Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gembur dan hitam. Ketika dipijak, kaki ambles seketika. Uap panas meruap, mendidihkan hawa di sekelilingnya. Sepotong tanah itu adalah bagian dari lahan gambut seluas 14 ribu hektare di Kuala Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu. Lahan itu kini tengah diolah menjadi kebun kelapa sawit—menambah keluasan kebun sawit yang telah banyak terbentang di tengah hutan Riau.
Tak ada panorama hijau di tanah itu. Empat bulan lalu lahan tersebut dibakar setelah pohon yang tumbuh di atasnya ditebang habis. Inilah arti harfiah dari ungkapan ”bagai api di dalam sekam”. Sekali terbakar, lapisan tanah gambut bakal menyimpan bara hingga berbulan-bulan. Pertengahan November lalu, Tempo melintasi wilayah itu bersama sejumlah aktivis Greenpeace. Mereka menyebutnya ”Kawasan deforestasi dengan isu paling lengkap”.
Dalam istilah Hapsoro, juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, ”Riau adalah lokasi deforestasi terbesar di Indonesia.” Di sini, sebagian besar hutan habis ditebang, dibakar, dan dikonversi menjadi kebun sawit. Itu dilakukan di atas lahan lindung gambut dengan kedalaman 4-12 meter. Di situ pula terjadi konflik perebutan lahan dengan warga. Maka terciptalah miniatur bencana kerusakan hutan di Indonesia.
Di suatu masa yang belum terlalu lama, Indonesia dijuluki zamrud khatulistiwa: hutan tropisnya kaya raya dan terbesar di dunia. Kini pun Indonesia tetap juara—tapi dari titik ekstrem yang berseberangan. April lalu, Guinness Book of World Records mencatat negeri kita sebagai—masya Allah—penghancur hutan tercepat di dunia.
Jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektare. Riau menyimpan hampir separuhnya. Sisanya tersebar di Aceh, Jambi, Kalimantan, dan Papua. Greenpeace menduga hampir separuhnya sudah rusak. Studi lembaga peneliti kehutanan internasional Center for International Forestry Research (Cifor) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja, Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara per tahun. ”Ini sama dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman,” kata Profesor Daniel Murdiyarso, ahli klimatologi Institut Pertanian Bogor.
Gambut adalah lapisan tanah bak spons yang menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar. Di dalamnya, zat organik terdekomposisi secara lambat, menjadi cikal bakal batu bara. Dalam kondisi normal, gambut tak mudah terbakar karena sifatnya berair. Tangan manusialah yang mengeringkan dan mengubahnya jadi lahan pertanian. Lahannya dikotak-kotakkan dengan kanal, airnya dialirkan ke sungai. Ketika tanah itu kering, seluruh kawasan dibakar untuk menetralkan tingkat keasamannya.
Padahal gambut begitu berharga. Ia mengandung karbon lebih tinggi daripada lahan darat lain. Ketika diubah fungsinya, karbon yang tersimpan di dalam gambut terlepas dengan dua cara: melalui proses pembusukan dan dari terbakarnya lahan yang sudah kering dan rusak.
Menurut Daniel, hutan gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi. Tapi hutan gambut juga paling riskan karena, begitu dikeringkan, bahan organik di bawah tegakan hutan akan dioksidasi dan melepaskan karbon ke udara dalam bentuk karbon dioksida. Jika terbakar, jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer besar sekali. ”Namun, jika dikelola dengan baik, hutan gambut memiliki potensi menjadi maskot perdagangan karbon,” katanya (lihat ”Daniel Murdiyarso: Hutan Indonesia Tidak Dijual”).
Perdagangan karbon inilah yang ramai dibincangkan dalam sidang tahunan Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, mulai Senin ini. Ada sebelas negara pemilik hutan tropis yang menunggu keputusan tentang skema permanen konservasi baru. Metodenya disebut pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi atau disingkat REDD. Bila ini disetujui, lima tahun lagi pemerintah Indonesia bisa mendapat insentif dari pengelolaan karbon hutan. Dan gambut adalah komoditas ”bintang”-nya.
Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap hari, setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Tercatat, Indonesia—bersama Papua Nugini dan Brasil—mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005.
Angka deforestasi Indonesia 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektare per tahun. Departemen Kehutanan mengeluarkan angka lebih seram: 2,84 juta hektare per tahun sepanjang 1997-2000. Di atas kertas, Departemen Kehutanan menyatakan luas hutan Indonesia 133,57 juta hektare. Penggolongannya berupa hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan hutan produksi konversi.
Tapi jangan buru-buru bangga. Menurut Greenpeace, dalam separuh abad terakhir, Indonesia telah kehilangan separuh hutannya. Kayunya ditebang, dibakar, atau dijadikan bubur kertas. Lalu tanahnya berubah menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit, atau dianggurkan begitu saja.
Angka yang tersisa kemudian mirip dengan yang diperkirakan Daniel. ”Perkiraan saya tinggal 55 juta hektare, mungkin kurang,” katanya.
Rakyat Indonesia tak mampu berbuat banyak saat hutan primer Pulau Jawa rebah ditebang pemerintah kolonial sebelum Indonesia merdeka. Tapi perambahan hutan besar-besaran terjadi justru sejak Presiden Soeharto resmi berkuasa pada 1967.
Bahkan salah satu peraturan pertama yang dibuat Orde Baru waktu itu adalah Undang-Undang Dasar Kehutanan. Isinya menyatakan kekuasaan negara atas seluruh jengkal hutan. Itu sama artinya dengan mengangkangi kepemilikan masyarakat adat mana pun dari Sabang sampai Merauke terhadap hutan yang telah mereka jadikan sumber kehidupan puluhan generasi.
Di bawah Orde Baru, sektor kehutanan menjadi pemasok devisa paling besar setelah minyak dan gas bumi. Dalam sebuah seminar negara-negara donor pada 2000, peneliti kehutanan Mochamad Toha menyebutkan setidaknya 40 juta hektare hutan telah hilang selama Orde Baru yang dipimpin Soeharto berkuasa. Ini disusul jumlah yang lebih besar yang dibiarkan dalam kondisi berantakan.
Institusi lingkungan PBB pada awal tahun ini menerbitkan sebuah laporan. Isinya, perkebunan kelapa sawit menjadi pokok pangkal kerusakan hutan-hutan tropis di Indonesia dan Malaysia. Faktanya, sejak 1990, lebih dari 28 juta hektare hutan rusak akibat perluasan kebun kelapa sawit. Tapi perkebunan yang tercipta selama periode tersebut hanya sepertiganya. Sisanya masih menunggu ditanami dalam keadaan kering-kerontang.
Penyebab kedua adalah industri pulp dan kertas. Sejak 1980, industri ini berkembang cepat hingga mencapai kapasitas 6 juta ton per tahun. Mari kita hitung kasar saja. Untuk mencapai kapasitas produksi itu, mereka membutuhkan bahan mentah setidaknya 30 juta meter kubik kayu. Dari mana asalnya?
Lembaga Cifor punya hitung-hitungannya, yakni 70 persen kayu yang digunakan industri pulp dan kertas berasal dari kayu tropis keras (mix tropical hardwoods). Hanya sebagian kecil berasal dari pohon akasia, yang mestinya mereka tanam sendiri di lahan konsesi. Nah, sebagian besar kayu tropis mereka dapat dari pohon yang mereka tebang saat membersihkan lahan. Ketika pasokan ini kian berkurang, banyak industri pulp dan kertas menadah kayu hasil curian dari pembalakan liar.
”Lebih murah daripada harus me-nanam sendiri. Risikonya lebih mahal,” pejabat keuangan di salah satu perusahaan industri pulp dan kertas mengaku kepada peneliti hutan Christopher Barr. Jadi, kapasitas raksasa mereka tak sebanding dengan kemampuan menyediakan bahan mentah yang halal alias minus kayu ilegal. Simaklah contoh di bawah ini.
Masih di Riau, Tempo mengikuti perjalanan polisi Resor Pelalawan saat mereka menyita puluhan truk dan ribuan batang kayu bulat milik PT Madukoro. Perusahaan ini adalah mitra pemasok kayu ke pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper. Para pekerja tak mampu menunjukkan surat-surat kayu yang sah, ditambah dengan izin perusahaan yang ternyata menyalahi aturan.
Alhasil, gudang kayu seluas 20 hektare milik PT Riau Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, disegel sampai sekarang. Bahkan aparat kejaksaan setempat masih tetap meminta banding setelah 25 terdakwa—mereka pekerja PT Madukoro—dibebaskan Pengadilan Tinggi Riau awal November lalu.
Di Riau, sebagian pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) ternyata memiliki lahan konsesi di atas lahan lindung gambut dengan kedalaman 4-12 meter. Padahal sudah ada aturan hukum yang melarang lahan gambut di atas kedalaman 3 meter dikonversi. Aturan ini terbukti hanya menjadi macan kertas karena tak pernah ditegakkan dengan tegas.
Kalaupun gambut tak dilindungi negara, mengubah tanah gambut menjadi lahan pertanian amatlah sulit karena kadar keasamannya yang tinggi. Membuat perkebunan di lahan gambut membutuhkan investasi besar, tingkat produksi rendah, dengan risiko kebakaran amat tinggi. Selain itu, berbagai macam penyakit tanaman mudah timbul dan mengancam kehidupan aneka flora di atasnya.
Masih ingat proyek lahan gambut sejuta hektare di Kabupaten Kapuas dan Barito Selatan yang gagal total? Ini contoh paling besar dari upaya mengonversi lahan gambut menjadi tanah pertanian. Awalnya, ini direncanakan menjadi megaproyek swasembada beras di Kalimantan. Setelah dikeringkan dan tanah gambutnya rusak, 80 persen lahan sekarang justru tak ditanami apa-apa.
Sepuluh tahun lalu, lahan tidur ini terbakar hebat hingga membuat bencana kabut asap ke Malaysia. Setelah Orde Baru tumbang, barulah aparat berani menyatakan bahwa proyek (mantan) Presiden Soeharto itu gagal karena salah proyeksi sejak awal.
Aturan yang tumpang-tindih dan tak diindahkan tidak hanya terjadi di area gambut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melihat berbagai kebijakan ideal yang sudah dibuat sering terabaikan. Misalnya aturan Padu Serasi—dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan—yang mengatur penyesuaian tata guna hutan dan perubahan status dari hutan menjadi bukan. Sering kali pemberian izin perubahan lahan dilakukan tanpa menengok lagi aturan Padu Serasi tadi.
Misalnya, lahan kelapa sawit hanya boleh didirikan di wilayah areal penggunaan lain, jadi bukan hutan produksi atau konversi. Ia tidak boleh berdekatan dengan lingkungan sawah atau mata air. Sebab, kelapa sawit membutuhkan konsumsi air sangat tinggi. ”Lihat saja di Kampar (Riau). Akibat kelapa sawit, tali air untuk persawahan mulai habis,” kata Rully Syumanda, juru bicara Walhi.
Contoh lain: peruntukan hutan tanaman industri (HTI) yang hanya boleh di lahan kosong, alang-alang, atau semak belukar. Faktanya, sering izin HTI diberikan di hutan lindung. ”Modusnya begini. Biasanya HPH diberikan dulu. Begitu kayunya habis, baru dijadikan HTI,” Rully menambahkan.
Hal seperti ini lazim dilakukan oleh pemerintah daerah—baik di tingkat gubernur maupun bupati. Tapi itu bukan berarti pemerintah pusat tak ikut menanggung dosa. Walhi melihat promosi pembukaan kebun kelapa sawit besar-besaran membuat pemerintah daerah asal tubruk saja dan yang penting investasi masuk.
Menteri Kehutanan M.S. Kaban mengatakan pemerintah daerah selama ini tak pernah melibatkan Departemen Kehutanan ketika memekarkan wilayahnya. ”Banyak kawasan hutan yang terdesak,” katanya. Semestinya, kata dia, departemen dilibatkan supaya tahu mana wilayah hutan produksi dan konservasi.
Untuk hutan konservasi, Departemen Kehutanan mengaku kesulitan menjaga hutan Indonesia yang demikian luas. Satuan tugas polisi hutan memang sudah dibentuk. ”Tapi hutan lindung sulit karena lebih luas dan tak punya aparat sendiri,” kata Nur Masripatin, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan.
Dari sisi aktivis lingkungan, tak ada kata selain melakukan jeda kegiatan penebangan kayu (moratorium logging). Usul ini amat tidak populer di kalangan pemerintah pusat, tapi—tak dinyana—justru disambut baik oleh dua provinsi. Aceh dan Papua berani menghentikan ekspor kayu gelondongan ke luar wilayahnya. Upaya ini makin greng dengan posisi istimewa mereka sebagai pemilik otonomi khusus.
Tak lama setelah terpilih, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengumumkan moratorium logging seluruh hutan Aceh. Dalam masa jeda tebang itu, menurut bekas pemimpin Gerakan Aceh Merdeka ini, tak boleh ada pengusaha HPH yang beroperasi di Aceh. Ia mengaku menyesalkan para pengusaha HPH yang tak bersimpati terhadap rakyat Aceh saat terjadi banjir bandang akhir tahun lalu. ”Penebangan hutan selama ini sedikit sekali manfaatnya bagi rakyat Aceh,” katanya.
Di Papua, Gubernur Barnabas Suebu justru makin bersemangat setelah majalah Time menganugerahkan gelar pahlawan lingkungan kepadanya pada Oktober lalu. Ia kini melarang kayu gelondongan diekspor keluar dari Papua agar industri kayu mau membuka pabrik di Papua. ”Papua bukan sekadar provinsi ekstraksi,” ucapnya.
Kini dunia makin ramai berbicara tentang pentingnya mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi. Deforestasi diartikan sebagai upaya mengubah area hutan menjadi bukan hutan. Adapun degradasi adalah penurunan kualitas hutan. RED atau reduce emissions from deforestation adalah gagasan yang pertama kali diungkap oleh Brasil dan Papua Nugini dalam konferensi lembaga PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) di Montreal, Kanada, pada 2005.
Dalam masa pembahasan selama dua tahun terakhir, Indonesia menambah D yang kedua, yakni degradasi (degradation). Menurut Daniel, ini karena hutan Indonesia yang menurun kualitasnya kian banyak—meskipun di atas kertas jumlahnya tak pernah berubah.
REDD bukan melarang penebangan hutan. Dengan mekanisme ini, negara-negara maju yang wajib menurunkan tingkat emisinya diminta memberikan insentif bagi mereka yang masih memiliki hutan alias negara berkembang. Selama ini, perdagangan karbon sudah berlangsung secara sukarela dalam bentuk pasar karbon dunia. ”Meski belum pernah dalam bentuk produk kehutanan,” kata Agus P. Sari, Direktur Ecosecurities, perusahaan jasa keuangan lingkungan, cabang Indonesia.
Bila ini terwujud, Indonesia bisa meraup pemasukan besar dari usaha menurunkan emisi. Hamparan hutan kita, meski banyak yang geripis akibat pembalakan liar, kebakaran, dan konversi hutan, punya potensi besar dalam mengurangi emisi karbon dunia. Walaupun, harus diakui, aturan implementasi dagang karbon masih jauh dari matang.
Sampai sekarang, belum jelas siapa yang berperan sebagai pembeli dan penjual. Bagaimana mekanismenya. Juga akan dikemanakan uang yang didapat. Masih pula harus ditentukan, apakah pasar karbon menjadi satu-satunya alternatif, atau pembiayaannya dalam bentuk dana internasional. ”Mungkin masih dua tahun lagi sampai ada aturan yang jelas,” kata Daniel.
Di Bali, pada pekan-pekan ini, Indonesia dan sepuluh negara pemilik hutan tropis lain menunggu kabar baik itu: apakah ”insentif” bagi negara-negara penjaga hutan akan diputuskan. Dan diberlakukan secara permanen.
Setengah Abad, Dua Rekor
GELAR ini copot sudah: Zamrud Khatulistiwa. Kini Indonesia menyandang rekor baru: negara penghancur hutan tercepat versi Buku Rekor Guinness 2008.
Indonesia mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa karena memiliki hutan yang hijau-lebat. Hingga 1950, sekitar 84 persen daratan negeri ini berupa hutan. Indonesia pun menjadi salah satu dari 10 negeri pemilik hutan alam paling perawan sejagat. Tapi, itu sekitar setengah abad lalu.
Mulai era Orde Baru (1966–1998), hutan dicabik-cabik. Industri kayu dan bubur kertas tumbuh tak terkendali. Setiap tahun, industri ini membutuhkan kayu 74 juta meter kubik, sedangkan kemampuan hutan untuk memasok bahan baku secara lestari hanya 20 juta meter kubik. Pembalakan liar pun merajalela.
Sebagian hutan juga dikonversi menjadi perkebunan. Di era Soeharto itu, sekitar 16 juta hektare hutan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit.
Pasca-Soeharto tidak lebih baik. Buku Rekor Guinness 2008 mencatat, dalam satu jam, hutan seluas 300 lapangan sepak bola hancur. Dalam 10 tahun, hutan seluas pulau Jawa raib. Berikut ini statistik hutan kita:
Luas Hutan Indonesia (juta hektare)
Laju Penggundulan Hutan (juta hektare/tahun)
Hutan di Enam Pulau Besar (juta hektare)
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
*kehilangan 1950–2005
SUMBER: Departemen Kehutanan, Walhi, Greenpeace, Cifor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo