INI fundamentalis yang lain lagi. Bertolak dari k itab suci,
atau begitu lah pengakuan mereka, gerakan ini bukan memusuhi
modernisme atau menuntut orang bertobat seperti di kalangan
Kristen Amerika. Klop dengan setting Afrika Selatan yang
rasialis, mereka justru mempertegas sikap yang membeda-bedakan
darah dan keturunan. Dan untuk itu, kalau perlu, mereka melawan
pemerintah.
Padahal pemerintah Afrika Selatan sudah terhitung yang paling
tak punya malu. Di sinilah 19% kaum kulit putih mendominasi--dan
menekan--hampir semua segi hidup 68% kaum hitam, plus 13% kaum
berwarna lain. Hanya saja, bagi kaum yang recok ini, pemerintah
Perdana Menteri Botha itu dinilai sudah "terlalu lunak ".
Adalah seorang bernama Eugene Terre Blanche. Laki-laki dengan
nama Prancis ini, 37 tahun, terhisab dalam golongan Afrikaner.
Benar: kata ini bisa berarti penduduk pribumi Afrika. Tapi itu
nama justru diaku oleh golongan keturunan Belanda yang, bersama
dengan orang Inggris, merupakan mayoritas putih. Para Belanda
inilah yang lebih merasa sebagai pemilik: mereka datang di sana
sudah sejak 1652, sementara yang Inggris baru abad kemarin.
Antara dua jenis kulit putih itu memang terdapat persaingan
kuat. Si Belanda berbahasa-Afrikaan, bahasa Belanda campur
berbagai unsur dan yang terpenting konon Melayu, beragama
Protestan--umumnya Gereja Reformasi Belanda--dan mengumpul dalam
Partai Nasional yang kini berkuasa. Si Inggris sebaliknya
berbahasa Inggris, beragama kebanyakan Anglikan dan sebagian
Katolik, mengumpul dalam Partai Liberal. Mereka punya koran
sendiri-sendiri, punya universitas sendiri-sendiri. Sedang
pribumi Afrika sendiri? Mereka hanya dikenal sebagai
Bantu--warganegara klas tiga, sesudah golongan kulit berwarna
asing.
Nah. Eugene Terre Blanche tadi, petani yang pernah jadi polisi,
dikhawatirkan--mulai pertengahan tahun ini--akan bisa membelah
Partai Nasional, partainya sendiri -- oleh jumlah pengikutnya
yang besar dan kecaman-kecamannya kepada pemerintah. Konsepnya
sebenarnya tak begitu jelas--kecuali sikapnya yang ekstrim
rasialis. Ia selalu menyinggung politik, namun menyebut
prinsip-prinsip gerakannya bertolak dari agama. Di waktu lain ia
berkhotbah tentang moral dan dunia usaha.
Toh anggapannya terhadap bangsa kulit hitam sebenarnya tidak
baru khas anggapan kaum kulit putih dan terutama para Afrikaner.
Yakni berbau sisa-sisa penafsiran sebagian kalangan Kristen
abad-abad kemarin terhadap kitab suci. Bahwa bangsa yang legam
dan pesek itu, Negro, adalah keturunan Ham bin Nuh--yang
merosot kebudayaannya hingga menjadi barbar. Karena itu sudah
kodrat Tuhan kalau derajatnya lebih rendah dari bangsa
putih--bahkan pada dasarnya kulit hitam itu sendiri menunjukkan
kutukan Allah.
Penafsiran jenis itu pula agaknya yang dipegang golongan
rasialis Ku Klux Klan di Amerika, yang segera saja bertentangan
dengan gereja-gereja mutakhir--entah barangkali dengan
segolongan kaum fundamentalis sendiri. Dan itu pula hakikatnya,
di Amerika, yang menimbulkan sikap antithesis tokoh Negro Elijah
Muhammad --yang lewat Black Moslern-nya (yang sekarang sudah
berubah) bikin teori bahwa umat hitam justru pilihan Tuhan, dan
bahwa Adam bahkan orang Negro.
HANYA saja, pemujaan Blanche kepada ras putih yang membuatnya
populer itu, dilahirkannya dengan mengecam semua partai termasuk
partainya--yang telah "berbuat dosa". Sehingga kalau perlu,
katanya, semua partai politik harus dibubarkan--bila Afrika
Selatan "ingin tetap putih" dan berkembang sebagai masyarakat
Kristen sejati.
"Partai Nasional yang kini mencengkeram pemerintahan," katanya
pula, "sudah meninggalkan kaum Afrikaner." Sebabnya: kekuasaan
di Afrika Selatan kini terlalu percaya pada "prinsip uang".
"Lihat saja. Mereka sudah melacurkan diri dengan membangun
pertambangan raksasa bersama Amerika --dengan membiarkan si
Yahudi Oppenheimer memimpin!"
Nah. Di sinilah muncul ciri kedua gerakan ini: kebencian pada
Yahudi. Oppenheimer adalah ilmuwan dan organisator yang besar
peranannya dalam pembuatan bom atom di AS menjelang akhir Perang
Dunia II.
Padahal kebencian golongan Afrikaner kepada Yahudi--jumlahnya
sekitar 4%--sudah dikenal sejak lama. Dalam kampanye politik,
sudah biasa kalau pembicara mereka memaki-maki Yahudi.
Hanya, sejak sekitar dua dasawarsa yang lewat, maki-makian ini
surut. Gengsi orang Yahudi naik, dan tampaknya semakin besar
peran mereka dalam pemerintahan. Yang jadi sebab: pendekatan
pemerintah Afrika Selatan kepada Israel. Sudah jadi rahasia umum
kedua negara itu bersama-sama sedang mencoba membuat senjata
nuklir: Israel memilki teknologinya, Afrika Selatan memiliki
uraniumnya. Ditambah lagi Prancis yang telah ceroboh membangun
sebuah reaktoratom di Afrika Selatan yang mudah diubah menjadi
laboratorium senjata.
Blanche, dalam membangunkan kembali sentimen itu--sambil
merusakkan barisan Partai Nasional yang berkuasa--tidak
sungkan-sungkan menyebut "kekuatan duit yang kini merampok
kekayaan tambang Afrika Selatan" itu sebagai "gerakan Yudaisme
internasional". Gerakan itu sangat berbahaya, katanya. Mereka
sedang merencanakan "menghancurkan Afrika Selatan".
Blanche lantas menuntut: RUU yang berusaha memasukkan orang
Yahudi ke dalam kelompok putih, yang dengan demikian mendapat
hak-hak istimewa, ditinjau kembali. Keputusan ini memang masih
menggantung. Ada kelompok dalam pemerintahan yang rupanya
mendesakkan Yahudi itu. Tapi sebenarnya belum berhasil-diam-diam
ditentang kelompok Afrikaner yang bergabung dalam organisasi
masyarakat AWB (Afrikaner Weerstandbeweging). Dan kini Blanche
memperkuat penentangan itu--sambil melupakan, barangkali, bahwa
Yesus sendiri Yahudi.
Masalahnya, tentunya, karena Yesus adalah institusi besar yang
tak lagi menunjuk kepada ras. Blanche sendiri menyebut Yahudi
dalam satu napas dengan 'antikristus'--antichrist --yang juga
diserukannya dengan lantang. Malah akhirnya dipakainya untuk
menuding semua musuhnya: pemerintah, Partai Nasional sendiri,
modal asing, di samping si Yahudi.
Joseph Lelyveld dari The New York Times, yang menyelidiki
gerakan ini, malah menyebutkan bab 'aritikristus' itu sebagai
paham inti. Blanche dan penganutnya memang suka mengulang-ulang
bagian-bagian tertentu Kitab Yahya dalam Bibel--yang kalau
ditafsirkan dengan cara tertentu memang bisa jadi pangkal
perselisihan dengan Yudaisme. Pokok pangkalnya, tentu:
antikristus adalah mereka yang mengingkari kedatangan Yesus. Dan
Yudaisme adalah embahnya.
Yang rupanya sangat menarik Blanche adalah ayat seperti: "Mereka
berasal dari dunia, sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal
duniawi dan dunia mendengarkan mereka." Nah: itulah Zionisme,
kekuatan uang, dan jaringan internasional Yahudi.
Kitab Yahya di tangan Blanche memang jadi colorful.
Sampai-sampai tokoh ini menarik angka keramat: 7. Ini konon
merupakan tanda 'wahyu Yahya'. Itu 7 bintang, 7 malaikat, 7
tanda kejadian. Sebaliknya, angka 6 adalah tanda laknat. Bila
terdapat 6 bintang, 6 malaikat, 6 tanda kejadian, alamat roh
antikristus bakal berkuasa.
Yang menarik, permainan angka itu pun bukan barang baru. Siapa
yang menonton film The Omen, akan mendapati angka 6 persis
dalam kedudukan sama. Hanya, antikristus di situ tak lain roh
jahat besar yang dalam film itu dikisahkan menitis dalam diri si
anak.
Dan antichrist sebagai setan besar juga merupakan penafsiran
segolongan kalangan Islam. Menurut sebagian penafsir Quran,
antichrist adalah nama Kristen untuk personifikasi roh jahat
luar biasa yang dalam Islam diberikan namanya sebagai Dajjal.
Dengan kata lain: bukan ras.
Tapi begitu fanatiknya gerakan Blanche pada 'pertujuhan',
sampai-sampai bendera mereka mengekspresikan keyakinan itu.
Warnanya merah darah, dengan lingkaran putih di tengah. Dalam
lingkaran itulah tiga buah angka 7 digambarkan berputar pada
sebuah "pusat yang tak kelihatan ": berpusing seperti
baling-baling kipas angin, tak bersentuhan. Warnanya hitam
legam.
Nah. Tiba-tiba bendera itu mirip lambang Nazi. Dan ini sudah
terang dimanfaatkan musuh-musuh Blanche. Mereka bilang: Blanche
kemasukan setan Hitler. Ia berniat mengganti demokrasi dengan
fasisme dan mengangkat dirinya menjadi diktator.
Dakwah balasan itu ternyata ampuh: sejumlah penganut Blanche
berubah pendapat. "Itulah bukti bahwa mereka orang-orang naif
yang mudah dikelabui," kata seorang aktivis Partai Nasional.
Jan Groenewald, yang oleh Blanche ditunjuk memimpin
organisasinya, tentu saja menyangkal. Warna dan simbol yang
mirip-mirip itu, katanya, kan pernah digunakan sekelompok
Afrikaner di awal abad ke-19? "Tidak ingatkah kalian pada nenek
moyang kita yang sangat berpengaruh itu--yang telah menanjolkan
sikap berani memusuhi kaum hitam?"
Blanche yakin berangkat dari akar, rupanya. "Saya tidak melihat
alasan mengapa orang hitam harus duduk dalam sebuah pemerintahan
kulit putih," katanya lalu. Ia malah menitipkan pesan kepada si
wartawan: "Katakan kepada mereka, kami tak akan berintegrasi.
Orang putih harus tetap murni! Kami tak bisa membayar harga yang
mereka ajukan."
Dengan itu ia menyindir Perdana Menteri P.W. Botha. Pemimpin
dari partainya ini belakangan memang tak bisa terlampau keras
menekan kaum hitam--kendati masih menjalankan politik
apartheid--karena tekanan dunia internasional.
"Di mana keyakinan kita pada apartheid?" senu Blanche berapi-api
suatu kali, dari atas podium. "Ke jurusan mana Perdana Menteri
akan membawa kita?" Dijawabnya sendiri: "Ke kegelapan !"
Tepuk tangan riuh. Eugene TerreBlanche itu orang yang sedikit
histeris, tulis Joseph Lelyveld. Pidatonya bagai teater. Dengan
matanya yang sipit dan letih, orang gemuk itu selalu memulai
pembicaraan dengan suara rendah, penuh nada menghasut. Kian lama
kian naik, dan pada bagian-bagian yang ingin ditekankannya ia
menangis-menjerit--bahkan melolong.
Ia bukan pendeta. Bukan tokoh partai. Malah tak menuntut kursi
di Parlemen. Namun penuh kharisma. Konon kemampuannya bicara
dan menghimpun khalayak melebihi jago kampanye pemilu yang mana
pun .
Blanche sendiri berkeliling ke seluruh pelosok untuk menjual
prinsip-prinsipnya. Jan Groenewald, tangan kanannya yang bekas
anggota dinas rahasia itu, memproduksi kaset khotbah-khotbahnya.
Belakangan malah direncanakan penyelenggaraan sistem pertemuan
kecil, yang akan diisi dengan pemutaran video berisi ceramah
sang guru Blanche.
Maka pengaruhnya pun kian besar. Di Transvaal, tempat mulainya
gerakan ini, wibawanya dikatakan sudah merata ke seluruh
provinsi. Dalam peta politik daerah ini memang dikenal sebagai
kubu kaum ekstrim kanan. Dan di sini pengikut Blanche bahkan
sudah sampai pada tingkat mempersiapkan sebuah kesatuan
paramiliter--salah satu ciri gerakan ekstrim kanan. Yang ini
memang patut dikhawatirkan.
"Pengaruhnya pada ketenteraman, itu yang ditakutkan pemerintah,"
kata seorang anggota Parlemen. "Bukan prinsip-prinsip gerakan
yang nampak sekali ngawur," katanya.
TAK heran: Blanche punya daya bius seperti Hitler yang dulu
berusaha mengembalikan rasa tinggi ras Aria. Anggota Parlemen
itu sendiri mengenalnya. Ia mengaku tahu pasti kapan
pemberontakan dalam tubuh Partai Nasional itu dimulai. "Waktu
itu," katanya, "Blanche, Groenewald dan saya sendiri kebetulan
menghadiri sebuah ceramah di Rand Afrikaans University.
Berbicara pada ceramah itu ahli sejarah F.A. Van Jaarsveld. Van
Jaarsveld berspekulasi: kaum Afrikaner adalah bangsa pilihan."
Nah. Blanche dan Groenwald terbakar.
Namun ketakutan pada pecahnya partai sebenarnya belum lagi
beralasan. Ketika ditanya Groenewald sendiri menjelaskan,
anggotanya tidak melepaskan keanggotaan Partai Nasional, dan
akan berjuang lewat partai itu-sampai tahap ini.
Orang-orang partai sendiri sering menyebut mereka itu "parasit"
yang merusakkan kesatuan. Namun karena jumlahnya besar, partai
tak sembarangan mengambil tindakan. "Biar mereka sadar sendiri,
ada perbedaan fundamental antara prinsip partai dan prinsip
Blanche," alasannya.
Dengan kata lain komposisi ras Eropa, lengkap dengan
pengkotak-kotakan politiknya, belum akan berubah. Juga pembagian
lapisan-lapisan penduduknya yang bedebah itu. Hidup tuantuan
putih !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini