Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan rakit berjejalan di Sungai Timbal. Ratusan kayu dengan panjang lima meter menumpuk di atasnya. Sampan-sampan harus antre untuk melewati sungai Timbal di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Mereka menunggu kapal yang akan membawa kayu-kayu itu ke Tawau, Malaysia.
Penduduk Desa Sebakis, Kecamatan Sebuku, kepada Tempo pada Senin dua pekan lalu, menyebut sungai Timbal sebagai ”gudang terapung” milik para tauke yang bermarkas di Malaysia. Tiga kapal datang setiap pekan, mengangkut 600 kubik kayu gelondongan untuk dibawa ke negeri tetangga yang berjarak ”sepelemparan batu”.
Inilah lokasi yang menjadi simpul jaringan perambah hutan di perbatasan Indonesia-Malaysia. Mereka membabat pohon yang berada di tepi Sungai Timbal menuju daerah hilir. Sekarang, kata Mulyadi, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Sebuku, ”hutan Sebuku tinggal 60 persen.” Angka ini lebih baik dari jumlah hutan tersisa di seluruh Pulau Nunukan yang cuma 20 persen. ”Sebagian beralih menjadi perkebunan kelapa sawit.”
Tak ada aksi pencegahan dari aparat berseragam terhadap para pembalak liar di Sebuku. ”Saya baru mendengar,” ujar Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Nunukan, Ajun Komisaris Adi Anjas.
Polisi memang baru melakukan gebrakan di sebagian Pulau Nunukan, Pulau Sebatik dan Simenggaris. Ada 19 kasus yang diungkap dan 22 tersangka yang ditahan. Namun, tauke warga Malaysia yang biasa disebut Mr. Agu lolos dari pengejaran. Aparat menyita sekitar 20 ribu kayu gelondongan yang digeletakkan di jalan penghubung antara Simenggaris dan Sebuku.
Kerusakan hutan di Nunukan yang berbatasan dengan Tawau (Sabah) itu merupakan sebagian potret hutan Kalimantan yang kian geripis. Gambaran itu makin buram setelah pemerintah kabupaten mengeluarkan izin untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
Menurut Itan, Direktur Eksekutif Mitra Lingkungan Hidup, otonomi daerah membuat pemerintah daerah kebablasan memberikan izin. Departemen Kehutanan juga punya andil dari kerusakan hutan yang terjadi. ”Mereka tak konsisten terhadap perlindungan hutan,” ucapnya.
Pemerintah daerah, kata Itan, ingin mempertahankan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi, tapi sekaligus menerbitkan izin di hutan lindung untuk sektor pertambangan dan kayu. Akibatnya, sejumlah daerah konservasi hutan lindung di Kalimantan Tengah rusak: dari mulai Batupau, Gunung Bondang, Tutalaru, Tasang Butung, Palasi, Lampuyat, Tumbang Olong, hingga Sungai Bumban.
Heart of Borneo—-begitu wilayah yang berada di sekitar perbatasan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam itu disebut—memiliki hutan seluas 22 juta hektare. Pada sisi Indonesia, kawasan itu melintasi Kalimantan Timur (di Kabupaten Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat), Kalimantan Tengah (di Kabupaten Katingan, Murung Raya, Barito Utara, dan Gunung Mas) dan Kalimantan Barat di Kabupaten Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu.
Di dalam Heart of Borneo terdapat 3.000 jenis pohon dan 222 jenis mamalia. Selain itu, semua sungai besar di Kalimantan berhulu di pedalaman yang terletak di kawasan Pegunungan Muller. Kondisi ini membuat jantung Kalimantan menjadi cadangan terakhir hutan di Tanah Borneo.
WWF mengeluarkan studi bertajuk Treasure Island at Risk dua tahun lalu. Lembaga pelestari lingkungan ini memprediksi hutan hujan tropis di Kalimantan bakal habis pada 2010. Hari ini, hanya setengah hutan Kalimantan yang masih tersisa, turun dari 75 persen pada pertengahan 1980. Sekitar 1,3 juta hektare hutan rusak setiap tahun.
Konsekuensi dari luasnya kerusakan itu sangat besar. Tak hanya memusnahkan berbagai jenis hewan, kata Chris Elliot, Kepala WWF Global Forest Programme ketika itu, ”tapi juga memutus persediaan air dan menurunkan peluang ekonomi di masa depan, seperti pariwisata dan keberadaan komunitas lokal,”
Laporan WWF pun menyebutkan, 2,5 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Kalimantan makin merajalela. Belum lagi penebangan yang terus berlangsung di taman nasional, meski sudah dilarang.
Pada bagian utara Heart of Borneo, misalnya, pembalak mulai menggerogoti Taman Nasional Kayan Mentarang. Taman nasional seluas 1,36 juta hektare ini berada di wilayah Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. ”Setiap bulan markas mereka makin merapat ke wilayah Indonesia,” kata Kepala Kepolisian Resor Nunukan Ajun Komisaris Besar Mahendra Jaya. Dia merujuk pada foto udara yang memotret aktivitas penebangan kayu milik pengusaha Malaysia di sekitar Kayan Mentarang.
Bagaimana dengan kondisi di bagian barat dan selatan Kalimantan? Sami mawon alias sama saja. Sebelum 2005, lahan yang dicadangkan untuk kelapa sawit di Kalimantan Selatan sekitar 40 ribu hektare. Tapi, prakteknya, pembukaan lahan kelapa sawit sudah mencapai empat kali lipat lebih. Dampak dari alih fungsi besar-besaran itu: terjadi banjir bandang di Kotabaru, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut selama dua tahun ini.
Di Kalimantan Barat, perkebunan kelapa sawit mulai bermunculan sejak 1984. Padahal, saat itu cuma ada 13 ribu hektare area yang menjadi kebun komoditas ekspor tersebut. Sejak dua tahun lalu, luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini membengkak menjadi lebih dari 400 ribu hektare.
Petinggi di kabupaten menolak tuduhan yang dialamatkan kepadanya. ”Jangan hanya menyalahkan kami setelah kondisinya seperti ini,” kata Kaharuddin, juru bicara Pemerintah Kabupaten Nunukan. Menurut dia, kerusakan hutan saat ini buah dari warisan kebijakan pemerintah pusat dalam pemberian izin pemanfaatan kayu.
Permasalahan lain menyangkut benturan kewenangan dan kepentingan perizinan antara provinsi dan kabupaten. ”Fungsi kami tak jelas, kewenangan masih dipegang provinsi,” kata Darwin, Kepala Subperencanaan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nunukan.
Lempar tanggung jawab. Begitulah yang terjadi. Ketika aparat pemerintah sibuk ”berbalas batu” itulah belasan rakit terus mengalirkan kayu-kayu dari perut Ibu Pertiwi ke tetangga negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo