Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ni Tanjung, Suara Roh, dan Seni Brut

Dia berkarya dari alam bawah sadar. Sebuah museum di Swiss memamerkan karyanya.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Umurnya telah 84 tahun. Setelah ditinggalkan oleh suaminya, Nyoman Kembang, ia hanya terbaring lemah di rumah salah satu anaknya, Ni Wayan Penpen. Tapi sesekali gairah seni wanita bernama Ni Tanjung yang mengidap skizofrenia atau gangguan jiwa itu tibatiba meluap. Di pembaringan, ia mencoretcoret medium kertas.

Ia menggambar wajahwajah misterius. Wajah yang mungkin dalam benaknya adalah kelebatan paras leluhur dan orangorang yang telah meninggalkannya. Ia lalu menggunting wajahwajah itu, memadupadankan dan memasangnya di kerangka. Sejurus kemudian jadilah sebuah wayang.

Ni Nyoman Tanjung adalah perempuan asal Desa Budakeling, Karangasem, Bali, yang mengidap masalah kejiwaan, skizofrenia, dan suka menggambar. Ia tidak tahu bahwa karyakaryanya selama ini menyita perhatian dunia seni. Karyanya sederhana, kekanakkanakan tapi magis. Karya Ni Tanjung oleh beberapa pemerhati seni rupa dan antropolog Eropa dinyatakan sebagai art brut atau seni dari alam bawah sadar.

Tahun 2014 merupakan masa keemasan bagi Ni Nyoman Tanjung. Sebanyak 12 karya terpilihnya telah diseleksi oleh Dr Lucienne Peiry, wakil Museum Art Brut dari Lausanne, Swiss, untuk diikutkan dalam pameran akbar L'Art brut dans le monde (Seni Brut di Dunia) museum bergengsi itu.

Karyakaryanya hadir mewakili seniman art brut dari Asia. "Karyanya telah mendapat perhatian positif dan nama Ni Tanjung muncul di berbagai surat kabar dan majalah seni Eropa," kata Georges Breguet, antropolog dari Swiss, yang memiliki perhatian khusus pada sosok seniman dari Karangasem ini.

Pada Desember 2014, karya Ni Tanjung juga dipamerkan di Bentara Budaya Bali bersama perupa seni brut lainnya, Dwi Putro Mulyono Jati. Dalam pameran itu, pengunjung bisa menyaksikan wajahwajah misterius nan lucu buatannya. Konon wajah itu, selain bayangan Ni Tanjung akan leluhurnya, bayangannya tentang tiga anaknya yang meninggal di usia balita. Wajahwajah tersebut berbaur dengan lukisan pratima (benda disucikan di pura) serta hewan, seperti sapi, kijang, dan kuda.

Karyakarya itu digunting dan diberi wa­rangka lalu disatukan dalam satu gepokan. Sedikitnya, dalam pameran di Bentara Budaya Bali tersebut, ada 10 gepok yang sangat menarik. Biasanya Ni Tanjung memainkan karyakaryanya itu ibarat orang menggerakgerakkan wayang. Bila begitu, ia sering mengoceh sembari melihat dirinya sendiri di sebuah cermin kecil. Seraya becermin, ia menyanyikan tembangtembang dalam bahasa Bali yang sulit dimengerti.

Namun, karena kondisinya sudah sangat lemah, kini ia jarang lagi memainkan wayang wajah misteriusnya. Georges Breguet mencatat kondisi itu sudah dialami Ni Tanjung sejak 2009. Setiap kali dia berkunjung, Ni Tanjung berusaha memperlihatkan karya baru dan mencoba menjelaskan makna karya itu dalam bahasa Bali yang kacau. "Namun dia tidak dapat menari lagi seperti dulu. Sebelumnya dia kerap bernyanyi dan menirukan penari atau dalang," kata Breguet.

Georges Breguet ingat, saat masih bisa menari, Ni Tanjung mengatur gambar hitamputihnya, guntingannya, dan aneka benda lain di tembok tempat tidurnya. Setelah semua dipajang, dia mengeluarkan cermin kecil untuk melihat karyanya dalam pantulan cermin itu. Dengan cara itu, ia rupanya sedang mematri karya dalam memorinya yang kian rapuh.

* * * *

Nama Ni Tanjung mulai dikenal publik seni rupa di Bali setelah pelukis Made Budhiana mengunjunginya pada 1990an. Dalam rangkaian perjalanan mencari obyek lukisan, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu menemukan seorang perempuan di Desa Budakeling, Karangasem, yang menata batu di sungai.

Batu itu semuanya digambari mata, hidung, atau gambar lain. Batubatu itu menjadi tumpukan raut wajah. Terasa mata, hidung, dan telinga itu kuat karena sesuai dengan bentuk batu yang berbedabeda. Terasa gambargambar itu sangat arkais. Terasa, sembari menumpuk dan memberi gambar pada batubatu itu, perempuan tersebut seperti menyiapkan sebuah ritual dan sesajen.

Ketika diajak bicara, perempuan itu justru meracau tak keruan dan menggerutu tanpa sasaran yang jelas. Baru pada pertemuan berikutnya, "dialog" mulai berjalan. Interaksi justru bisa terjalin saat Budhiana memutar lagu Rolling Stones dari atas jipnya secara tidak sengaja. Tibatiba, mendengar alunan suara Mick Jagger dan gen­jrengan gitar Keith Richards itu, Ni Tanjung menari.

Orang yang lewat di tempat itu sebagian mengingatkan Budhiana agar menghindari Ni Tanjung kalau tidak mau ikutikutan menjadi gila. Di lingkungan itu, Ni Tanjung memang dikenal memiliki masalah kejiwaan dan disebut orang bermasalah. Ni Tanjung memiliki latar belakang seniman. Dia bisa menenun kain Bali, pernah menjadi penari legong dan rejang serta hafal irama lagu arja (drama tari Bali). Dia juga sangat menyukai pementasan wayang kulit.

Lahir dari keluarga petani miskin, tiga orang anaknya meninggal saat masih bayi, lalu ia ikut mengalami musibah saat Gunung Agung meletus pada 1963, disusul banjir darah di Bali akibat peristiwa gempa politik pada 1965. Dia kemudian mengalami guncangan jiwa dan sempat dipasung oleh keluarganya kuranglebih dua tahun.

Betapapun orangorang kampung memperingatkannya, Budhiana tak ambil pusing. Ia malah memberikan cat kepada Ni Tanjung agar lukisan barunya bisa lebih bervariasi warnanya. Ia juga membawa temantemannya dari kalangan seniman dan wartawan menemui Ni Tanjung.

Sejak saat itulah karya instalasi batu Ni Tanjung mencuri perhatian seniman dan kemudian antropolog. "Instalasi batunya sederhana, tapi berdaya pukau keindahan, jujur, dan apa adanya," kata Budhiana. Menurut Budhiana, tak ada wajah yang sama gambarnya di atas batubatu itu. Itu yang bagi Budhiana menandakan betapa dinamisnya imajinasi Ni Tanjung. Selain gambar wajah, ada wajah binatang dan gambar pratima atau benda yang disucikan oleh umat Hindu.

Pada 2006, sebagian besar instalasi batu Ni Tanjung dibeli oleh Kartika Affandi. Kartika membeli batubatu Ni Tanjung untuk menjadi koleksi museumnya di Yogyakarta. Georges Breguet menyalahkan Kartika untuk soal ini. "Peristiwa itu, apa pun maksud Kartika, telah berakibat sangat negatif, oleh karena hilanglah kreativitas batu dari sang seniwati," ujarnya.

Setelah era batu itu, medium Ni Tanjung berkembang terus. Ia melanjutkan menggambar pada kertas, botol plastik, potongan kayu, hingga seng bekas bangunan. Setiap karya selesai, dia menyanyi dan menari seolaholah memberi tafsir baru dalam suara dan gerakannya.

Budhiana pernah mengalami saat Ni Tanjung tak sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran. Suatu kali dia isengiseng menawar karya patung batunya dengan harga Rp 5.000. Ni Tanjung tertawa dan meledek. "Anda tampil begitu necis, tapi kok ya tak punya uang untuk membeli patung batu saya," katanya sambil terus tertawa.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus