Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Fundamentalis gaya afrika

Gerakan fundamentalis di afrika selatan, ekstrim rasialis yang mempertegaskan sikap yang membeda-bedakan darah dan keturunan, eugene terre blanche adalah tokoh afrikaner asal prancis.(sel)

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI fundamentalis yang lain lagi. Bertolak dari k itab suci, atau begitu lah pengakuan mereka, gerakan ini bukan memusuhi modernisme atau menuntut orang bertobat seperti di kalangan Kristen Amerika. Klop dengan setting Afrika Selatan yang rasialis, mereka justru mempertegas sikap yang membeda-bedakan darah dan keturunan. Dan untuk itu, kalau perlu, mereka melawan pemerintah. Padahal pemerintah Afrika Selatan sudah terhitung yang paling tak punya malu. Di sinilah 19% kaum kulit putih mendominasi--dan menekan--hampir semua segi hidup 68% kaum hitam, plus 13% kaum berwarna lain. Hanya saja, bagi kaum yang recok ini, pemerintah Perdana Menteri Botha itu dinilai sudah "terlalu lunak ". Adalah seorang bernama Eugene Terre Blanche. Laki-laki dengan nama Prancis ini, 37 tahun, terhisab dalam golongan Afrikaner. Benar: kata ini bisa berarti penduduk pribumi Afrika. Tapi itu nama justru diaku oleh golongan keturunan Belanda yang, bersama dengan orang Inggris, merupakan mayoritas putih. Para Belanda inilah yang lebih merasa sebagai pemilik: mereka datang di sana sudah sejak 1652, sementara yang Inggris baru abad kemarin. Antara dua jenis kulit putih itu memang terdapat persaingan kuat. Si Belanda berbahasa-Afrikaan, bahasa Belanda campur berbagai unsur dan yang terpenting konon Melayu, beragama Protestan--umumnya Gereja Reformasi Belanda--dan mengumpul dalam Partai Nasional yang kini berkuasa. Si Inggris sebaliknya berbahasa Inggris, beragama kebanyakan Anglikan dan sebagian Katolik, mengumpul dalam Partai Liberal. Mereka punya koran sendiri-sendiri, punya universitas sendiri-sendiri. Sedang pribumi Afrika sendiri? Mereka hanya dikenal sebagai Bantu--warganegara klas tiga, sesudah golongan kulit berwarna asing. Nah. Eugene Terre Blanche tadi, petani yang pernah jadi polisi, dikhawatirkan--mulai pertengahan tahun ini--akan bisa membelah Partai Nasional, partainya sendiri -- oleh jumlah pengikutnya yang besar dan kecaman-kecamannya kepada pemerintah. Konsepnya sebenarnya tak begitu jelas--kecuali sikapnya yang ekstrim rasialis. Ia selalu menyinggung politik, namun menyebut prinsip-prinsip gerakannya bertolak dari agama. Di waktu lain ia berkhotbah tentang moral dan dunia usaha. Toh anggapannya terhadap bangsa kulit hitam sebenarnya tidak baru khas anggapan kaum kulit putih dan terutama para Afrikaner. Yakni berbau sisa-sisa penafsiran sebagian kalangan Kristen abad-abad kemarin terhadap kitab suci. Bahwa bangsa yang legam dan pesek itu, Negro, adalah keturunan Ham bin Nuh--yang merosot kebudayaannya hingga menjadi barbar. Karena itu sudah kodrat Tuhan kalau derajatnya lebih rendah dari bangsa putih--bahkan pada dasarnya kulit hitam itu sendiri menunjukkan kutukan Allah. Penafsiran jenis itu pula agaknya yang dipegang golongan rasialis Ku Klux Klan di Amerika, yang segera saja bertentangan dengan gereja-gereja mutakhir--entah barangkali dengan segolongan kaum fundamentalis sendiri. Dan itu pula hakikatnya, di Amerika, yang menimbulkan sikap antithesis tokoh Negro Elijah Muhammad --yang lewat Black Moslern-nya (yang sekarang sudah berubah) bikin teori bahwa umat hitam justru pilihan Tuhan, dan bahwa Adam bahkan orang Negro. HANYA saja, pemujaan Blanche kepada ras putih yang membuatnya populer itu, dilahirkannya dengan mengecam semua partai termasuk partainya--yang telah "berbuat dosa". Sehingga kalau perlu, katanya, semua partai politik harus dibubarkan--bila Afrika Selatan "ingin tetap putih" dan berkembang sebagai masyarakat Kristen sejati. "Partai Nasional yang kini mencengkeram pemerintahan," katanya pula, "sudah meninggalkan kaum Afrikaner." Sebabnya: kekuasaan di Afrika Selatan kini terlalu percaya pada "prinsip uang". "Lihat saja. Mereka sudah melacurkan diri dengan membangun pertambangan raksasa bersama Amerika --dengan membiarkan si Yahudi Oppenheimer memimpin!" Nah. Di sinilah muncul ciri kedua gerakan ini: kebencian pada Yahudi. Oppenheimer adalah ilmuwan dan organisator yang besar peranannya dalam pembuatan bom atom di AS menjelang akhir Perang Dunia II. Padahal kebencian golongan Afrikaner kepada Yahudi--jumlahnya sekitar 4%--sudah dikenal sejak lama. Dalam kampanye politik, sudah biasa kalau pembicara mereka memaki-maki Yahudi. Hanya, sejak sekitar dua dasawarsa yang lewat, maki-makian ini surut. Gengsi orang Yahudi naik, dan tampaknya semakin besar peran mereka dalam pemerintahan. Yang jadi sebab: pendekatan pemerintah Afrika Selatan kepada Israel. Sudah jadi rahasia umum kedua negara itu bersama-sama sedang mencoba membuat senjata nuklir: Israel memilki teknologinya, Afrika Selatan memiliki uraniumnya. Ditambah lagi Prancis yang telah ceroboh membangun sebuah reaktoratom di Afrika Selatan yang mudah diubah menjadi laboratorium senjata. Blanche, dalam membangunkan kembali sentimen itu--sambil merusakkan barisan Partai Nasional yang berkuasa--tidak sungkan-sungkan menyebut "kekuatan duit yang kini merampok kekayaan tambang Afrika Selatan" itu sebagai "gerakan Yudaisme internasional". Gerakan itu sangat berbahaya, katanya. Mereka sedang merencanakan "menghancurkan Afrika Selatan". Blanche lantas menuntut: RUU yang berusaha memasukkan orang Yahudi ke dalam kelompok putih, yang dengan demikian mendapat hak-hak istimewa, ditinjau kembali. Keputusan ini memang masih menggantung. Ada kelompok dalam pemerintahan yang rupanya mendesakkan Yahudi itu. Tapi sebenarnya belum berhasil-diam-diam ditentang kelompok Afrikaner yang bergabung dalam organisasi masyarakat AWB (Afrikaner Weerstandbeweging). Dan kini Blanche memperkuat penentangan itu--sambil melupakan, barangkali, bahwa Yesus sendiri Yahudi. Masalahnya, tentunya, karena Yesus adalah institusi besar yang tak lagi menunjuk kepada ras. Blanche sendiri menyebut Yahudi dalam satu napas dengan 'antikristus'--antichrist --yang juga diserukannya dengan lantang. Malah akhirnya dipakainya untuk menuding semua musuhnya: pemerintah, Partai Nasional sendiri, modal asing, di samping si Yahudi. Joseph Lelyveld dari The New York Times, yang menyelidiki gerakan ini, malah menyebutkan bab 'aritikristus' itu sebagai paham inti. Blanche dan penganutnya memang suka mengulang-ulang bagian-bagian tertentu Kitab Yahya dalam Bibel--yang kalau ditafsirkan dengan cara tertentu memang bisa jadi pangkal perselisihan dengan Yudaisme. Pokok pangkalnya, tentu: antikristus adalah mereka yang mengingkari kedatangan Yesus. Dan Yudaisme adalah embahnya. Yang rupanya sangat menarik Blanche adalah ayat seperti: "Mereka berasal dari dunia, sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka." Nah: itulah Zionisme, kekuatan uang, dan jaringan internasional Yahudi. Kitab Yahya di tangan Blanche memang jadi colorful. Sampai-sampai tokoh ini menarik angka keramat: 7. Ini konon merupakan tanda 'wahyu Yahya'. Itu 7 bintang, 7 malaikat, 7 tanda kejadian. Sebaliknya, angka 6 adalah tanda laknat. Bila terdapat 6 bintang, 6 malaikat, 6 tanda kejadian, alamat roh antikristus bakal berkuasa. Yang menarik, permainan angka itu pun bukan barang baru. Siapa yang menonton film The Omen, akan mendapati angka 6 persis dalam kedudukan sama. Hanya, antikristus di situ tak lain roh jahat besar yang dalam film itu dikisahkan menitis dalam diri si anak. Dan antichrist sebagai setan besar juga merupakan penafsiran segolongan kalangan Islam. Menurut sebagian penafsir Quran, antichrist adalah nama Kristen untuk personifikasi roh jahat luar biasa yang dalam Islam diberikan namanya sebagai Dajjal. Dengan kata lain: bukan ras. Tapi begitu fanatiknya gerakan Blanche pada 'pertujuhan', sampai-sampai bendera mereka mengekspresikan keyakinan itu. Warnanya merah darah, dengan lingkaran putih di tengah. Dalam lingkaran itulah tiga buah angka 7 digambarkan berputar pada sebuah "pusat yang tak kelihatan ": berpusing seperti baling-baling kipas angin, tak bersentuhan. Warnanya hitam legam. Nah. Tiba-tiba bendera itu mirip lambang Nazi. Dan ini sudah terang dimanfaatkan musuh-musuh Blanche. Mereka bilang: Blanche kemasukan setan Hitler. Ia berniat mengganti demokrasi dengan fasisme dan mengangkat dirinya menjadi diktator. Dakwah balasan itu ternyata ampuh: sejumlah penganut Blanche berubah pendapat. "Itulah bukti bahwa mereka orang-orang naif yang mudah dikelabui," kata seorang aktivis Partai Nasional. Jan Groenewald, yang oleh Blanche ditunjuk memimpin organisasinya, tentu saja menyangkal. Warna dan simbol yang mirip-mirip itu, katanya, kan pernah digunakan sekelompok Afrikaner di awal abad ke-19? "Tidak ingatkah kalian pada nenek moyang kita yang sangat berpengaruh itu--yang telah menanjolkan sikap berani memusuhi kaum hitam?" Blanche yakin berangkat dari akar, rupanya. "Saya tidak melihat alasan mengapa orang hitam harus duduk dalam sebuah pemerintahan kulit putih," katanya lalu. Ia malah menitipkan pesan kepada si wartawan: "Katakan kepada mereka, kami tak akan berintegrasi. Orang putih harus tetap murni! Kami tak bisa membayar harga yang mereka ajukan." Dengan itu ia menyindir Perdana Menteri P.W. Botha. Pemimpin dari partainya ini belakangan memang tak bisa terlampau keras menekan kaum hitam--kendati masih menjalankan politik apartheid--karena tekanan dunia internasional. "Di mana keyakinan kita pada apartheid?" senu Blanche berapi-api suatu kali, dari atas podium. "Ke jurusan mana Perdana Menteri akan membawa kita?" Dijawabnya sendiri: "Ke kegelapan !" Tepuk tangan riuh. Eugene TerreBlanche itu orang yang sedikit histeris, tulis Joseph Lelyveld. Pidatonya bagai teater. Dengan matanya yang sipit dan letih, orang gemuk itu selalu memulai pembicaraan dengan suara rendah, penuh nada menghasut. Kian lama kian naik, dan pada bagian-bagian yang ingin ditekankannya ia menangis-menjerit--bahkan melolong. Ia bukan pendeta. Bukan tokoh partai. Malah tak menuntut kursi di Parlemen. Namun penuh kharisma. Konon kemampuannya bicara dan menghimpun khalayak melebihi jago kampanye pemilu yang mana pun . Blanche sendiri berkeliling ke seluruh pelosok untuk menjual prinsip-prinsipnya. Jan Groenewald, tangan kanannya yang bekas anggota dinas rahasia itu, memproduksi kaset khotbah-khotbahnya. Belakangan malah direncanakan penyelenggaraan sistem pertemuan kecil, yang akan diisi dengan pemutaran video berisi ceramah sang guru Blanche. Maka pengaruhnya pun kian besar. Di Transvaal, tempat mulainya gerakan ini, wibawanya dikatakan sudah merata ke seluruh provinsi. Dalam peta politik daerah ini memang dikenal sebagai kubu kaum ekstrim kanan. Dan di sini pengikut Blanche bahkan sudah sampai pada tingkat mempersiapkan sebuah kesatuan paramiliter--salah satu ciri gerakan ekstrim kanan. Yang ini memang patut dikhawatirkan. "Pengaruhnya pada ketenteraman, itu yang ditakutkan pemerintah," kata seorang anggota Parlemen. "Bukan prinsip-prinsip gerakan yang nampak sekali ngawur," katanya. TAK heran: Blanche punya daya bius seperti Hitler yang dulu berusaha mengembalikan rasa tinggi ras Aria. Anggota Parlemen itu sendiri mengenalnya. Ia mengaku tahu pasti kapan pemberontakan dalam tubuh Partai Nasional itu dimulai. "Waktu itu," katanya, "Blanche, Groenewald dan saya sendiri kebetulan menghadiri sebuah ceramah di Rand Afrikaans University. Berbicara pada ceramah itu ahli sejarah F.A. Van Jaarsveld. Van Jaarsveld berspekulasi: kaum Afrikaner adalah bangsa pilihan." Nah. Blanche dan Groenwald terbakar. Namun ketakutan pada pecahnya partai sebenarnya belum lagi beralasan. Ketika ditanya Groenewald sendiri menjelaskan, anggotanya tidak melepaskan keanggotaan Partai Nasional, dan akan berjuang lewat partai itu-sampai tahap ini. Orang-orang partai sendiri sering menyebut mereka itu "parasit" yang merusakkan kesatuan. Namun karena jumlahnya besar, partai tak sembarangan mengambil tindakan. "Biar mereka sadar sendiri, ada perbedaan fundamental antara prinsip partai dan prinsip Blanche," alasannya. Dengan kata lain komposisi ras Eropa, lengkap dengan pengkotak-kotakan politiknya, belum akan berubah. Juga pembagian lapisan-lapisan penduduknya yang bedebah itu. Hidup tuantuan putih !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus