Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gajah Kuning di Jantung Riau

Pembalak liar beroperasi dalam kelompok kecil, izin angkutan bisa disewa. Gagal menyuap, muncul cerita penembak gelap.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGOLEK sungguh bukan pekerjaan gampang. Istilah ”kehutanan” Riau itu merujuk pada pekerjaan memindahkan batang per batang log seberat hampir setengah ton. Gelondongan kayu sepelukan dua orang dewasa itu lalu dinaikkan ke bantalan rel—dari kayu juga—yang merentang sepanjang 500 meter. Pemandangan inilah yang mudah ditemui di hutan Duri, Provinsi Riau.

Para penggolek hanya menunggu aba-aba Mahmud Saidan, 37 tahun, sang ”sahibul hajat”. Suaranya berat membelah hutan. Tiga orang bersiap mengungkit kayu, tiga lainnya menarik tali, dan satu orang memindahkan bantalan. ”Satu, dua, tigaaa…,” kayu gelondongan itu menggelinding beberapa detik, lalu berhenti. Begitu seterusnya sampai mencapai rel.

Ini log kelima yang mereka golek hari itu. Dua jam berlalu, dan sekarang kayu sudah di atas rel. Mahmud lega, meskipun masih tersisa sembilan log. Pekerjaan berikutnya adalah ”mengongkak” atau menggelindingkan log ke dalam truk. Ini jauh lebih mudah, karena kayu ditarik dengan gancu besi yang diikatkan di sebatang kayu sepanjang dua meter.

Tinggal menarik talinya, kayu pun menggelinding licin di atas rel. Setengah jam lagi kayu itu akan tersusun dalam bak mobil. Hari itu mereka lumayan sukses karena menggolek jenis kayu mahal: meranti, bintangur, meranti kunyit, dan kuranji. Apalagi lokasi hutan yang dibabat Mahmud ”and his gang” tak sulit dijangkau kendaraan bermotor.

Namanya Dusun Sontang, Rokan Hulu, sekitar 130 kilometer ke barat laut Pekanbaru, ibu kota provinsi. Dengan sepeda motor, lokasi itu bisa dicapai dalam lima jam. Sudah dua tahun kelompok Mahmud membabat hutan di Sontang, tapi mereka mengaku cuma pengangkut, bukan penebang. ”Kami makan gaji bulanan dari Pak Acong,” kata Ucok, seorang di antara mereka.

Acong—sebut sajalah begitu—merupakan satu dari dua cukong kayu paling besar di kawasan Duri. Jadi, tugas Ucok cuma menebang?

”Ha-ha-ha..., menebang sampai mengangkut itu satu paket,” kata Nimrot Tambunan, bekas pembalak liar, kepada Tempo. Di sekitar Libo dan Sontang sedikitnya ada tujuh lokasi pembalakan liar, empat di antaranya penuh kayu gelondongan yang baru ditebang beberapa hari lalu.

Beberapa ketua rombongan pekerja kayu yang ditemui Tempo mengakui dimodali Ahok dan Aan Mitra. Artinya, mereka diberi uang untuk bekal, dan nanti masih ada perhitungan setelah kayu sampai di pengilangan (sawmill). Sontang dan Libo seolah tak tersentuh polisi, karena 21 kilang kayu di sana tetap saja beroperasi.

Satu rombongan biasanya meliputi lima-tujuh orang. Satu hari menebang dengan gergaji mesin, mereka memperoleh rata-rata 4,5 meter kubik kayu per hari. Kayu tebangan itu kemudian dijual kepada Aan dan Acong. Meranti harganya paling tinggi, Rp 400 ribu-Rp 450 ribu per meter kubik. Setelah dipotong biaya makan, rokok, bahan bakar, dan lainnya, para pekerja itu rata-rata mengantongi Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu per hari.

Kayu jarahan itu diangkut ke berbagai daerah di Riau dan luar Riau. Dari keterangan dan cerita penduduk setempat, diketahui bahwa kayu asal Sontang sebagian juga dibawa ke Duri, atau Dumai, dan ke luar negeri. Kayu berdiameter lebih kecil, menurut cerita, diangkut ke pabrik kertas milik PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, dan PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) di Perawang.

Nazaruddin, dari bagian humas PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP), tentu menolak tegas tuduhan itu. IKPP, katanya, tak mungkin menerima kayu yang tak dilengkapi izin pengangkutan. Ia juga menyatakan perusahaannya tidak pernah menerima kayu dari dua toke dari Duri yang disebut Tempo. ”Silakan membuktikan jika ada kayu ilegal masuk ke IKPP,” katanya. Adapun Troy Pantow, Manajer Humas PT RAPP, menolak memberikan klarifikasi dengan alasan cerita itu tak jelas duduk soalnya dan tak jelas pula waktu kejadiannya.

Dua perusahaan raksasa itu juga dituding bekas penebang liar di kawasan Sima Langiang, Kampar Kiri Tengah, yang berbatasan dengan Taman Nasional Tesso Nilo, satu jam perjalanan dari Pekanbaru arah ke tenggara. Ibat Saputra—biasa dipanggil Kibat—yang malang-melintang menebangi hutan Riau, tak urung bersedia menceritakan kisahnya.

Pada pertengahan 1990-an, ia dan ratusan orang dimodali oleh beberapa cukong kayu untuk mengeruk habis semua kayu Riau. Dengan membentuk kelompok 7-8 orang, mereka bisa menghasilkan lebih dari 100 meter kubik sekali jalan. Dalam satu trip, selama hampir satu bulan, setiap orang cuma mengantongi tak lebih dari Rp 300 ribu—setelah dipotong sewa peralatan, beras, dan rokok.

Kibat meyakinkan Tempo, semua perusahaan pulp dan kertas di Riau pernah memakai kayunya. Meskipun, seperti kata Nazaruddin, tiap kayu diperiksa surat-suratnya, mereka tetap gampang masuk pabrik karena mengantongi surat angkut kayu bulat (SAKB) atau kayu olahan (SAKO). Dari mana asal surat ini? ”Gampang,” kata Kibat. ”Kami sewa dari pemegang izinnya.”

Maka, makin meranalah hutan Riau oleh pembukaan lahan kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk memasok pabrik pulp dan kertas. Beberapa izin pembukaan hutan diberikan di daerah terlarang, seperti kasus PT Gerbang Sawit Indah (GSI), yang membuka kebun kelapa sawit di lahan gambut berkedalaman lima meter.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, izin GSI menyalahi aturan. ”Gambut yang dalamnya tiga meter saja tak boleh dibuka,” kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Jhoni Setiawan Mundung. Tapi, ”Kami tidak tahu soal status lahan ini,” kata P. Marbun, yang mengaku manajer PT GSI. ”Yang jelas, kami punya izin.”

Adapun soal Sontang, Kepala Dinas Kehutanan Rokan Hulu, Asril Taman, menyatakan ”masih dalam proses penelitian”. Sebaliknya, pihak Kepolisian Daerah Riau mengaku terkejut menerima informasi masih maraknya penebangan di kawasan gambut Sontang. ”Setahu kami, penebangan di kawasan itu sudah berhenti total,” kata Kepala Bidang Humas Polda Riau, Ajun Komisaris Besar Polisi Zulkifly.

Kegigihan polisi untuk tetap menahan ribuan meter kubik kayu yang dibeli perusahaan pulp, dan menahan puluhan penebang liar serta pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Riau, rupanya membuat para pemilik kilang kayu belingsatan. Macam-macam cara ditempuh, sampai pada upaya ”miring”, misalnya penyuapan.

Jhoni Setiawan Mundung mengaku mendengar langsung dari Kapolda Riau, Brigadir Jenderal Sutjiptadi, ihwal upaya ”miring” itu. ”Pokoknya, Kapolda disodori Rp 23 miliar agar tak terlalu galak menangani pembalakan liar,” kata Jhoni. Penghulu desa adat Kuan, Kampar Hilir, Jafri, juga mendengar langsung dari Kapolda ihwal usaha penyuapan itu.

Gagal menyuap, beredarlah isu penembak gelap. Menurut ”laporan” tak jelas itu, sang penembak sudah menyeberang dari Malaysia, dan siap menghabisi Sutjiptadi. Mereka menyarankan Kapolda mengurangi aktivitas di luar ruangan. ”Bahkan, diisukan, Kapolda sudah diberi tahu jadwal dan penginapan si penembak,” kata Jhoni.

Polisi tentu tak menanggapi ”cerita detektif” murahan ini. Seorang sumber di Kepolisian Daerah Riau mengakui, suap dan ancaman memang ada. Ia mengaku pernah melihat beberapa pengusaha mencoba menemui Kapolda dengan uang penuh dalam beberapa koper, tetapi selalu ditolak. ”Soal ancaman, wajar saja kalau kami harus berhati-hati,” katanya.

Kini muncul modus baru: para pengusaha pulp, kertas, dan kelapa sawit mencaplok lahan yang sudah lama dimiliki masyarakat. Alasannya, mereka punya izin dari Departemen Kehutanan. Padahal, tanpa pengecekan batas-batasnya yang pasti—lengkap dengan koordinatnya—banyak orang mengaku tanah yang sama sebagai miliknya yang sah. ”Kalau dibiarkan, gajah kuning itu—sebutan untuk buldoser—akan menggusur dapur kami,” kata Kibat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus