Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH panggung itu berbanjar rapi di depan gugusan bakau di Kampung Tanah Merah Baru. Mentereng dibandingkan dengan kampung lain di Kabupaten Bintuni, Papua Barat. Luasnya bisa tiga kali rumah penduduk biasa yang berada di leher Pulau Papua ini. Pasaknya dari kayu besi kelas satu, atapnya genteng, berlistrik pula.
Tanah Merah Baru merupakan tempat pindahan massal warga wilayah Tanah Merah yang terkena proyek pengeboran gas alam cair, LNG Tangguh. Ada 112 keluarga yang mendiami lokasi baru itu, tiga kilometer dari kampung lama. Lokasi gubuk lama mereka sudah menjadi area perkantoran BP Migas, yang memiliki saham terbesar proyek. Sebagai gantinya, penduduk mendapat rumah baru yang harganya Rp 300 juta.
Semua warga Tanah Merah merupakan nelayan di Teluk Bintuni. Tadinya keturunan suku Simuni ini memiliki wilayah perburuan udang di sepanjang Teluk Bintuni bagian selatan. Tapi kini pipa besar melintang dengan penjagaan ketat patroli proyek. Sejumlah penduduk akhirnya lebih banyak luntang-lantung. ”Apa artinya rumah bagus kalau dapurnya tak berasap?” kata salah seorang penduduk kepada Tempo.
Penduduk Tanah Merah Baru juga tak bisa mencari ikan atau udang di lokasi terdekat. Kawasan pinggiran sudah menjadi lahan garapan marga lain dari Kampung Taroy. Kepala Kampung Taroy, Amin Bauw, mengatakan akan menjaga lahan sumber nafkahnya di Teluk.
Dia menyayangkan keputusan tetangganya menjual tanah. Menurut dia, rumah bagus dan baru tidak menjamin kelangsungan hidup anak-cucunya. ”Apakah nanti ada makanan atau kitorang (kami) kelaparan di rumah bagus itu?” kata Amin.
Kabupaten Bintuni menjadi sasaran proyek gas alam karena kekayaan perut buminya yang sangat besar. Hampir seluruh kawasan mengandung gas alam cair dengan perkiraan cadangan 23,7 triliun kaki kubik. Proyek gas alam Tangguh kemungkinan akan beroperasi pada 2009. Kabupaten hasil pemekaran Manokwari ini juga memiliki cadangan batu bara dan mika—bahan pembuatan kaca.
Itu baru dari perut bumi. Bintuni juga memiliki kekayaan alam seperti hutan dengan jenis kayu bernilai tinggi. Ada kayu merbau, metoa, nyatoh, pulai, mersawa, resak, medang, dan bintangur. Bintuni memiliki hutan sekitar 1,9 juta hektare. Tapi sebagian besar sudah jadi milik perusahaan pengelola kayu, seperti Hendrison Iriana, Agoda Rimba Iriana, Wukirasari, Yotefa Sarana Timber, TB Mina Agro Karya, Wana Irian Perkasa, dan Rimba Kayu Arthamas.
Serbuan berbagai perusahaan ke Bintuni membuat lahan hijau semakin tipis. Citra satelit 1993 memperlihatkan hutan yang masih rimbun. Tapi lihatlah gambar satelit 2005. ”Hutan masyarakat tinggal 19 persen,” kata Abdul Solichin dari Lembaga Swadaya Masyarakat Perdu Papua.
Kekayaan alam yang melimpah dengan penduduk miskin mudah didapati di hampir seluruh Papua. Dalam setiap penjualan kayu, misalnya jenis merbau, masyarakat selalu mendapat jatah kecil. Gubernur Barnabas Suebu sempat menyaksikan tumpukan kayu bulat di Shanghai, Cina, tiga tahun lalu.
Harga kayu jenis ini sekitar US$ 1.500 per meter kubik. Padahal dia tahu persis masyarakat Papua biasa menjual kayu yang sama paling tinggi US$ 10 per meter kubik. ”Ini namanya penipuan, pembodohan, dan pemiskinan,” kata Barnabas.
Pada 1998, Indonesia mengekspor 50 ribu meter kubik kayu merbau gelondongan. Pada 2001, angkanya meningkat menjadi 660 ribu meter kubik. Pemerintah akhirnya melarang peredaran kayu gelondongan, tapi penyelundupan jalan terus. Menurut penelitian Environmental Investigation Agency Inggris dan LSM Telapak, lebih dari 3,6 juta meter kubik kayu merbau ditebang dan diekspor setiap tahun. Tujuan utamanya adalah Cina.
Barnabas menyatakan akan memperketat larangan ekspor kayu gelondongan. Pengusaha nantinya wajib memiliki pabrik pengolahan kayu di Pulau Papua. Mereka juga harus memperhatikan pengembangan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Perusahaan yang mengabaikan ketentuan ini akan dicabut izinnya.
Selama ini, Papua selalu menjadi penyedia bahan baku. Perusahaan pengelola hutan di Papua mengirim kayu gelondongan menuju tempat pengolahan, seperti ke Surabaya atau Semarang. Barnabas mengatakan 68 perusahaan pengelola kayu di Papua belum memberikan kontribusi yang besar buat masyarakat.
Tanggung jawab lain perusahaan adalah menjaga aspek lingkungan. Pemerintah Papua akan meminta tebang pilih bagi setiap pengusaha kayu. Misalnya, dari izin 5.000 hektare, yang ditebang hanya 2.500 hektare. ”Jangan sampai seperti di Kalimantan,” kata Barnabas. ”Dulunya miskin dan hidup di atas pohon, kini tetap miskin dan hidup di bawah terik matahari.”
Kebijakan kehutanan akan dibahas di DPR Papua tahun depan. Barnabas mengatakan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tidak mencantumkan kehutanan sebagai bagian wewenang pemerintah pusat. Jadi Papua lebih mengacu pada undang-undang ini ketimbang Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
Penerapan Undang-Undang Otonomi itu mendapat sorotan dari Departemen Kehutanan. Menteri M.S. Kaban mengatakan konsep kehutanan nasional seharusnya melibatkan Departemen Kehutanan. ”Selama ini, pemekaran wilayah tidak pernah melibatkan kehutanan,” kata Kaban di sela acara program penanaman pohon Medco Foundation di Merauke.
Hutan Papua menjadi lahan sangat seksi bagi pengusaha. Apalagi pemerintah sudah mengidentifikasi ada sembilan juta hektare lahan di Papua yang bisa menjadi tanaman industri. Medco, yang selama ini berkubang dalam bidang pengeboran minyak, juga tak urung melirik.
Arifin Panigoro, pemilik usaha Medco Group, mengatakan akan membangun tanaman industri dan bubur kertas di Kabupaten Merauke. Wilayah perbatasan ini memiliki tanaman khas eukaliptus, pohon penghasil minyak kayu putih. ”Bisnis ini lebih pada tanggung jawab sosial perusahaan,” kata Arifin. ”Fokus Medco tetap ngebor.”
Untuk Barnabas, yang penting investor mengikuti aturan main. Papua memiliki 10,6 juta hektare hutan produksi. Tapi produksi kayu juga harus menjaga kelangsungan hutannya. Masih ada harapan hutan Papua tetap bertahan. ”Jangan sampai seperti suami yang menyesali dirinya karena tak sempat meminta maaf kepada istrinya,” ujar Barnabas.
Data Hutan Papua | |||
---|---|---|---|
Jenis Hutan | Provinsi Papua | Papua Barat | Total |
Hutan Lindung | 7.638.676 | 2.980.414 | 10.619.090 |
Hutan Konservasi | 7.070.346 | 2.633.954 | 9.704.300 |
Hutan Produksi | 8.354.283 | 2.230.927 | 10.585.210 |
Hutan Produksi Terbatas | 1.856.685 | 197.425 | 2.054.110 |
Hutan Konversi | 6.486.673 | 2.775.457 | 9.262.130 |
31.406.664 | 10.818.176 | 42.224.840 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo