Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gamang Menjerat Penabur Cek

Penyidikan 25 politikus tersangka kasus cek pelawat hampir tuntas. Dalam satu-dua minggu ke depan kasus mereka bakal masuk pengadilan dan para tersangka akan masuk sel. Tapi Nunun Nurbaetie, sang pemberi cek, hingga kini terus bersembunyi di Singapura. Pemodal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu pun belum tersentuh.

29 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1340.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA jadi, sejumlah sel tahanan di Jakarta akan dipenuhi penghuni baru. Komisi Pemberantasan Korupsi hampir menyelesaikan penyidikan 25 politikus tersangka kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 2004. ”Sudah 80 persen,” kata sumber Tempo di Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu. Jika tak ada aral melintang, pertengahan Desember ini kasus para legislator itu akan disidangkan.

Ditetapkan sebagai tersangka pada awal September lalu, para anggota Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 itu masih hidup bebas. Mereka terdiri atas 10 politikus Partai Golkar, 14 anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan 2 orang dari Partai Persatuan Pembangunan. Mereka diduga menerima Rp 150 juta hingga Rp 1,4 miliar, berupa cek pelawat, melalui Nunun Nurbaetie, istri Adang Daradjatun, mantan Wakil Kepala Kepolisian RI yang kini politikus Partai Keadilan Sejahtera.

Sebagian anggota ”rombongan” tersangka itu masih bekerja seperti biasa. T. Nurlif, politikus Partai Golkar, misalnya, tetap bekerja sebagai pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan. Panda Nababan dari PDI Perjuangan bahkan ikut menguji calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lalu, sebagai anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.

Toh, hulu cek belum juga terlacak. Nunun Nurbaetie, yang berkali-kali dipanggil untuk dimintai keterangan, tetap mangkir. Meninggalkan Tanah Air sejak Februari lalu, sebulan sebelum surat pencegahannya dikeluarkan, hingga kini ia tinggal di Singapura. Menurut suaminya, Nunun terserang stroke yang membuatnya kehilangan memori.

l l l

KAFE di Jalan Gunawarman 37, Jakarta Selatan, itu sepi dan agak gelap. Tak ada satu pun mobil pengunjung diparkir di luarnya, Selasa pekan lalu. Tertera tulisan ”D'Lounge” di depannya, kafe ini mirip rumah tinggal mewah gaya 1990-an. Seorang perempuan muda menyambut. Dialah Ratna Farida, putri tunggal dan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Adang Daradjatun dan Nunun Nurbaetie. Nana atau Neng, begitu dia dipanggil, menjalankan salah satu bisnis keluarga Daradjatun setelah ”pelarian” Nunun.

Kesan interior Eropa klasik cukup terasa di rumah tiga lantai ini. Aneka pajangan seperti patung, lampu, vas, kotak kubus bergaya vintage, bertebaran di setiap meja. Perapian imitasi menempel di salah satu tiang ruangan dengan lukisan perempuan Eropa abad ke-17 di atasnya. Sofa empuk dan kursi makan dengan bermacam model tertata rapi di beberapa sudut. Selera berkelas dan mahal Nunun Nurbaetie amat terlihat di kafe itu.

Menerima Tempo di tempat tersebut, Adang Daradjatun ditemani Andreas Harry, dokter saraf yang mengaku menangani Nunun sejak 2006. Hadir juga pengacara Nunun, Ina Rachman, dan dua rekannya. Seperti biasa, Adang terlihat necis dengan kemeja putih bersih dan rambut hitam kelimis.

Selasa dan Kamis pekan lalu Nunun dipanggil kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dimintai kesaksiannya. Tapi dia lagi-lagi mangkir. Adang mengirim surat, menyatakan istrinya tak bisa datang. ”Saya sedih, istri saya digebukin terus. Dia tidak tahu-menahu soal traveller cheque itu,” ujarnya (lihat wawancara Adang Daradjatun).

Dianggap mengetahui sumber duit sogokan dalam pemilihan Miranda, Nunun hanya sekali datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada November 2009. Komisi tidak mendapatkan keterangan apa pun, karena Nunun hanya menjawab ”lupa” dan ”tidak tahu”. Tiga kali dipanggil pengadilan, Nunun juga mangkir. Pencinta dan kolektor kebaya, batik, perhiasan, dan barang-barang bermerek ini tetap berada di Negeri Singa.

Menurut dokter Andreas Harry, Nunun terserang amnesia cenderung demensia, yang membuat pengidapnya lupa sama sekali dengan lingkungannya. Serangan itu, menurut Andreas, dipicu oleh migran dan vertigo yang dideritanya sejak tiga tahun silam. Itu sebabnya, Nunun tidak memenuhi panggilan pengadilan. ”Ibu Nunun sudah tak mampu mengingat peristiwa di masa silam,” tutur Andreas.

Keluarga Daradjatun mengungsikan Nunun ke Singapura dengan dalih untuk berobat. Mereka memilih dokter saraf Nei I-Ping dan psikolog Geraldine Tan di Rumah Sakit Mount Elizabeth. Kepada Tempo, Andreas menyodorkan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dua dokter itu. Di situ Nei I-Ping menyatakan Nunun menderita alzheimer ringan. Geraldine juga menyimpulkan hal serupa: Nunun mengalami penurunan memori.

September lalu, untuk ketiga kalinya, Tempo mendatangi Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Menurut resepsionis rumah sakit yang memiliki banyak pasien orang Indonesia ini, Nunun tidak tercatat sebagai pasien. ”Tidak ada nama Nunun Nurbaetie,” katanya.

Dokter Nei I-Ping yang ditemui Tempo di kliniknya menolak diwawancarai. ”No question. No more,” ucapnya. Pada perjumpaan sebelumnya, dia membenarkan Nunun salah satu pasiennya. Seorang kawan dekat Nunun membisikkan bahwa Nunun tak lagi berobat ke dokter Nei I-Ping. ”Dia sudah ganti dokter,” ujarnya.

Benarkah dia sakit? ”Ah, ngapusi. Wong, sehat kok,” kata seorang tokoh yang belum lama ini bertemu Adang dan Nunun di rumah mereka, Holland Village, Singapura (lihat ”Kolektor Hermes di Rimba Singapura”). Tiga orang sumber Tempo dari kalangan berbeda dan secara terpisah memberikan informasi serupa: mereka melihat Nunun berbelanja di Orchard Road. ”Ia ditemani tiga orang,” kata seorang sumber. ”Salah satunya mirip polwan.”

Sumber lain melihat Nunun bercengkerama di sekitar Apartemen Scott 28, tempat tinggal lain keluarga itu di Singapura. Ia tampak tertawa-tawa, jauh dari kesan orang yang terserang amnesia. Lebaran lalu, Nunun kabarnya sempat menyeberang ke Bangkok, Thailand.

Adang hanya tersenyum lebar ketika Tempo meminta konfirmasi tentang kondisi istrinya. Menolak menyebutkan tempat istrinya tinggal, ia juga membantah istrinya bepergian ke luar Singapura. ”Hanya di Singapura,” ucapnya. Namun dia tidak membantah kalau ia atau anaknya bepergian ke Bangkok. ”Itu dalam rangka bisnis, tidak ada konteks dengan Ibu.”

Pengacara Nunun, Ina Rachman, membenarkan kliennya membatasi kunjungan dari teman-temannya. Alasannya, ia tidak boleh terlalu capek. ”Keluarga memang selektif memilih siapa saja yang boleh bertemu,” ujarnya.

Nunun Nurbaetie, yang terkenal aktif di kalangan sosialita, kini seperti terisolasi. Sebelum lari ke Singapura, ia memimpin Perhimpunan Kebayaku. Didirikan bersama koleganya seperti Rosa Dino Patti Djalal, Sendy Dede Yusuf, dan Siti Garsiah Tampi, perhimpunan itu menyusun buku tentang Kebaya (lihat ”Dia yang Kini Terpulau”).

Menurut Sendy, rencananya buku itu diluncurkan pada 17 Agustus lalu. Tapi, karena sang ketua terserang amnesia, rencana itu batal. Padahal mock up atau contoh cetakan sudah jadi. ”Inginnya sih secepatnya, tapi harus menunggu ketua kan,” kata Sendy kepada Anwar Siswadi dari Tempo di Bandung.

l l l

PERAN Nunun Nurbaetie dalam pusaran perkara ini muncul dari pengakuan Arie Malangjudo, Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Nunun. Kepada penyidik dan hakim pengadilan korupsi, Arie mengaku dikenalkan Nunun kepada Hamka Yandhu, politikus Partai Golkar terpidana dua setengah tahun kasus ini.

Arie kemudian mengatakan diminta Nunun membagikan cek pelawat untuk anggota Dewan. Arie mengantar tas buat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diterima Dudhie Makmun Murod di Restoran Bebek Bali, Senayan, Jakarta. Lalu buat Partai Persatuan Pembangunan, yang disetor lewat Endin di Hotel Century. Tas berpita kuning jatah buat Golkar diambil oleh Hamka. Udju Djuhaeri, R. Sulistiyadi, Suyitno, dan Darsup Yusuf dari Fraksi TNI/Polri tiba menjelang petang buat mengambil tas berpita putih. Ketika hakim mempertemukan Arie dan Hamka di persidangan, keduanya mengakui pernah bertemu dan berkenalan di ruang kerja Nunun.

Jejak Nunun juga terlihat dari pengakuan Udju Djuhaeri kepada penyidik. Udju mengaku ditelepon Nunun agar datang ke kantornya di Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat. ”Nanti ketemu staf saya bernama Arie, ajak juga anggota lain,” kata Nunun.

Udju kepada penyidik juga mengaku pernah ditelepon Adang Daradjatun sebelum hari pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 8 Juni 2004. Bekas atasannya itu meminta anggota Fraksi TNI/Polri mendukung Miranda.

Keberadaan Nunun juga terlihat dari keterangan tempat dibagikannya sebagian cek pelawat kepada anggota Dewan, yakni kantor Nunun sendiri di Jalan Riau 17, Menteng. Terakhir, ada pencairan cek pelawat sebesar Rp 1 miliar yang dilakukan Sumarni. Kepada hakim pengadilan korupsi, sekretaris Nunun ini mengaku diperintah salah satu direktur Wesco Group.

Adang terlihat emosional membela istrinya. Dengan suara tercekat, dia membantah semua keterangan Arie maupun Udju. ”Anda seharusnya menelusuri siapa Arie itu. Dia bukan pesuruh, dia partner, direktur juga. Jangan kecilkan peran dia,” ujarnya.

Cek pelawat 480 lembar senilai Rp 24 miliar itu diterbitkan Bank Internasional Indonesia atas permintaan Bank Artha Graha. Pembelian dipesan PT First Mujur Plantation & Industry, perusahaan perkebunan milik Hidayat Lukman alias Teddy Uban. Kepada penyidik, Hidayat menyatakan cek dipesan buat membayar pembelian perkebunan dari Ferry Yen, mantan staf Artha Graha yang meninggal pada 2007.

Anehnya, kurang dari dua jam setelah diterbitkan, cek sudah berpindah tangan ke kantor Nunun. Lalu, pada hari yang sama, melalui Arie Malangjudo, cek telah menyebar ke anggota Dewan. Meski nomor seri yang diterima anggota Dewan sama persis dengan cek yang dipesan First Mujur, Komisi Pemberantasan Korupsi belum menyimpulkan dua peristiwa itu berkaitan.

Sumber Tempo menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi gamang menentukan status Nunun. Petinggi komisi itu masih berharap Nunun bersedia membuka asal-muasal duit cek. Menjadikannya tersangka, kata seorang petinggi, akan menghentikan pengusutan kasus hanya sampai ke Nunun. ”Pemodal utamanya bakal tak tersentuh,” ujarnya. Ada kabar, Komisi telah mengirim ”sinyal” kepada Nunun agar mau kooperatif. Namun sang nyonya tak menunjukkan respons setuju.

Sumber itu mengibaratkan Nunun seperti Hengky Samuel Daud, perantara dalam kasus korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran di Kementerian Dalam Negeri. Alih-alih membuka atasnya, Hengky bungkam hingga meninggal di tahanan karena sakit. Ia mengatakan tidak mau kejadian itu terulang pada Nunun.

Anne L. Handayani, Muchammad Nafi, Yuliawati

Nunun di Pusaran Cek

Peran Nunun Nurbaetie dalam skandal penggelontoran Rp 24 miliar ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 sangat sentral. Sejumlah saksi menyatakan, cek yang ditebar setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom itu berasal darinya.

Hakim Andi Bachtiar, dalam pembacaan putusan buat empat anggota Dewan—Hamka Yandhu, Endin Soefihara, Dudhie Makmun Murod, dan Udju Djuhaeri--yang telah diadili, bahkan menyebutkan Nunun terlibat kasus ini. Hakim memerintahkan perempuan 61 tahun itu diadili. Jika terpaksa secara in absentia—bila ia ngotot tak mau pulang dari Singapura. Budi Riza

7 Juni 2004 | 10.00 WIB
Di kantornya sebagai Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati, Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat, Nunun Nurbaetie memperkenalkan Arie Malangjudo kepada Hamka Yandhu. Ia meminta direktur di perusahaannya itu menyampaikan ”tanda terima kasih” kepada anggota Dewan.

8 Juni | 08.00
PT First Mujur Plantation membeli 480 cek pelawat dari Bank Internasional Indonesia, melalui rekening perusahaan itu di Bank Artha Graha. Setiap cek bernilai Rp 500 juta. Direktur First Mujur, Budi Santoso—menantu pengusaha Tomy Winata—mengatakan, cek dibeli untuk pembayaran awal pembelian kebun kelapa sawit di Tapanuli Selatan. Menurut dia, uang diserahkan ke Ferry Yen, bekas staf Bank Artha Graha yang meninggal pada 2007.

10 Juni 2004
Sumarni, 46 tahun, anggota staf Nunun Nurbaetie di PT Wahana Esa Sejati, mencairkan 20 lembar cek pelawat senilai Rp 1 miliar di Bank Internasional Indonesia cabang Jalan Thamrin, pukul 10.55. Nomor seri cek ini berurutan dengan cek yang dibeli First Mujur.

Di sidang, Sumarni mengatakan Nunun dan Miranda Goeltom berhubungan dekat. Menurut dia, Miranda kerap diundang dalam acara-acara yang digelar Nunun. Sumarni yang membuat undangannya.

Agustus-September 2004
Arie Malangjudo mengaku diajak Nunun Nurbaetie ke kantor Miranda Goeltom di ruang kerja Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Di sini Arie ditawari posisi sekretaris Gabungan Bridge Seluruh Indonesia, yang diketuai Miranda. Arie menolak karena merasa tidak berkompeten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus