Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang ditinggalkan para dewata

Nasib kaum harijan (tak berkasta) di india, mereka mendapat perlakuan tidak wajar dari gol berkasta, orang tua harijan sering menjadikan anak-anak mereka sebagai devadasi (palacur) yang disahkan dewa. (sel)

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMERETAK api melalap gubuk-gubuk, menerangi langit pedesaan di Uttar Pradesh, India -- awal September lalu. Perempuan-perempuan menangis. Tubuh mereka ngilu remuk-redam, membekas bilur-bilur akibat perkosaan. Sumur-sumur mereka tutup, sebab airnya diracuni. Itulah yang terjadi bila kaum Harijan mencoba menolak sisa-sisa makanan orang-orang berkasta di atas mereka. Peristiwa ini hanyalah satu dari 6.000 kasus kejahatan yang menimpa kaum Harijan dalam tahun ini saja. Sedang selama tahun kemarin, menurut Menteri Muda Urusan Dalam Negeri India, Yogendra Makwana, terdapat 13.745 kasus besar-kecil di seluruh tanah air. Silakan hitung berapa kali rata-rata per hari. Padahal, tanpa berbagai kekejaman itu pun, jalur nasib yang harus dijalani kalangan Harijan sudah cukup berduri. Kaum laki-laki mereka bekerja sebagai buruh tani musiman yang tak punya ladang sendiri--menganggur, bila tak ada garapan. Sebagian bekerja sebagai tukang sampah. Lebih dari itu demi mempertahankan hidup, orang tua Harijan sering menjadikan putri-putri mereka devadasi -pelacur yang "disahkan para dewa", Usaha sosial pemerintah dalam kenyataan tak mengubah nasib mereka. Juga dari pihak swasta--kecuali misalnya Bunda Teresa yang mendapat Hadiah Nobel itu, yang hidup di tengah para jelata dan sekaligus muncul sebagai sebuah lambang. Sedang kasta-kasta tinggi hanya berbaik hati jika ada pemilu. Nama Harijan, untuk lapisan terbawah yan sebelumnya bernama paria itu, diberikan oleh Mahatma Gandhi. Artinya: 'anak Tuhan'. Pejuang kemanusiaan yang luhur itu memang selalu menghimbau bangsa India untuk memberi kedudukan yang layak kepada bagian penduduk yang (bukan dari kasta terendah, tetapi) tak punya kasta itu. Tetapi himbauan moral memang selalu terdengar lebih indah dan harum daripada efektif--tanpa perangkat ajaran ataupun pelaksanaan yang konkrit. Tradisi keagamaan Hindu, dengan pembagibagian kastanya, jauh lebih teguh dan angker. Di desa-desa, kaum Harijan berdiam hanya di pinggir-pinggir, Bahkan tak akan berani mengambil air dari sumur umum yang tersedia buat kasta-kasta atas. Pernah di Desa Salem, Negara bagian Tamil Nadu, seorang gadis kecil menimba dari sumur milik penduduk Sudra, kasta terbawah. Begitu ketahuan, anak mungil yang ditakdirkan tak berkasta ini dibunuh. Bangkainya dimasukkan ke dalam sumur. Masuk akal ataupun tidak, rakyat setempat melaporkan gadis kecil itu bunuh diri--dan persoalan selesai. Memang, dari kaum Harijan ada nama-nama besar. Misalnya mendiang Dr. B.R. Ambedkar, salah seorang penyusun konstitusi India. Juga Jagjivan Ram, wakil perdana menteri di masa Morarji Desai tempo hari. Ada juga orang-orang kaya. Hanya saja, seperti diceritakan Munsamy Jothilinggam, seorang hartawan Harijan, perlakuan masyarakat tetap berbeda. Banyak orang berkasta yang datang kepadanya untuk minta bantuan. Tapi mereka takkan mau bila diajak makan bersama," tuturnya. BAHKAN perlakuan menyedihkan juga dialami anaknya di sekolah. "Anak saya selalu diejek anak-anak kasta atas," ujarnya. Anak itu naik becak ke sekolah selalu sendirian--tak seorang temannya mau ikut duduk bersama dia, juga walaupun tak usah bayar. Ia belajar di sekolah Kristen . Karena itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan, bila akhir-akhir ini dikabarkan banyak orang Harijan yang masuk Islam--agama yang menentang pembeda-bedaan manusta itu. Entah dari mana mulainya, tapi diketahui misalnya bulan Februari lalu 1.300 orang di Meenakshipuram serentak mengucapkan kalimah syahadat. Dan dari Tamil Nadu itu, "api Islam" merembet ke utara, menjamahnegara bagian demi negara bagian. Hingga pada akhir Agustus sampai di Uttar Pradesh. Dan, karena sudah Islam, rakyatdi sini lantas menolak untuk menghabiskan sisa-sisa makanan yang diberikan kaum berkasta--dari sebuah kenduri, misalnya--seperti yang secara turun-temurun dipraktekkan. Karena itulah tuan-tuan yang berdarah mulia itu perlu "memberi pelajaran". Terjadilah kebiadaban itu: pembakaran, penganiayaan, kekejian tak tanggung-tanggung. Warga dusun-dusun Hindu, polisi, hansip angkatan muda, ramai-ramai menangkap dan "menyantap" perempuan bagai binatang. Kening dicorengkan dengan sendirinya ke wajah Perdana Menteri Indira Gandhi. Di pihak lain tersiar berita: jumlah Harijan yang berpindah agama itu 25.000 orang sudah. Sebagian terbesar dari mereka lari ke Islam, tapi banyak juga yang ke Budha, dan bagian lebih kecil ke agama Kristen. Malah, sebuah laporan dari Tamil Nadu menyebut: semua yang "murtad" sudah sekitar 100.000. Mereka berasal dari 500 distrik. Lantas Jothilinggam, orang kaya Harijan yang disebut tadi, menuturkan bahwa kaumnya yang berada di Villupuran, 160 km selatan Madras, plus di 360 pemukiman lain, akan masuk Islam. Terakhir organisasi Harijan yang bernama Ramdas Athyal memperingatkan: 100 ribu warganya akan berpindah agama bila kekejaman tidak dihentikan. Yang menarik sebenarnya ialah: kekejaman terhadap kaum Harijan toh sudah dari zaman kuno-makuno. Mengapa tidak dari dulu-dulu mereka pindah agama? Dan di situlah berbagai pihak resmi pemerintahan India, bagai ditampar, pada bangkit. Pemerintah Daerah Tamil Nadu, melalui Direktur Kesejahteraan Harijan, datang memeriksa apakah ada "unsur pemaksaan atau penyogokan". Sekjen I Kongres, Moopanar, menghimbau partai-partai politik agar "mengembalikan keyakinan kaum Harijan" agar alih agama tak berlanjut. Menteri Dalam Negeri sendiri berangkat ke Meenakshipuram untuk mengatur tenaga kepolisian guna "melindungi kaum Harijan dari teror kasta yang lebih tinggi". Pusat Kesatuan Hindu pun mengadakan pesta besar-besaran. Acaranya: merayakan kembalinya 50 orang Islam Harijan menjadi Hindu. Lalu isu-isu terdengar: dana asing dan taktik politik negara Arab mendalangi "peristiwa Meenakshipuram ". Itulah sebabnya mereka pada menjadi Islam. Syed Shahabuddin, anggota Parlemen, lantas memprotes reaksi besarbesaran pemerintah itu--di Koran Hindustan Times, 13 Agustus. Ditunjukkannya kenyataan sejarah: alih agama di India sebenarnya bukan barang baru, dan toh sama sekali tidak berten tangan dengan preambul Undang-undang Dasar. Tapi golongan sekularis kanan menuding: "Kami tidak anti perpindahan atau anti-Islam. Kami hanya menentang pembujukan pengaruh dan bantuan uang." Sebab, memang ada suara-suara yang berbisik bahwa orang yang mengubah agamanya akan diberi 500 rupee--sekitar Rp 40.000. Hasil penyelidikan Pemda Tamil Nadu sendiri, seperti dituturkan Direktur Kesejahteraan kaum Harijan, menyebut memang benar ada sumbangan dari negara asing. Tapi "bukan untuk penyuapan," bantah Syed Shahabuddin. "Melainkan untuk membangun sarana-sarana seperti masjid atau madrasah." Dari penyelidikan itu sendiri diketahui, unsur pemaksaan dan penyogokan terbukti tidak ada. Celakanya beberapa pemuda yang pindah agama sudah ditangkapi dengan tuduhan "anti nasionalis". Memang kurang masuk akal, rasanya, bila pihak Islam sampai mampu menyogok orang--juga meski ada sumbangan dari negeri Arab kaya, yang biasanya tidak begitu besar-tanpa organisasi da'wah yang rapi, seperti yang terlihat di mana-mana. Hanya, memang ada berita tentang Jamaat-i-Islami Hind. Dalam kongresnya yang ke-6 di Heiderabad, konon perkumpulan ini mencanangkan pengislaman orang India dalam 10 tahun mendatang: penambahan jumlah 80 juta menjadi 200 juta muslimin. (Penduduk India sekitar 650 juta). ITU memang mengingatkan pada "info" mengenai "kesepakatan" kalangan Nasran di Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru-yang konon dalam satu keputusan entah apa di Malang, berikrar mengkristenkan Tanah Jawa dalam 10 tahun dan seluruh tanah air dalam 50 tahun. Kok begitu gampang. Isu-isu begini memang bisa memuaskan emosi. Tapi bila Seyd Syahabuddin menyebut-nyebut UUD dan 'tidak anehnya' perpindahan agama sepanjang sejarah India, serangan pun datang dari lawannya. Malah Dr. Bhai Mahavir, yang juga anggota Parlemen itu, membandingkan riwayat Islam di India dengan di Indonesia. "Di India, Islam datang dengan pedang," katanya. Sedang di Indonesia, Islam tidak datang sebagai penguasa. " Ia bicara tentang penaklukan bangsa Mughal, yang kemudian mendirikan berbagai dinasti yang megah-mewah dan mewarnai khasanah India dengan berbagai peninggalan sejarahnya yang monumental. Sebuah penaklukan politik--dan bukan penyebaran agama, sebenarnya. Namun pergaulan Hindu-Muslim di India memang salah satu contoh hubungan antaragama yang runyam. Pemisahan Pakistan dari India, misalnya, merupakan penyelesaian yang oleh pihak India lazim dikenang dengan pahit. Sikap India tempo hari yang terang-terangan mendukung pemisahan Bangladesh dari Pakistan, juga menunjukkan luka lama itu. Perbedaan sosio-kultural--juga rasial--antara yang Hindu dan yang Isam rupanya begitu besar. Dr. Mahavir dalam serangannya itu menunjukkan satu contoh--lagi-lagi dengan perbandingan dengan Indonesia. "Di Indonesia," katanya, "seorang muslim bisa saja bernama Sita, Saraswati, atau Laksmi. Prianya pun bisa bernama Suharto atau Sukarno. Mereka boleh menonton Ramayana--pertunjukannya diadakan terus-menerus sepanjang tahun! Tapi di negeri kita? . . . Bahkan kini, kasus Harijan itu dikhawatirkan bisa pula mencetuskan kembali clash Hindu-Islam itu. Setidak-tidaknya seperti terlihat di Hamanoor, Distrik Ramnad, kaum Harijan yang baru memeluk Islam dilarang masuk masjid. Alasan: kaum muslimin tak mau menanggung risiko bentrok dengan kasta-kasta Hindu yang kuat di situ. Menurut sejarahnya, kaum Harijan, "putra-putri dewata" ini, sudah ada di India sejak masuknya bangsa Arya 3.500 tahun yang lalu. Mereka adalah sampah alias "sisa-sisa manusia" yang oleh masyarakat Hindu tidak dianggap cukup layak untuk dimasukkan ke dalam empat kasta: ulama, bangsawan, pedagang dan petani. Mereka inilah kaum yang tak boleh disentuh. Sekarang, setiap senja tiba, di kuilkuil pedesaan nampak wanita-wanita tua. Tepekur di halaman, ditemani bayang-bayang maghrib yang memanjang. "Saya masih sangat kecil ketika dikirim ke kuil ini untuk menjadi devadasi," kata seorang di antara mereka, yang bersila di depan kuil Gonnagara, Ramdurg Taluk. Nenek 60 tahun ini menolak menyebut namanya. Tapi ia mengaku punya seorang putri, yang juga terpaksa menjadi devadasi. Sebelas dari 19 keluarga di desa itu, di Distrik Belgaum, punya anak yang menjadi devadasi. "Sejak kecil. Bahkan sejak dalam kandungan, anak perempuan Harijan telah dipilih untuk menjadi hamba dewa-dewi," katanya. Orang tua yang tak punya anak laki-laki biasanya segera mengambil keputusan itu. Sebab dengan menjadikan anaknya "hamba dewa", ia tidak akan kehilangan. Sedang si anak perempuan sendiri tak perlu bergantung pada orang tua yang reot ataupun lelaki yang gombal. Para devadasi dilarang kawin seumur hidup. Dan dengan sendirinya dapat menikmati segala keuntungan materi hasil dari jabatannya, yang tidak lain adalah pelacur resmi dengan kedok agama. Dulu tugas mereka sebenarnya hanya menjaga kuil, menari atau menyiapkan upacara. TAPI lambat laun, dengan dalih bahwa raja adalah penjelmaan dewata, devadasi pun harus melayaninya dengan tubuh. Dari sini berlanjut kepada para bangsawan, menteri, dirjen alias kalangan keraton, orang-orang kaya, dan akhirnya devadasi praktis menjadi pelacur komersial. Calon devadasi, yang biasanya berusia 3 sampai 7 tahun, mula-mula dikirim ke kuil Yemalla untuk dimandikan dan "disucikan ". Pendeta kemudian mengecap lengan gadis cilik itu dengan besi panas--sebelum dikalungi dengan lima manik yang telah diberkahi. Setelah itu si gadis dibawa pulang, dan di rumah diadakan upacara pengantin khayalan. Si gadis didudukkan bersanding dengan sebuah pedang, dan disirami beras oleh devadasi lain yang senior. Setelah akil-baligh, ia lantas--biasanya--dibeli oleh seorang patron. Umumnya dari kasta yang lebih tinggi dan kaya. "Ongkos upacara penyucian" diganti, dan si patron boleh menidurinya. Meski demikian cewek itu bukan miliknya penuh. Bila sedang tidak "dipakai", ia boleh melayani langganan lain. Ongkosnya sekitar 3 sampai 5 rupee. Berapa dalam rupiah? Sekitar Rp 250 sampai Rp 400 setiap langganan. Bila tidak ada yang membeli, orang tua mengirimkannya langsung ke pusat pelacuran di kota-kota industri. Siang hari si gadis bekerja keras sebagai buruh pabrik ini atau itu, malamnya melayani langganan. Bila sudah penyot-penyot, mereka kembali ke kuil untuk menjadi pelayan biasa. Orang-orang papa ini kemudian disebut yogiti, yang mencari nafkah dengan jalan mengemis. Toh, walaupun melakukan pekerjaan hina, devadasi dalam teorinya dianggap berstatus lebih tinggi dari wanita miskin lain. Selalu diundang ke upacara keagamaan oleh kalangan kasta. Tugasnya membantu upacara dan menghabiskan sisa-sisa makanan. Orang tua pun lantas ikut naik gengsinya. Kalangan kasta umumnya mendukung praktek persundelan religius ini --tak peduli ada gerakan emansipasi wanita yan keren dan wangi itu. Sebab dengan cara demikian pria-pria kasta punya jalan sah untuk mengisap tubuh gadis-gadis cantik Harijan. Tanpa itu, menurut ajaran Hindu kalangan yang lebih tinggi memang bisa ternoda kalau berhubungan dengan lapisan di bawah. Dengan sistem ini pula lapisan yang lebih tinggi mendapat hak untuk terus menekan kaum Harijan. Sebaliknya para Harijan yang taat, karena "kebijaksanaan" itu disahkan agama, jadi merasa berbakti kepada para dewata. Pemerintah India sebenarnya malu oleh fi'il seperti itu. Toh, walau sudah dilarang, upacara penyucian dijalankan terus sembunyi-sembunyi. Sejak 1956 India telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur erkawinan, perceraian dan cuti hamil--di samping menggalakkan pendidikan dengan maksud mencegah eksploatasi terhadap wanita. Tetapi langkah ini hanya dinikmati kaum femina kalangan menengah dan atas--dan bukan lapisan kerak gombal yang kebanyakan buta huruf. ANGKA kematian wanita pun, di India dicatat makin memburuk dari tahun ke tahun. Antara 1976 hingga 1981, rata-rata umur wanita di sana cukup 53,2 tahun. Kematian bayi wanita amat tinggi--30 sampai 60% di atas angka kematian bayi laki-laki, yang dikabarkan lebih diutamakan perawatannya. Jumlah kaum Harijan sendiri kira-kira 12% penduduk India. Kaum muslimin tercatat sekitar 15%. Tak bisa dipastikan, meski begitu, benarkah angka yang kedua itu akan menggembung secara berarti, sementara angka pertama mengecil--sebab Harijan yang sudah memeluk Islam atau yang lain memang bukan Harijan lagi. Dilihat dalam skala besar, "pergolakan" di perut India itu mungkin hanya lebih sedikit dari gelombang sewaktu-waktu. Meski zaman kelihatannya mulai lebih jelas menyadarkan lapisan yang dianggap gerombolan anjing itu, bahwa para dewa sebenarnya sudah lama meninggalkan mereka. Dan kini giliran mereka pergi dari halaman kuil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus