Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Fuji yama, sang ibu

Ramalan tentang akan terjadinya gempa bumi di sekitar tokyo, karena gunung fuji akan meletus, tepat antara 10 dan 15 september 1983. (sel)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN depan, tepatnya antara 10 dan 15 September, Gunung Fuji bakal meletus. Bakal terjadi gempa bumi raksasa di sekitar Tokyo. Yang paling terancam adalah penduduk di sekitar provinsi-provinsi Yamanashi dan Shizuoka, yang berdekatan dengan Fuji Yama. Gawat, memang. Untungnya ramalan itu tidak datang dari Kishocho, Badan Meteorologi Jepang. Melainkan dari sebuah buku yang memang berjudul Fuji San Dai Bakuhatsu (Gunung Fuji Akan Meletus), karangan Masatoshi Sagara, 62 tahun. Penerbit Tokumashoten, Tokyo, mengedarkan buku sensasional ini sejak Agustus tahun lalu. Sudah 350 ribu eksemplar terjual. "Jumlah ini sama sekali di luar dugaan," kata seorang redaktur Tokumashoten kepada Seiichi Okawa, koresponden TEMPO di sana. Ada dua hal yang membuat karya ini laris bukan buatan. Pertama, penulisnya bukan orang sembarangan. Lulus dari jurusan ilmu pengetahuan alam Universitas Tokyo, tidak kurang dari seperempat abad Masatoshi Sagara mengabdikan diri di Pusat Badan Meteorologi Jepang. Kini ia memimpin kantor swasta yang menjual informasi cuaca kepada pelbagai perusahaan di sana. Alasan kedua, ramalan Sagara memdetil, sampai ke tanggal letusan segala. Apalagi ia menjamin ramalannya punya kemungkinan 90%. "Bagaimana kalau nanti ternyata salah?" tanya Seiichi Okawa. "Kalau begitu syukurlah," sahut Sagara. "Artinya, kita ditolong oleh kemungkinan yang 10%." Pintar juga. Yang terang, rakyat, bahkan pemerintah kota di sekitar Gunung Fuji, sempat dibuat cemas. Pertanyaan resmi akhirnya disampaikan kepada pemerintah pusat -- tak kurang oleh, misalnya, seorang anggota Diet, parlemen, dari Partai Sosialis. Dan jawaban datang dari Departemen Perhubungan Jepang yang membawahkan Badan Meteorologi 28 Januari lalu. Apa katanya? Ramalan Sagara "tidak punya dasar ilmiah". Toh Sagara sendiri tidak bergeming. Bahkan, dengan menyangkal ramalan ini, katanya, "berarti pemerintah menolak opini ilmuwan." Sebab Sagara sampai pada kesimpulan itu berdasar segala data yang dikumpulkannya selama ini. Kendati dipercayai sebagai gunung berapi yang mati, sebenarnya Fuji diduga banyak orang sebagai masih bekerja. Salah satu yang, mengakui kemungkinan itu ialah Dr. Akira Suwa, vulkanolog Jepang terkemuka. Demikian pula Dr. Fusakichi Omori ahli gempa bumi. Menurut Omori, sebelum dan sesudah bulan muda dan bulan purnama, paling sering terjadi gempa. Dan kebetulan bulan muda nanti jatuh pada 7 September. Kemudian, antara Juli dan September, bintangnya bintang Mars, Yupiter dan Zuhal akan berbaris tegak. Peristiwa ini biasanya diikuti gejala alam yang luar biasa, misalnya, letusan gunung atau gempa bumi. "Berdasar perhitungan saya, sekitar 10-15 September nanti taifun akan menyerang Jepang diiringi hujan besar," kata Masatoshi Sagara kepada Seiichi Okawa. Toh Sagara sendiri, menurut rencananya, akan tetap tinggal di Tokyo -- untuk "memberi petunjuk kepada rakyat yang bakal panik". Tidak jelas berapa persen penduduk Jepang yang percaya padanya. Tapi karena menyangkut Gunung Fuji, masalahnya mudah menjadi hangat. Bukankah selama berabad-abad gunung ini menjadi semacam identitas negeri matahari terbit itu ? Dalam Undang Undang Dasar Jepang, pasal 1 ayat 1, lambang negara memang Tenno Heika. Ia sekaligus lambang persatuan rakyat Jepang. Tapi secara umum muncul lambang-lambang lain, misalnya bunga sakura. Kemudian, sangat populer, Fuji. Bahkan untuk orang-orang luar negeri. Beberapa bulan lalu, misalnya, stasiun televisi NHK menyiarkan program khusus pendidikan SD di luar negeri. Di situ si wartawan meminta anak-anak SD di Eropa menggambar apa saja tentang Jepang. Hampir semua anak menggambar sepeda motor dan mobil, serta kata-kata Sony, Honda, Toyota. Sebagian lagi melukiskan peralatan audio. Tapi hanya sedikit yang menuliskan Tenno ataupun Sakura. Setelah nama-nama barang konsumsi, yang muncul dalam jumlah lumayan banyak adalah Gunung Fuji. Dengan ketinggian 3.775,63 meter, dan dengan salju abadi yang menudungi puncaknya, Fuji Yama memang elok dipandang dari segala penjuru. Diameternya timur-barat berukuran 39 km, sedang utara-selatan 37 km. Lingkaran lerengnya sekitar 153 km. Diameter lubang kepundan 800 meter, kelilingnya sekitar 3 km. Luas gunung seluruhnya kurang-lebih 190.000 hektar. Isinya diperkirakan 1.397 km3. Di antara delapan puncaknya, Puncak Kengamine adalah yang tertinggi. Di pinggir puncak itu berdiri sebuah stasiun meteorologi -- yang tertinggi di dunia. Radar besar yang ditempatkan di sini bisa meliput areal dengan diameter 800 km. Suhu udara di puncak rata-rata 5-7ø C pada musim panas, dan -15 s/d. -20ø C di musim dingin. Pada saat tekanan udara di Tokyo tercatat 1.000 MBS, di puncak Fuji hanya 640 MBS. Titik didih di puncak sekitar 87ø C. Sepanjang tahun di puncak ini angin bertiup kencang. Pada musim panas kecepatannya sekitar 11 m per detik. Menurut Kishocho, kecepatan angin palingtinggi tercatat 91 m perdetik, pada 25 September 1966. Suhu udara maksimal 17,8ø C, dan minimal -38ø C. Demikian laporan. Sejarah Gunung Fuji surut sekitar 500.000 sampai 600.000 tahun ke belakang. Konon tersebutlah Gunung Komitake, yang meletus dan membentuk gunung baru setinggi 2.300 meter. Kemudian, sekitar 30.000 tahun lalu, Gunung Kofuji Kazan yang terletak di dekat Gunung Komitake meletus, hingga sekitar 20.000 tahun lalu. Selama 10.000 tahun Kofuji Kazan bungkam, kemudian meletus beberapa kali dalam jangka enam sampai tujuh ribu tahun. Akhirnya Kofuji Kazan menjadi Gunung Fuji, seperti yang bisa dilihat sekarang ini dalam semua kartupos bergambar. Menurut catatan sejarah, Gunung Fuji diketahui meletus pada 781. Kemudian 800. Pada 802 terjadi letusan paling besar, lalu meletus lagi pada 826. Dengan letusan 864, di sebelah barat lautnya terbentuklah dataran lahar yang sangat luas. Kini dataran itu disebut Jukai, yang bila dilihat dari kejauhan bagai samudra pohonan. Tempat ini paling sering dipilih untuk . . . bunuh diri. Toh setelah ledakan 864 itu, Gunung Fuji masih terus membuat kejutan. Ledakan berikutnya tercatat pada tahun-tahun 870, 932, 937,952, 993, 999, 1017, 1033, 1083, 1511, 1560, 1627, 1700, dan 1707. Letusan terakhir itu tidak dari lubang kepundan melainkan dari lereng sebelah selatan. Dan membentuk lubang besar yang disebut Hoeizan. Bila Fuji ditengok dari selatan, lubang ini jelas tampak. Menurut dokumen yang mencatat letusan itu, pada 15 Desember tahun itu terjadi sekitar 30 kali gempa di Kota Edo -- Tokyo kini. Esoknya, pukul 10 pagi, barulah gunung itu meletus. Abu menutup Edo siang itu juga. Suasana bagai dalam gerhana total matahari. Lantas sejak tahun itu Fuji seolah-olah tidur. Malahan sebelumnya, antara 1083 dan 1511, selama tak kurang dari 428 tahun Fuji Yama beristirahat panjang. Siapa berani memastikan gunung ini sudah betul-betul terlelap? Sepanjang tahun, sekitar dua juta wisatawan melancong ke Fuji. Dan 100.000 di antaranya mendaki sampai ke puncak. Musim mendaki biasanya di hari-hari sekarang ini: mulai 1 Juli sampai akhir Agustus. Di musim dingin, gunung itu berselimutkan salju. Dan justru untuk menikmati dan mengkhidmati -- suasana matahari terbit, banyak orang tua Jepang mendaki sampai-ke puncak di musim salju. Memang, setiap tahun sekitar 700 sampai 1.000 orang berusia di atas 70 mendaki gunung itu. Menurut catatan kuil Fujinomiya Asamano Jinjya, yang terletak di Kota Fujinomiya, di kaki Fuji, pendaki pria tertua selama ini adalah Teiichi Igarashi, 97 tahun. Yang wanita: Mine Yajima, 88 tahun. Kuil ini memuja Konohanasakuyahime, Dewa Roh Gunung Fuji. Kini, siapa saja bisa mendaki Gunung Fuji dengan bis -- sampai ketinggian 2.300 meter. Setelah itu harus ditempuh empat jam jalan kaki sampai ke puncak. Pada zaman dulu tidak ada orang Jepang yang mendaki sekadar berdarmawisata. Semua acara mendaki gunung dihubungkan dengan kepercayaan. Hubungan batin orang jepang dengan gunung-gunung agaknya bermula pada akhir zaman Nara (710-784) dan awal zaman Heian (784-1191). Ketika itulah para pemeluk kepercayaan Shugendo, yang beriman kepada gunung, mulai rajin melakukan pendakian. Shugendo dipelopori oleh En no Ozuno, dan bermaksud memperoleh kemaslahatan melalui pertapaan berat. Kepercayaan ini masih berakar pada Budhisme. Lalu, Gunung Fuji menjadi salah satu tempat pertapaan sejak penghujung 700-an. Cara memuja dan menggunakannya sebagai tempat tapa itu membentuk salah satu shinto yang disebut Fuji-do (Pertapaan Fuji). Fuji malah kemudian dipandang sebagai tanah suci yang paling dekat dengan Takamanohara, singgasana para dewa. Fuji-do memang merupakan salah satu aliran Shinto, dan memuja berbagai kami (dewa). Ada Amaterasu Omikami, dewi matahari. Ada pula Tsukiyomi-no-kami, dewa bulan. Juga Konohanasakuyahime, anak perempuan nomor dua Oyamazumino-mikoto, dewa gunung. Konohanasakuyahime (hati-hati, bisa salah) menikah dengan Ninigi-nomikoto, putra Amaterasu Omikami. Nah. Minigi-no-mikoto inilah yang ditugaskan meninggalkan Takamanohara untuk turun ke dunia, dan memerintah manusia. Konohana dan seterusnya itu sampai sekarang tetap pada jabatan pelindung Kuil Asama-no-jinjya. Kuil ini punya 1.316 cabang di seluruh Jepang, dan berpusat tepat di kaki Fuji. Dengan demikian, Konohana juga akhirnya dipandang mengejawantah dalam Gunung Fuji. Jadi gunung ini lalu mendapat jenis kelamin 'perempuan'. Dari perkawinan Dewa Ninigi-nomikotodengan Dewi Konohanasa . . . itu, lahir seorang putra bernama Hohori-no-mikoto. Hohori menikah dengan Dewi Toyotamahime (anak Dewa Laut), dan mendapat seorang putra yang bernama Hikonagisatakeugayahukiaezu-no-mikoto. Anak ini menikah dengan Dewi Tamayorihime, adik si Toyota. Lahirlah empat anak lelaki. Yang bungsu bernama Kamuyamato-iwarebiko-no-mikoto, dan ialah yang katanya menjadi kaisar Jepang yang pertama dengan gelar Jinmu-Tenno. Konon naik tahta pada 660 SM. Jelaslah kiranya "hubungan kekerabatan" kaisar Jepang dengan Gunung Fuji. Yaitu sekali lagi lewat Dewi Konohanasakuyahime. Kaisar Jepang pertama itu jadinya cicit Konohanasakuyahime. Maka Gunung Fuji pun, bisa dimengerti, menjadi lambang Jepang dan semangatnya. Fuji-do mengalami zaman keemasannya di bawah pemimpinnya yang ke-6, Jikigyo Miroku (1671-1733). Pada usia 63 tahun, 1733, Miroku mendaki Fuji hingga ketinggian 3.250 meter. Ia memasuki sebuah lubang batu besar dengan maksud melakukan nyujo -- meninggal dalam tapa. Sebulan lamanya ia berpuasa. Kemudian meninggal benar. Tindakan Miroku itulah yang terutama memberi pengaruh besar terhadap perkembangan Fuji-do. Di Edo, jumlah pemeluk kepercayaan ini lantas melonjak tajam. Tapi menurut catatan dari zaman itu, di 808 distrik kecil di ibu kota kuno itu terdapat 808 kelompok pemeluk Fuji-do. Mengapa? Pada masa Keshogunan Tokugawa, 1700-an, Edo mengalami banyak bencanaalam. Tahun 1707, seperti disebut tadi, Fuji meletus. Edo tertutup abu, dan beberapa hari gelap gulita. Kebakaran besar menimpa Edo pula beberapa kali: 1711, 1717, 1720, penyakit berjangkit dari distrik ke distrik. Pada 1742 dan 1757 kota itu dilanda banjir. Kemudian kebakaran besar lagi, 1760. Antara 1783 dan 1788, giliran kota itu ditimpa bencana kelaparan, disebut Tenmei-no-Daikikin. Dengan kekacauan dan kecemasan sosial itu Fuji-do tiba-tiba menjadi tambah populer di kalangan rakyat menjadi semacam pegangan di tengah bencana yang susul-menyusul. Maka seratus tahun setelah Jikigyo Miroku "mati syahid" di Gunung Fuji itu, Fujido mencapai puncak perkembangannya di sana. Dan di masa itulah pelukis Ukiyoe yang kesohor, Hokusai Katsushika (1760-1849), menerbitkan karyanya Fugaku Hyakkei, yaitu seri hanga (gambar cetakan) yang menjadikan Gunung Fuji sebagai subyek. Gambar itu segera disambut meriah oleh para pemeluk. Ketika itu perjalanan dari Edo ke Gunung Fuji memakan waktu beberapa hari -- dengan kaki. Karena itu, terutama untuk orang yang tidak bisa mendaki karena beberapa alasan, berbagai kuil di Edo membangun Fujizuka, semacam miniatur Gunung Fuji. Ke "perwakilan" inilah sebagian orang berziarah. Sampai sekarang beberapa miniatur itu masih bisa disaksikan, misalnya di Kuil Shinagawa atau Kuil Asama-no-jinjya, di Distrik Nerima, Tokyo. Tingginya enam sampai tujuh meter. Di zaman Tokugawa, hingga 1800, kaum wanita dilarang mendaki Fuji. Jadi merekalah terutama yang menjadi pengunjung Fuji Mini. Tapi melihat terlalu banyaknya rakyat memeluk Fuji-do, pemerintah Keshogunan Tokugawa akhirnya khawatir kehilangan loyalitas. Maka pada 1849 da'wah Fuji-do dilarang hingga di zaman Meiji, 1873. Kini, tercatat enam aliran Shinto yang berdasar Fuji-do. Jumlah pemeluknya di seluruh Jepang sekitar 285.000 orang. Kelompok terbesar ialah Fuso-kyo, yang punya kuil pusat di Tokyo. Setiap tahun mereka melaku kan upacara besar dua kali: 3 Juni, Pesta Api, dan 16-19 Juli, upacara pendakian ke puncak Fuji. Kata Fuji sendiri berasal dari bahasa Ainu (Jepang asli), Fuchi. Artinya api. Pada zaman Nara (710-784), konon penyair Yamabe-no-akahito menulis waka -- sejenis syair Jepang -- yang terkenal sembari memandang Fuji. Di zaman Heian (784-1191) muncul dongeng terkenal Jepang, Taketorimonogatari, yang memilih Gunung Fuji sebagai setting epilognya. Sastra klasik Jepang, seperti Genji Monogatari dan Ise-Monogatari, juga menyebut-nyebut Fuji. Zaman Heian memang mencakup masa aktif Fuji Yama. Di zaman itu gunung ini meletus tidak kurang dari sepuluh kali. Pada zaman Kamakura (1192-1333) pelukis Eni suka menggambar Fuji dalam lukisan yamatoe. Kemudian pada zaman Muromachi (1338-1573) banyak pelukis menggambar gunung itu dalam teknik suiboku-ga (tinta cina). Di masa Edo, sebelum pelukjs Ukiyoe Hokusai Katsushika melukis Fugaku Hyakkei (Seratus Pemandangan Gunung Fuji), pelukis Ike-no-Taiga (1723-1776) mendaki Gunung Fuji dan merekam beberapa gambaryang kemudian terkenal. Dan di tahun-tahun yang lebih akhir pelukis terkenal Taikan Yokoyama (1868-1958) juga banyak menggambar Fuji. Di antara para pelukis, bahkan yang belum terkenal, terdapat semacam kepercayaan. Yaitu, "lukisan Gunung Fuji pasti laku." Tapi setelah Perang Dunia II tidak begitu banyak lagi karya seni yang menggambarkan Fuji. "Bila kelak Gunung Fuji muncul lagi dalam sastra dan seni rupa, mungkin Jepang sedang berada dalam bahaya," ujar Tadashi Kobayashi, 42 tahun, kepala bagian pemeriksaan informasi Museum Nasional Tokyo. Sebab pada waktu seperti itulah terutama "gunung penyelamat" itu diingat. Sekarang ini, berbagai buku cerita dan novel misteri yang menggunakan Fuji Yama sebagai setting umumnya kurang laku. Yang paling terkenal adalah cerita pendek Hugaku Hyakkei (Seratus Pemandangan Gunung Fuji), ditulis pada 1939 oleh Osamu Dazai. Pengarang terkenal ini bertambah masyhur ketika ia melakukan bunuh diri bersama pacarnya, pada hari ulang tahunnya ke-39, 1948. Cerita pendeknya dia tulis di lantai dua sebuah warung teh, di jalan sela Gunung Misaka, di Provinsi Yamanashi. Kini di jalan itu didirikan sebuah monumen dengan kutipan kata-kata Dazai dari cerita pendek tersebut. Selain Osamu Dazai, terkenal pula Jiro Nitta (1912-1980), pengarang yang pernah bekerja di observatorium cuaca di puncak Gunung Fuji sebagai pegawai Kishocho.. Di antara karyanya terdapat Fujinishisu (Mati di Gunung Fuji), yang menggambarkan kehidupan Jikigyo Miroku, nabi aliran Fuji-do itu. Ia juga menggambarkan suka duka bekerja di stasiun meteorologi melalui karyanya Fuji Sancho (Di Puncak Fuji). Ada pula novel berjudul Nami-no-to (Menara Ombak), karya pengarang kontemporer Seicho Matsumoto. Ditulis sekitar 1959-1960 untuk sebuah majalah wanita. Di situ dilukiskan seorang istri yang serong, kemudian bunuh diri di Aokigahara Jukai, di kaki Fuji. Anehnya, setelah buku ini terbit, sungguh-sungguh banyak orang Jepang memilih Aokigahara Jukai sebagai tempat menghabisi hidup itu. Di antara mereka, menurut harian Mainichi Shimbun 25 April 1974, ditemukan seorang gadis berusia sekitar 23-24 tahun -- yang di bawah kepalanya, setelah menjadi mayat, terdapat novel Nami-no-to tadi. Angka bunuh diri di Aokigahara Jukai memang mengesankan. "Setiap tahun kami mengumpulkan sekitar 50 mayat dari daerah itu," ujar Sakuma, wakil kepala polisi Kota Fuji-yoshida, di kaki utara gunung. Di samping itu masih banyak mayat yang tidak berhasil ditemukan. Bunuh diri paling banyak dilakukan pada musim tak bersalju -- sekitar Maret-November. Perbandingan antara pria dan wanita: 30:20. Menarik juga untuk mengetahui jumlah orang yang digagalkan bunuh diri: 50 orang setahun. Sakuma mengakui, setelah novel Nami-no-to beredar angka bunuh diri di Aokigahara Jukai memang meningkat. Para pembunuh diri itu kebanyakan menggunakan pil tidur dan tali gantungan. Ada yang menarik: orang-orang yang membatalkan niat bunuh diri itu, kini, diminta menulis semacam catatan -- bersisi semacam petuah, agar para calon pembunuh diri mengundurkan rencana mereka. Catatan itu ditempatkan di kotakkotak khusus di sekitar jukai. Ternyata bermanfaat. "Banyak juga yang lalu membatalkan niat," kata Sakuma. Gunung Fuji juga berhubungan dengan uang. Lihat misalnya uang kertas 500 yen. Pada satu sisinya tertera gambar Tomomi Iwakura, pejabat tertinggi Pemerintahan Meiji. Pada sisi yang lain tampak gambar Fuji. Menurut Bank Negara Jepang, sudah empat kali gambar Fuji menghiasi uang kertas dan logam negeri itu. Kalau tahun pengedaran uang diingat bersama peristiwa di sekitarnya, tampak adanya saling hubungan yang menarik. Uang kertas 50 sen dengan gambar Fuji terbit pada 1938. Tahun itu pemerintah Jepang mengumumkan Undang Undang Mobilisasi Umum Nasional. Uang logam 1.000 yen dengan gambar Fuji dikeluarkan pada 1964, bertepatan dengan pelaksanaan Olimpiade Tokyo. Pada 1970 keluar uang logam dengan gambar gunung itu pula, bertepatan dengan Pekan Raya Dunia di Osaka. Selain uang, perusahaan juga banyak menggunakan nama Fuji. Dalam buku telepon Kota Tokyo bisa dilihat jumlahnya: lebih dari 6.000. Mulai dari perusahaan optik, mobil, kereta api swasta, sampai bank. Malah lembaga pemerintah menggunakan nama Fuji untuk pelbagai benda. Salah satu kapal observasi Kutub Selatan milik Departemen Pendidikan Jepang, misalnya, dinamakan Fuji. Juga kereta api ekspres pertama, yang dioperasikan pada 1929. Juga pesawat jet DC-8 pertama yang dimiliki Japan Air Lines (JAL), 1960. Fuji juga dipakai untuk nama orang dengan pelbagai variasi. Untuk lelaki biasanya menjadi 'Fujio'. Untuk wanita, 'Fujiko'. Nama Fujiko populer, terutama setelah bintang film Fujiko Yamamoto menjuarai kontes kecantikan, puluhan tahun lalu. Perlu juga dicatat, di samping Gunung Fuji yang asli, Jepang sebenarnya masih memiliki delapan gunung lain yang semuanya bernama Fuji. Hanya saja mereka memang tidak bisa menandingi Fuji yang nomor satu itu. Tinggi para umat Fuji itu hanya antara 300 dan 1.000 meter. Salah satunya, yang letaknya paling dekat dengan Fuji asli, berada di Kurihama, Provinsi Kanagawa, di barat Tokyo. Cuma 183 meter, tetapi penduduk di sekitarnya tetap memanggilnya 'Fujisan'. Sejak zaman Keshogunan Yoritomo sekitar awal abad XII, lereng Fuji digunakan untuk latihan perang dan kemiliteran. Pada masa lampau di situ sering diselenggarakan makigari, ketangkasan berkuda sambil menghalau dan berburu binatang liar. Juga di masa Meiji (1868-1912), Angkatan Darat Kerajaan Jepang menggunakannya untuk latihan. Demikian pula pada masa Perang Dunia II. Belakangan jieitai (Pasukan Bela Diri Jepang) juga berlatih di situ. Kini di lereng timur terdapat empat basis pasukan Angkatan Darat Jepang. Di lereng utara juga terdapat basis yang sama. Ada pula sekolah jieitai yang disebut Fuji Gakko. Di antara kelima basis militer itu terbentang lapangan latih yang sangat luas. Curah hujan di puncak Fuji sulit dicatat. Mengapa? Hujan memercik kembali ke udara karena angin yang sangat santer. Pada musim dingin, tebal salju di sana bisa mencapai dua meter. Ketika musim berganti, salju berubah menjadi air yang terjun ke bawah dalam volume besar. Air ini dimanfaatkan oleh beberapa pabrik yang berdekatan -- misalnya, pabrik kertas, pabrik arak, atau obat-obatan. Fuji Film mendirikan tiga pabriknya di sekitar gunung ini pula. Dulu, konon, Gunung Fuji bisa dipandang dari segala penjuru Jepang. Kini hal itu sudah tak mungkin. Pelbagai bangunan menjulang sudah membatasi pemandangan. Begitu pula tabir polusi dari cerobong yang tak terhitung. Tetapi, paling tidak, gunung ini masih bisa kelihatan jelas di 21 di antara 47 provinsi Jepang. Kalau ramalan Masatoshi Sagara betul dan Gunung Fuji meletus bulan depan, masihkah orang Jepang memandang gunung suci itu sebagai "ibu ". Tentu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus