GIBRALTAR Pasifik' adalah julukan yang diberikan ahli
strategi militer AS untuk Truk Lagoon. Tapi apa pun sebutannya,
terletak sekitar 2.500 kilometer dari Samudra Pasifik yang
bergelora, "Laut Pedalaman Truk" menjadi kuburan yang cukup aman
bagi sekitar 100 kapal Jepang.
Masih termasuk kawasan Pasifik, 2.100 pulau bertebaran di daerah
seluas lima juta kilometer persegi, yang disebut Mikronesia. Dan
pada tujuh derajat lintang utara, di sebelah timur Kepulauan
Caroline, di situlah "Laut Pedalaman Truk" menempatkan diri.
Wilayah ini pula yang diuber-uber para penyelam dari seluruh
dunia.
Di sini, di wilayah yang terentang sepanjang 60 kilometer,
lagoon tropis itu menampung 11 pulau utama -- yang kecil-kecil
tak terbilang -- yang berhutan-hutan. Pulau-pulau itu dilindungi
karang kukuh di sekelilingnya.
Dan di antara rimbunan dan kehijauan daratan-daratan kecil itu,
kapal-kapal Angkatan Laut Kerajaan Jepang tenggelam karena
serangan Angkatan Laut AS, Februari dan April 1944. Bukan saja
jumlahnya yang mengesankan. Juga cara tenggelamnya. Banyak di
antaranya masih terbilang utuh, seperti dituturkan John Tait,
yang telah menyelam sekitar 10 tahun, dalam majalah Journey.
Lelaki kelahiran Skotlandia yang kini menetap di Brisbane ini
juga memotret sendiri hasil-hasil penemuannya.
Menurut penyelam yang pernah dilatih Angkatan Laut Kerajaan
Inggris ini, apa yang terpendam di Truk lebih bernilai lagi bagi
para biolog bahari. Tidak satu pun tempat di dunia yang begitu
banyak menyimpan kapal karam, menumpuk di satu lokasi yang
lautnya dangkal, dan airnya jernih kemilau, selain di sini.
Beberapa di antaranya malah berkubur di kedalaman hanya 30
meter.
Truk memang menjadi kubu pertahanan Jepang semasa Perang Dunia
kemarin. Pulau-pulaunya diperkuat dengan meriam-meriam besardan
landasan-landasan pesawat terbang. Di sana ada gudang bahan
bakar, tempat-tempat penyimpanan senjata dan amunisi,
barak-barak, dan bengkel. Kawasan itu di jadikan oleh Armada
Gabungan Jepang sebagai batu loncatan lalu lintas peralatan
antara Jepang dan Pasifik Selatan. Dalam masa perang, daerah ini
pernah ketempatan 50 ribu pasukan dan pekerja.
Namun dongeng Truk sebagai benteng tak terkalahkan nyatanya
porak poranda melalui 'Operasi Hailstone', yang dilancarkan
segera setelah fajar 17 Februari 1944. Pasukan Angkatan Laut
Amerika Serikat bergerak dari kapal-kapal angkut sekitar 145
kilometer sebelah timur laut. Gelombang demi gelombang
penempur-penempur Hellcat dan pengembom Dauntless datang dan
menghunjamkan peluru-peluru dan bom-bom mereka.
Armada Jepang yang waktu itu mangkal di sana lebih banyak kapal
dagangnya ketimbang kapal perangnya. Kapal-kapal perang justru
memperoleh pemberitahuan lebih awal terhadap serangan, dan
mereka kabur ke Pulau dua hari sebelumnya. Kalau tidak, tentu
lebih banyak kapal lagi yang berkubur di situ.
Setelah serbuan dua hari berturut-turut, yang menumpahkan lebih
dari 400 ton bom dan terpedo udara, hasil yang didapat Angkatan
Laut AS lumayan. Sekitar 64 kapal dan sebuah kapal selam --
seluruhnya 250 ribu ton -- berikut 260 pesawat udara, turun ke
dasar laut. Dan serangan udara yang diulang dua minggu kemudian
menambah jumlah mereka.
Dan semua itu menjadikan laut pedalaman tersebut sasaran
penyelaman yang paling menawan. Hampir tak tersentuh selama 35
tahun di kapal-kapal karam itu masih dapat ditemukan berbagai
peralatan dan perlengkapan perang. "Ketimbang menyelami
kapal-kapal kosong yang cuma memiliki baling-baling kuningan
untuk dicopoti, penyelam lebih baik memilih kapal perang
tenggelam," kata Tait.
Dan memang lebih menarik. Di sana kita bisa menemui berbagai
tipe senjata dan amunisi, peralatan kapal, telepon, telegrap,
mobil truk, botol, sepatu, barang porselin, piring mangkuk,
perlengkapan dapur ....
"Salah satu sensasi yang paling aneh datang ketika turun ke
sebuah lorong kapal yang sudah berlumut dan berkarang," tutur
Tait. "Membayangkan bagaimana paniknya awak kapal turun naik di
gang-gang dan geladak, bingung dan putus asa mencari-cari jalan
keluar dari kapal yang sedang tenggelam."
Tidak kurang sensasionalnya adalah memikirkan betapa kapal-kapal
berikut adegan seramnya itu kini tampil sebagai sebuah taman
keindahan tiada tara. Berbagai jenis ikan berseliweran di sini,
di batu-batu karang ini. Ada hiu, barracuda, tuna, sampai ke
ubur-ubur. Cahaya matahari tembus dan bermain di sana, di antara
bunga karang dan moncong meriam. Suatu sajian keindahan yang
istimewa.
Fujikawa Maru adalah salah sebuah kapal karam yang terkenal.
Kapal pengangkut pesawat udara ini panjangnya 137 meter, dan
tiang agungnya mencuat di permukaan. Kini ia dihiasi bunga
karang yang indahnya tak tepermanai, batu karang, dan remis.
Karang lembut berwarna merah lembayung, jingga strawberry,
kuning kenari, lembayung muda, dan nila, bisa ditemui di
mana-mana. Mereka bergelantungan di popor bedil, di terali,
malah di tiang agung. "Impian fotografer di sini menjadi
kenyataan," tulis Tait. "Yang soal, di mana harus mulai
menjepretnya!"
Fujikawa tegak di kedalaman 40 meter air. Anjungannya hanya 12
meter dari permukaan, dan geladaknya 20 meter. Berdiri di
anjungan, di dekat peralatan kompas, seseorang dapat
membayangkan bagaimana perintah kapten kapal diserukan.
Shinkoku Maru adalah tanker berukuran 152 meter. Berdiri pada
sekitar 40 meter kedalaman, ia dianggap "kapal karam terindah di
Truk". Karang-karang lunak di permukaan geladak lebih subur dan
aneka warna ketimbang yang di Fujikawa. "Mungkin yang paling
indah di dunia," tulis Tait rada menggebu-gebu. Di sekitar taman
aneka warna yang disiram cahaya surya ini lalu-lalang sekitar
sepuluh ribu ikan karang kecil-kecil.
Mengadakan penyelidikan ke perut kapal, menyibak rahasia lain
pula dari kapal karam itu. Kamar-kamar, lorong-lorong, palka,
dan kamar mesin ditutupi endapan lumpur cokelat. Kamar mandi
berubin yang dilengkapi secukupnya dapat ditemukan di sana.
Palka berisikan lempengan baling-baling kapal, mesin, dan peluru
457 mm yang didisain untuk kapal tempur Yamato dan Musashi.
Peralatan militer dan perlengkapan penerbang, drum minyak, dan
sepeda -- serta kamar mengerikan yang berisi tulang-tulang
manusia. Interior kapal-kapal karam itu merupakan museum bawah
laut yang menakjubkan. Sekaligus ia juga dokumen pertarungan
hidup mati.
Kapal-kapal lainnya memang tidak memuat banyak temuan, namun tak
kurang dihiasi tumbuhan dan hewan laut yang indah. Bangunan
bawah dan atas yang menarik, kamar-kamar, palka, dan kamar
mesin, memiliki keistimewaannya masing-masing. Misalnya seperti
yang dapat disaksikan di kapal-kapal Yamagiri Maru, Rio de
Janeiro Maru, Hoyo Maru, Sankisan Maru, Fujisan Maru, dan
Kiyosumi Maru.
Ada pula yang tenggelamnya lebih dalam, 60 sampai 80 meter.
Misalnya, Seiko Maru dan San Fransisco Maru, yang memuattigatank
ringan di geladaknya. Kapal ini dibantai ketika sedang memunggah
muatan. Di kapal lain, Aikoku Maru, jatuhan bom yang menimpa
geladak yang penuh muatan amunisi membuatnya meledak bagai
petasan renteng -- dalam ukuran,jauh lebih besar. Begitu
hebatnya ledakan, pesawat yang mengebomnya berikut sang pilot
ikut tersambar -- dan menjadi bagian dari ledakan.
Laut pedalaman Truk, yang kini tampak tenteram dan damai,
bagaimanapun telah menjadi monumen bersejarah. Ada larangan
untuk mengangkut sesuatu yang ada di sana. Dan karenanya kawasan
itu menjadi obyek petualangan yang tetap menawan.
Dan kenangan pun segera melayang kepada segala perbuatan sia-sia
peperangan. Ironisnya, kawasan itu menjadi tonggak pencanangan
kemenangan akhir -- dari Sekutu, terutama AS. Namun ada gema
yang datang dari buku 20.000 Leagues Under the Sea karangan
Jules Verne: "Di permukaannya . . . manusia boleh saling
bertarung, saling memakan sesamanya . . . dan saling
mempertukarkan kengerian. Tapi tiga puluh kaki di bawah
permukaan laut, kekuatannya lumpuh . . . kekuasaannya sirna."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini