DENGAN hati gedebak-gedebuk serta dua saku penuh batu, sutradara
muda itu datang ke Ursuline Theatre, tempat filmnya yang pertama
diperdanakan. "Jika saja terjadi huru-hara, batu tersedia,"
tutur Luis Bunuel mengingat kejadian masa silam, di Paris tahun
1928.
Rupanya ia salah duga. Anjing Andalusia, demikian judul film
itu, yang masa putarnya cuma 26 menit, mendapat keplok hangat
dari penonton -- di antaranya Andre Breton dan Jean Epstein.
Yang pertama dikenal sebagai bapak surealisme pada siapa Bunuel
berguru, yang kedua direktur Academie du Cinema, Paris.
Masih 28 tahun, Bunuel mengolah skenario Anjing Andalusia
bersama-sama Salvador Dali, temannya seangkatan di Universitas
Madrid dan rekan seperguruan dalam kelompok cendekiawan yang
dipimpin filsuf Spanyol terkenal Ortega y Gasset. Berangkat dari
lingkungan seperti itulah, Luis Bunuel (lahir di Calanda,
Spanyol, 22 Februari 1900) merintis kariernya sebagal le
auteur, sang sutradara. Dalam tempo 50 tahun kemudian, seni
modern mencatat kehadiran tiga raksasa Spanyol: Pablo Casals
(conductor dan pemain cello tunggal yang tiada tolok
bandingnya), Pablo Picasso (pelukis besar, pelopor kubisme), dan
Luis Bunuel (pembawa panji-panji surealisme dalam film modern).
Kedua Pablo nan besar, sudah berpulang lebih awal, sedangkan
Bunuel baru menyusul Jumat pekan silam. Dunia film akhirnya
kehilangan seorang pemberontak, tokoh avant-garde, sutradara
surealis yang sengaja bikin orang bingung, terharu-biru,
terhina, tersiksa, marah besar. Khalayak melancarkan protes
tahun 1930 di Paris, sesudah menonton filmnya kedua Abad
Keemasan (L'Age D'Or). Liga Patriot, Liga Anti Yahudi, dan pers
sayap kanan ikut memanaskan. Dua bulan kemudian film itu
dilarang, semua copy-nya disita.
Filmnya ketiga Tanah Gersang (Las Hurdes) adalah sebuah
dokumenter tentang kemiskinan di sebuah kampung terpencil di
Spanyol. Diantarkan oleh Symphony Keempat ciptaan Brahms, lewat
film ini Bunuel menyajikan kenyataan yang menyakitkan, diseling
percik-percik harapan tapi berakhir dalam kepahitan. Itulah
"wajah" Bunuel tahun 1932. Tapi jiwa cerita yang sama selalu
berulang dalam banyak filmnya yang muncul 50 tahun kemudian.
Dalam segi isi -- terlepas dari kenyataan bahwa isi itu sendiri
sering diperdebatkan -- Bunuel telah memberi capnya yang khas,
bagaikan tradisi memberi warna hitam untuk maut. Harus hitam,
tanpa alternatif.
Dalam pandangan surealis Bunuel hidup manusia begitu juga
kira-kira. Jika kaum surealis umumnya menyorot ketidakadilan
sosial dari potensi merusak masyarakat (yang pada gilirannya
bersumber pada individu). maka Bunuel melihatnya dari unsur
iblis yang terkandung dalam diri manusia. Unsur ini intrinsik,
sesuatu yang tanpa kendali bisa mendorong ke pesimisme, dan
akhirnya nihilisme.
Dalam film-film Bunuel, iblis bekerja sama dengan masyarakat
yang serba palsu, hingga manusia sebagai pribadi tergilas, tidak
punya martabat, tidak berdaya. Dalam tindak dan hubungan apa pun
juga -- apakah itu perjuangan hidup, persahabatan, seksual,
manusia Bunuel akhirnya muncul sebagai ampas. Bisa dimengerti
jika bagi penonton di Eropa dan Amerika, yang ekonomis
masyarakatnya sudah sangat maju, film-film Bunuel nampak
bagaikan mimpi buruk.
Namun, para juri melihatnya lain. Sejak filmnya ketiga, Bunuel
tidak berkarya selama 15 tahun sampai ia pindah ke Meksiko. Di
sini ia dimodali Oscar Dancigers, dan lahirlah Yang Muda Yang
Terkutuk (Los Olvidados), film terbaik Festival Cannes 1951.
Kemudian tahun 1958, Nazarin memenangkan hadiah Khusus Juri
Internasional. Filmnya pertama berbahasa Inggris The Young One
menang lagi di Cannes (1960). Berturut-turut Varidiana dan The
Exterminating Angel memenangkan Palma Emas Cannes tahun 1961 dan
1962. Di AS, penonton memuji Varidiana, sedangkan Angel diejek
karena "suram, kabur tak ketolongan."
Banyak teori mengkaitkan warna surealisme Bunuel dengan warna
alam Spanyol yang khas. Peter Harcourt, seorang kritikus film di
Inggris, membandingkan surealisme Prancis yang lebih intelektual
dengan surealisme Bunuel yang Spanyol itu, yang mencerminkan dua
kutup ekstrem: dunia elegan dan dunia serba kasar, keras.
Lihatlah adu sapi, indah tapi berdarah. Menurut Harcourt ini tak
terlepas dari kenyataan bagaimana Spanyol sebagai jasirah,
historis, dan kultural, terpisah dari Eropa.
Dari segi bentuk, film Bunuel yang eksperimental itu sarat
dengan imaji liar, menakutkan, menjijikkan. Apa yang lazimnya
dikenal sebagai bentuk, dalam film Bunuel seperti kehilangan
fungsi. Ditambah lagi oleh bahasa filmnya yang tidak
komunikatif. Sebab ia memakai lambang-lambang yang terlalu aneh:
mata wanita disayat silet tajam, sapi gemuk di atas ranjang,
manusia yang sekaligus nampak sebagai pengantin, pengemis,
malaikat.
Dalam Belle de Jour, satu-satunya film Bunuel yang diputar di
Indonesia, gambar yang mewakili realitas dan fantasi, begitu
saja dibiarkan kabur dan berbaur. Orang pun berkata, film Bunuel
berantakan dan menjijikkan. Tapi lewat ini Bunuel seakan
mengisyaratkan bahwa dunia yang kita tinggal ini memang begitu:
berantakan dan menjijikkan.
Kritik pada umumnya menyimpulkan, semangat anarki Bunuel yang
berkobar-kobar, khususnya dimaksudkan untuk menghajar gereja
Katolik dan kaum borjuis. Kesimpulan ini bukan tidak ada
benarnya, tapi masih terlalu sederhana. Bunuel pada hakikatnya
lebih kaya, lebih rumit, lebih dalam, lebih ekstrem. Seperti
yang ditegaskan Carlos Fuentes. "Semua karyanya yang
kontroversial mencerminkan perjuangan antara hasrat-hasrat alami
manusia melawan penindasan psikologis, sosial, dan agamawi yang
juga diciptakan oleh manusia itu sendiri." Tapi buru-buru ia
menambahkan bahwa kesimpulan itu pun, "tidak memadai".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini