GEMERETAK api melalap gubuk-gubuk, menerangi langit pedesaan di
Uttar Pradesh, India -- awal September lalu. Perempuan-perempuan
menangis. Tubuh mereka ngilu remuk-redam, membekas bilur-bilur
akibat perkosaan. Sumur-sumur mereka tutup, sebab airnya
diracuni. Itulah yang terjadi bila kaum Harijan mencoba menolak
sisa-sisa makanan orang-orang berkasta di atas mereka.
Peristiwa ini hanyalah satu dari 6.000 kasus kejahatan yang
menimpa kaum Harijan dalam tahun ini saja. Sedang selama tahun
kemarin, menurut Menteri Muda Urusan Dalam Negeri India,
Yogendra Makwana, terdapat 13.745 kasus besar-kecil di seluruh
tanah air. Silakan hitung berapa kali rata-rata per hari.
Padahal, tanpa berbagai kekejaman itu pun, jalur nasib yang
harus dijalani kalangan Harijan sudah cukup berduri. Kaum
laki-laki mereka bekerja sebagai buruh tani musiman yang tak
punya ladang sendiri--menganggur, bila tak ada garapan. Sebagian
bekerja sebagai tukang sampah. Lebih dari itu demi
mempertahankan hidup, orang tua Harijan sering menjadikan
putri-putri mereka devadasi -pelacur yang "disahkan para dewa",
Usaha sosial pemerintah dalam kenyataan tak mengubah nasib
mereka. Juga dari pihak swasta--kecuali misalnya Bunda Teresa
yang mendapat Hadiah Nobel itu, yang hidup di tengah para jelata
dan sekaligus muncul sebagai sebuah lambang. Sedang kasta-kasta
tinggi hanya berbaik hati jika ada pemilu.
Nama Harijan, untuk lapisan terbawah yan sebelumnya bernama
paria itu, diberikan oleh Mahatma Gandhi. Artinya: 'anak Tuhan'.
Pejuang kemanusiaan yang luhur itu memang selalu menghimbau
bangsa India untuk memberi kedudukan yang layak kepada bagian
penduduk yang (bukan dari kasta terendah, tetapi) tak punya
kasta itu. Tetapi himbauan moral memang selalu terdengar lebih
indah dan harum daripada efektif--tanpa perangkat ajaran ataupun
pelaksanaan yang konkrit. Tradisi keagamaan Hindu, dengan
pembagibagian kastanya, jauh lebih teguh dan angker.
Di desa-desa, kaum Harijan berdiam hanya di pinggir-pinggir,
Bahkan tak akan berani mengambil air dari sumur umum yang
tersedia buat kasta-kasta atas. Pernah di Desa Salem, Negara
bagian Tamil Nadu, seorang gadis kecil menimba dari sumur milik
penduduk Sudra, kasta terbawah. Begitu ketahuan, anak mungil
yang ditakdirkan tak berkasta ini dibunuh. Bangkainya dimasukkan
ke dalam sumur. Masuk akal ataupun tidak, rakyat setempat
melaporkan gadis kecil itu bunuh diri--dan persoalan selesai.
Memang, dari kaum Harijan ada nama-nama besar. Misalnya mendiang
Dr. B.R. Ambedkar, salah seorang penyusun konstitusi India. Juga
Jagjivan Ram, wakil perdana menteri di masa Morarji Desai tempo
hari. Ada juga orang-orang kaya. Hanya saja, seperti diceritakan
Munsamy Jothilinggam, seorang hartawan Harijan, perlakuan
masyarakat tetap berbeda. Banyak orang berkasta yang datang
kepadanya untuk minta bantuan. Tapi mereka takkan mau bila
diajak makan bersama," tuturnya.
BAHKAN perlakuan menyedihkan juga dialami anaknya di sekolah.
"Anak saya selalu diejek anak-anak kasta atas," ujarnya. Anak
itu naik becak ke sekolah selalu sendirian--tak seorang temannya
mau ikut duduk bersama dia, juga walaupun tak usah bayar. Ia
belajar di sekolah Kristen .
Karena itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan, bila
akhir-akhir ini dikabarkan banyak orang Harijan yang masuk
Islam--agama yang menentang pembeda-bedaan manusta itu. Entah
dari mana mulainya, tapi diketahui misalnya bulan Februari lalu
1.300 orang di Meenakshipuram serentak mengucapkan kalimah
syahadat.
Dan dari Tamil Nadu itu, "api Islam" merembet ke utara,
menjamahnegara bagian demi negara bagian. Hingga pada akhir
Agustus sampai di Uttar Pradesh. Dan, karena sudah Islam,
rakyatdi sini lantas menolak untuk menghabiskan sisa-sisa
makanan yang diberikan kaum berkasta--dari sebuah kenduri,
misalnya--seperti yang secara turun-temurun dipraktekkan.
Karena itulah tuan-tuan yang berdarah mulia itu perlu "memberi
pelajaran". Terjadilah kebiadaban itu: pembakaran, penganiayaan,
kekejian tak tanggung-tanggung. Warga dusun-dusun Hindu, polisi,
hansip angkatan muda, ramai-ramai menangkap dan "menyantap"
perempuan bagai binatang. Kening dicorengkan dengan sendirinya
ke wajah Perdana Menteri Indira Gandhi.
Di pihak lain tersiar berita: jumlah Harijan yang berpindah
agama itu 25.000 orang sudah. Sebagian terbesar dari mereka lari
ke Islam, tapi banyak juga yang ke Budha, dan bagian lebih kecil
ke agama Kristen. Malah, sebuah laporan dari Tamil Nadu
menyebut: semua yang "murtad" sudah sekitar 100.000. Mereka
berasal dari 500 distrik. Lantas Jothilinggam, orang kaya
Harijan yang disebut tadi, menuturkan bahwa kaumnya yang berada
di Villupuran, 160 km selatan Madras, plus di 360 pemukiman
lain, akan masuk Islam. Terakhir organisasi Harijan yang bernama
Ramdas Athyal memperingatkan: 100 ribu warganya akan berpindah
agama bila kekejaman tidak dihentikan.
Yang menarik sebenarnya ialah: kekejaman terhadap kaum Harijan
toh sudah dari zaman kuno-makuno. Mengapa tidak dari dulu-dulu
mereka pindah agama?
Dan di situlah berbagai pihak resmi pemerintahan India, bagai
ditampar, pada bangkit. Pemerintah Daerah Tamil Nadu, melalui
Direktur Kesejahteraan Harijan, datang memeriksa apakah ada
"unsur pemaksaan atau penyogokan".
Sekjen I Kongres, Moopanar, menghimbau partai-partai politik
agar "mengembalikan keyakinan kaum Harijan" agar alih agama tak
berlanjut.
Menteri Dalam Negeri sendiri berangkat ke Meenakshipuram untuk
mengatur tenaga kepolisian guna "melindungi kaum Harijan dari
teror kasta yang lebih tinggi". Pusat Kesatuan Hindu pun
mengadakan pesta besar-besaran. Acaranya: merayakan kembalinya
50 orang Islam Harijan menjadi Hindu. Lalu isu-isu terdengar:
dana asing dan taktik politik negara Arab mendalangi "peristiwa
Meenakshipuram ". Itulah sebabnya mereka pada menjadi Islam.
Syed Shahabuddin, anggota Parlemen, lantas memprotes reaksi
besarbesaran pemerintah itu--di Koran Hindustan Times, 13
Agustus. Ditunjukkannya kenyataan sejarah: alih agama di India
sebenarnya bukan barang baru, dan toh sama sekali tidak berten
tangan dengan preambul Undang-undang Dasar.
Tapi golongan sekularis kanan menuding: "Kami tidak anti
perpindahan atau anti-Islam. Kami hanya menentang pembujukan
pengaruh dan bantuan uang." Sebab, memang ada suara-suara yang
berbisik bahwa orang yang mengubah agamanya akan diberi 500
rupee--sekitar Rp 40.000. Hasil penyelidikan Pemda Tamil Nadu
sendiri, seperti dituturkan Direktur Kesejahteraan kaum Harijan,
menyebut memang benar ada sumbangan dari negara asing.
Tapi "bukan untuk penyuapan," bantah Syed Shahabuddin.
"Melainkan untuk membangun sarana-sarana seperti masjid atau
madrasah." Dari penyelidikan itu sendiri diketahui, unsur
pemaksaan dan penyogokan terbukti tidak ada. Celakanya beberapa
pemuda yang pindah agama sudah ditangkapi dengan tuduhan "anti
nasionalis".
Memang kurang masuk akal, rasanya, bila pihak Islam sampai mampu
menyogok orang--juga meski ada sumbangan dari negeri Arab kaya,
yang biasanya tidak begitu besar-tanpa organisasi da'wah yang
rapi, seperti yang terlihat di mana-mana. Hanya, memang ada
berita tentang Jamaat-i-Islami Hind. Dalam kongresnya yang ke-6
di Heiderabad, konon perkumpulan ini mencanangkan pengislaman
orang India dalam 10 tahun mendatang: penambahan jumlah 80 juta
menjadi 200 juta muslimin. (Penduduk India sekitar 650 juta).
ITU memang mengingatkan pada "info" mengenai "kesepakatan"
kalangan Nasran di Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru-yang
konon dalam satu keputusan entah apa di Malang, berikrar
mengkristenkan Tanah Jawa dalam 10 tahun dan seluruh tanah air
dalam 50 tahun. Kok begitu gampang. Isu-isu begini memang bisa
memuaskan emosi.
Tapi bila Seyd Syahabuddin menyebut-nyebut UUD dan 'tidak
anehnya' perpindahan agama sepanjang sejarah India, serangan pun
datang dari lawannya. Malah Dr. Bhai Mahavir, yang juga anggota
Parlemen itu, membandingkan riwayat Islam di India dengan di
Indonesia. "Di India, Islam datang dengan pedang," katanya.
Sedang di Indonesia, Islam tidak datang sebagai penguasa. "
Ia bicara tentang penaklukan bangsa Mughal, yang kemudian
mendirikan berbagai dinasti yang megah-mewah dan mewarnai
khasanah India dengan berbagai peninggalan sejarahnya yang
monumental. Sebuah penaklukan politik--dan bukan penyebaran
agama, sebenarnya.
Namun pergaulan Hindu-Muslim di India memang salah satu contoh
hubungan antaragama yang runyam. Pemisahan Pakistan dari India,
misalnya, merupakan penyelesaian yang oleh pihak India lazim
dikenang dengan pahit. Sikap India tempo hari yang
terang-terangan mendukung pemisahan Bangladesh dari Pakistan,
juga menunjukkan luka lama itu.
Perbedaan sosio-kultural--juga rasial--antara yang Hindu dan
yang Isam rupanya begitu besar. Dr. Mahavir dalam serangannya
itu menunjukkan satu contoh--lagi-lagi dengan perbandingan
dengan Indonesia. "Di Indonesia," katanya, "seorang muslim bisa
saja bernama Sita, Saraswati, atau Laksmi. Prianya pun bisa
bernama Suharto atau Sukarno. Mereka boleh menonton
Ramayana--pertunjukannya diadakan terus-menerus sepanjang tahun!
Tapi di negeri kita? . . .
Bahkan kini, kasus Harijan itu dikhawatirkan bisa pula
mencetuskan kembali clash Hindu-Islam itu. Setidak-tidaknya
seperti terlihat di Hamanoor, Distrik Ramnad, kaum Harijan yang
baru memeluk Islam dilarang masuk masjid. Alasan: kaum muslimin
tak mau menanggung risiko bentrok dengan kasta-kasta Hindu yang
kuat di situ.
Menurut sejarahnya, kaum Harijan, "putra-putri dewata" ini,
sudah ada di India sejak masuknya bangsa Arya 3.500 tahun yang
lalu. Mereka adalah sampah alias "sisa-sisa manusia" yang oleh
masyarakat Hindu tidak dianggap cukup layak untuk dimasukkan ke
dalam empat kasta: ulama, bangsawan, pedagang dan petani. Mereka
inilah kaum yang tak boleh disentuh.
Sekarang, setiap senja tiba, di kuilkuil pedesaan nampak
wanita-wanita tua. Tepekur di halaman, ditemani bayang-bayang
maghrib yang memanjang. "Saya masih sangat kecil ketika dikirim
ke kuil ini untuk menjadi devadasi," kata seorang di antara
mereka, yang bersila di depan kuil Gonnagara, Ramdurg Taluk.
Nenek 60 tahun ini menolak menyebut namanya. Tapi ia mengaku
punya seorang putri, yang juga terpaksa menjadi devadasi.
Sebelas dari 19 keluarga di desa itu, di Distrik Belgaum, punya
anak yang menjadi devadasi. "Sejak kecil. Bahkan sejak dalam
kandungan, anak perempuan Harijan telah dipilih untuk menjadi
hamba dewa-dewi," katanya. Orang tua yang tak punya anak
laki-laki biasanya segera mengambil keputusan itu. Sebab dengan
menjadikan anaknya "hamba dewa", ia tidak akan kehilangan.
Sedang si anak perempuan sendiri tak perlu bergantung pada orang
tua yang reot ataupun lelaki yang gombal.
Para devadasi dilarang kawin seumur hidup. Dan dengan sendirinya
dapat menikmati segala keuntungan materi hasil dari jabatannya,
yang tidak lain adalah pelacur resmi dengan kedok agama. Dulu
tugas mereka sebenarnya hanya menjaga kuil, menari atau
menyiapkan upacara.
TAPI lambat laun, dengan dalih bahwa raja adalah penjelmaan
dewata, devadasi pun harus melayaninya dengan tubuh. Dari sini
berlanjut kepada para bangsawan, menteri, dirjen alias kalangan
keraton, orang-orang kaya, dan akhirnya devadasi praktis menjadi
pelacur komersial.
Calon devadasi, yang biasanya berusia 3 sampai 7 tahun,
mula-mula dikirim ke kuil Yemalla untuk dimandikan dan
"disucikan ". Pendeta kemudian mengecap lengan gadis cilik itu
dengan besi panas--sebelum dikalungi dengan lima manik yang
telah diberkahi. Setelah itu si gadis dibawa pulang, dan di
rumah diadakan upacara pengantin khayalan. Si gadis didudukkan
bersanding dengan sebuah pedang, dan disirami beras oleh
devadasi lain yang senior.
Setelah akil-baligh, ia lantas--biasanya--dibeli oleh
seorang patron. Umumnya dari kasta yang lebih tinggi dan kaya.
"Ongkos upacara penyucian" diganti, dan si patron boleh
menidurinya. Meski demikian cewek itu bukan miliknya penuh. Bila
sedang tidak "dipakai", ia boleh melayani langganan lain.
Ongkosnya sekitar 3 sampai 5 rupee. Berapa dalam rupiah? Sekitar
Rp 250 sampai Rp 400 setiap langganan.
Bila tidak ada yang membeli, orang tua mengirimkannya langsung
ke pusat pelacuran di kota-kota industri. Siang hari si gadis
bekerja keras sebagai buruh pabrik ini atau itu, malamnya
melayani langganan. Bila sudah penyot-penyot, mereka kembali ke
kuil untuk menjadi pelayan biasa. Orang-orang papa ini kemudian
disebut yogiti, yang mencari nafkah dengan jalan mengemis.
Toh, walaupun melakukan pekerjaan hina, devadasi dalam teorinya
dianggap berstatus lebih tinggi dari wanita miskin lain. Selalu
diundang ke upacara keagamaan oleh kalangan kasta. Tugasnya
membantu upacara dan menghabiskan sisa-sisa makanan. Orang tua
pun lantas ikut naik gengsinya.
Kalangan kasta umumnya mendukung praktek persundelan religius
ini --tak peduli ada gerakan emansipasi wanita yan keren dan
wangi itu. Sebab dengan cara demikian pria-pria kasta punya
jalan sah untuk mengisap tubuh gadis-gadis cantik Harijan. Tanpa
itu, menurut ajaran Hindu kalangan yang lebih tinggi memang bisa
ternoda kalau berhubungan dengan lapisan di bawah.
Dengan sistem ini pula lapisan yang lebih tinggi mendapat hak
untuk terus menekan kaum Harijan. Sebaliknya para Harijan yang
taat, karena "kebijaksanaan" itu disahkan agama, jadi merasa
berbakti kepada para dewata.
Pemerintah India sebenarnya malu oleh fi'il seperti itu. Toh,
walau sudah dilarang, upacara penyucian dijalankan terus
sembunyi-sembunyi. Sejak 1956 India telah mengeluarkan
undang-undang yang mengatur erkawinan, perceraian dan cuti
hamil--di samping menggalakkan pendidikan dengan maksud mencegah
eksploatasi terhadap wanita. Tetapi langkah ini hanya dinikmati
kaum femina kalangan menengah dan atas--dan bukan lapisan kerak
gombal yang kebanyakan buta huruf.
ANGKA kematian wanita pun, di India dicatat makin memburuk dari
tahun ke tahun. Antara 1976 hingga 1981, rata-rata umur wanita
di sana cukup 53,2 tahun. Kematian bayi wanita amat tinggi--30
sampai 60% di atas angka kematian bayi laki-laki, yang
dikabarkan lebih diutamakan perawatannya.
Jumlah kaum Harijan sendiri kira-kira 12% penduduk India. Kaum
muslimin tercatat sekitar 15%. Tak bisa dipastikan, meski
begitu, benarkah angka yang kedua itu akan menggembung secara
berarti, sementara angka pertama mengecil--sebab Harijan yang
sudah memeluk Islam atau yang lain memang bukan Harijan lagi.
Dilihat dalam skala besar, "pergolakan" di perut India itu
mungkin hanya lebih sedikit dari gelombang sewaktu-waktu. Meski
zaman kelihatannya mulai lebih jelas menyadarkan lapisan yang
dianggap gerombolan anjing itu, bahwa para dewa sebenarnya sudah
lama meninggalkan mereka. Dan kini giliran mereka pergi dari
halaman kuil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini