandangan. Begitu pula tabir polusi
dari cerobong yang tak terhitung. Tetapi, paling tidak, gunung
ini masih bisa kelihatan jelas di 21 di antara 47 provinsi
Jepang. Kalau ramalan Masatoshi Sagara betul dan Gunung Fuji
meletus bulan depan, masihkah orang Jepang memandang gunung suci
itu sebagai "ibu ". Tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini