Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gagalnya Penyegelan PDIP dan Izin Dewan Pengawas KPK

Izin dari Dewan Pengawas KPK dianggap menghambat penyelidikan perkara. Seperti ketika KPK akan menyegel PDIP.

12 Januari 2020 | 11.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, bersama penyidik menunjukkan barang bukti uang hasil Operasi Tangkap Tangan KPK Komisioner KPU RI, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020. Penyidik mengamankan barang bukti uang sebesar Rp.400 juta dalam bentuk dollar Singapura dalam OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kegagalan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor DPP PDIP merupakan salah satu dampak negatif revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam UU KPK terbaru yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, penggeledahan harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. "Itu semakin menegaskan bahwa revisi UU KPK memperlemah kerja KPK," kata Donal saat dihubungi pada Ahad, 12 Januari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Donal mengatakan, penindakan korupsi akan semakin berbelit-belit jika harus menunggu izin dewan pengawas. Sehingga bisa memberikan dampak buruk dalam pengumpulan barang bukti. 

KPK berencana menyegel salah satu ruangan di DPP PDIP pada Kamis, 9 Januari 2020. Penyegelan ini terkait rangkaian operasi tangkap tangan yang menyeret mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Wahyu diduga menerima suap dari calon legislatif PDIP asal Sumatera Selatan Harun Masiku untuk meloloskannya menjadi anggota DPR lewat jalur pergantian antar waktu (PAW).

Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 11 Desember 2020 bertajuk "Di Bawah Lindungan Tirtayasa", pangkal kasus ini bermula ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memerintahkan tim hukum partai banteng dengan memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada Juni 2019.

Mereka menggugat materi Pasal 54 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara berkaitan dengan meninggalnya calon legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Nazaruddin Kiemas. 

Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 54. Inti putusan itu, mahkamah menyerahkan suara calon legislatif yang meninggal ke partai. Atas kemenangan gugatan tersebut, Harun diduga memberi uang ke Donny sejumlah Rp 100 juta.

PDIP kemudian menggelar rapat pleno dan terpilihlah Harun sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Padahal, Harun berada di urutan kelima. Sedangkan urutan kedua yang berhak mewarisi kursi parlemen almarhum Nazaruddin adalah Riezky Aprilia.

KPU menggelar pleno untuk menetapkan calon legislatif terpilih periode 2019-2024 itu pada 31 Agustus. Bukan Harun sebagaimana surat rekomendasi dari PDI Perjuangan, KPU malah menetapkan Riezky yang berhak duduk di kursi parlemen.

Tak terima dengan keputusan KPU, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa Mahkamah Agung. Pada 23 September, partai banteng mengirim surat lagi ke KPU yang berisi mengenai penetapan calon legislatif yang meninggal merupakan kewenangan partai politik. “Kami tiga kali menerima surat dari PDI Perjuangan," ujar Ketua KPU Arief Budiman.

Masih dikutip dari Majalah Tempo, tak hanya jalur resmi melalui surat, Hasto diduga memerintahkan salah satu stafnya, Saeful Bahri, untuk bermanuver melobi KPU. Saeful lantas menghubungi orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu. 

Saeful mengirim dokumen penetapan calon legislatif dan fatwa MA. Tio kemudian meneruskan dokumen itu ke Wahyu melalui pesan WhatsApp agar membantu proses penetapan Harun. Wahyu pun membalas pesan Tio, “siap mainkan.”

Belakangan, Wahyu meminta imbalan untuk operasional sebesar Rp 900 juta. “Saeful mengatakan ke Hasto bahwa butuh Rp 1,5 miliar untuk lobi KPU,” ujar penegak hukum yang mengetahui kasus ini. 

Hasto juga diduga tahu ada permintaan dari Tio kepada Saeful soal uang muka untuk lobi. “Hasto bilang siap menyediakan dana. Harun juga akan menyediakan dana karena dia caleg yang berkepentingan,” ujar tiga penegak hukum yang mengetahui proses ini.

Belakangan salah satu ajudan Hasto menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Donny di salah satu ruang DPP PDI Perjuangan pada 16 Desember 2019. Ajudan itu sembari menyampaikan, “Mas, ini perintah dari Sekjen untuk operasional Saeful Bahri.”

Hasto membantah terlibat dalam perkara ini. Ia menuturkan sejumlah informasi yang mengaitkan dirinya dengan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu cs ini sebagai pembingkaian alias framing. “Dengan berita ini menunjukkan adanya berbagai kepentingan untuk membuat framing,” kata Hasto di arena Rakernas I PDI Perjuangan di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Januari 2020.

Berbekal temuan itu lah KPK berencana menyegel salah satu ruangan di DPP PDIP. Namun, penyegelan ini gagal karena PDIP tak memberikan izin.

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan sebenarnya mempersilakan KPK menyegel DPP. "Kami menghormati proses hukum, tapi mereka tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat seperti surat tugas dan sebagainya," ujar Djarot.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar membantah keterangan Djarot. Ia mengatakan penyidik KPK sudah mengantongi surat. Toh, belakangan KPK menyatakan membutuhkan izin dewan pengawas untuk menyegel atau menggeledah PDIP.

Donal mengatakan izin dewan pengawas sudah terlambat. "Karena potensi barang bukti sudah berpindah atau bahkan hilang," kata dia.

Andita Rahma, Linda Trianita, Budiarti Utami Putri

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus