PEMBENAHAN bis kota seperti tak kunjung berakhir. Setelah
beberapa waktu lalu berbagai perusahaan diambil-alih pemerintah,
sejak November 1981, para karyawannya diberi jaminan dengan
sistem penggajian pegawai negeri. Yaitu, selain gaji, juga
mendapat pembagian beras, tunjangan keluarga, pensiun--ditambah
tunjangan-tunjangan lain.
Sistem penggajian serupa itu sudah lama diterapkan di kalangan
para karyawan PPD, sebuah perusahaan angkutan bis kota milik
pemerintah. Oleh karena itu, menurut Dirjen Perhubungan Darat,
Nazar Noerdin, para karyawan bis kota itu sebenarnya bukanlah
pegawai negeri. "Jangan salah sangka, yang sama adalah sistem
penggajian, bukan status," jelas Nazar lagi.
Sistem atau status, rupanya tak begitu dihiraukan para awak bis
kota. Yang pasti, keputusan itu mereka sambut dengan senang
hati. Azhar Sam, 32 tahun, sopir bis Unit III misalnya. "Segi
keuangan yang ditetima memang kecil, tapi anak istri terjamin
kelak," katanya dalam logat Minang yang khas. Gaji "baru"nya itu
memang lebih kecil sekitar Rp 10.000 dibandingkan gaji lama. "Rp
48.250 itu yang kuterima bulan kemarin, hanya jtu," tutur Ahar
meskipun ia tidak membantah bahwa masih ada uang masuk yang
lain.
Mengaku bahwa hidup sebagai sopir tidak mudah, apalagi sebagai
pegawai swasta. Tidak kerja berarti tidak dapat uang, sedangkan
sebagai pegawai negeri menurut tanggapan Azhar, masuk atau tidak
pasti dapat gaji.
Zainal, kondektur bis Unit III mengeluh karena gaji yang
diterimanya hanya separuh dari gaji sebelumnya. "Kemarin itu
saya hanya terima Rp 28.450, untuk sebulan, tapi dulu saya
terima Rp 1000 sehari," tutur Zainal yang berwajah bersih dan
berkulit cerah itu. Diakuinya dulu ada hasil sampingan sekitar
Rp 1.500 sehari. Tapi sebagai pegawai negeri, (ia salah sangka
juga--seperti yang lain), menurut Zainal, "Enak, masuk tidak
masuk gaji tetap."
Angkat Tangan
Pola penggajian ang baru ini berlaku pada perusahaan bis Unit
I sampai dengan VIII yang diambil-alih pemerintah pada 1977.
Dasar pengambil-alihan itu adalah: asset perusahaan bis swasta
itu kurang memenuhi syarat, lagi pula kredit bis belum juga
lunas. Menurut Nazar Noerdin, sesudah Unit I sampai Unit VIII
diambil-alih pula Gamadi dan Pelita Mas Jaya. "SMS malahan sudah
angkat tangan, tidak dapat mengatasi kesulitannya lagi," sambung
Dirjen menyorot keadaan perusahaan bis swasta yang pada umumnya
memang runyam itu (libat box).
Apakah tidak ada jalan keluar yang lain? "Dengan keadaan seperti
sekarang ini kami tak mungkin meneruskan Gamadi," tutur
Dir-Ut-nya, Syaiful Widjaja. Alasannya: sejak Juli '77 sampai
sekarang tarif bis tetap Rp 50 sedang sejak Kenop '78 semua
harga naik--kecuali tarif bis. "Menurut logika saja kami sudah
tak tahan," kata Syaiful Widjaja. Dia juga menyesalkan adanya
ketentuan karcis pelajar sebesar Rp 30 itu. Pada prakteknya
perusahaan bislah yang menanggung subsidi untuk karcis pelajar,
padahal tuntutan agar diberi jatah BBM dengan harga lama juga
tidak dipenuhi pemerintah.
Karena tanpa uluran tangan pemerintah itulah terjadi
kanibalisme. Yaitu onderdil bis yang satu dicopot untuk
dipasangkan pada bis lainnya. Jumlah armada dengan demikian
cepat berkurang dan sekarang cuma 50% yang masih beroperasi.
Sebaliknya di Pelita Mas Jaya, "Kanibalisme itu tidak ada," kata
Manajer Operasi, Hanafi. Meskipun tersiar kabar bahwa perusahaan
bis ini juga bersedia diambil-alih, tapi Hanafi membantahnya
secara tak langsung. Bahwa Pelita bisa bertahan menurut dia,
"karena kami dapat bantuan dari awak bis." Karena, tambahnya,
para awak bis di Pelita Mas Jaya turut memelihara kendaraan. '
Sampai sekarang tak ada bis yang jadi bangkai," katanya pasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini