Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN atau tanpa kasus Wali Kota Bekasi, yang diduga menyogok untuk memenangkan Adipura 2010, penghargaan bagi kota dengan kebersihan dan pengelolaan lingkungan terbaik ini perlu ditinjau kembali. Penghargaan yang sudah ada sejak 1986 itu sekarang mirip arisan belaka. Tahun ini, sebagai contoh, ada 140 kota yang memenang Adipura—bertambah 14 kota dibandingkan tahun lalu.
Akibat obral Adipura yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup itu, martabat penghargaan ini runtuh. Apalagi Adipura—terutama sejak diadakan kembali pada 2002, setelah vakum pada 1998—lebih banyak diklaim pemimpin daerah sebagai bukti sukses mereka ketimbang menandai keberhasilan masyarakat membangun lingkungan kota.
Tak terlalu mengejutkan bila pemimpin daerah akhirnya lebih mementingkan jalan pintas untuk mengejar Adipura. Misalnya dengan memberikan ”servis” terbaik, kalau perlu dengan uang suap, untuk pihak yang punya otoritas menentukan pemenang. Jalan ini memang ”tidak berkeringat” bila dibandingkan dengan membangun kesadaran masyarakat dan menggerakkan orang banyak untuk membersihkan kota.
Di luar urusan ”servis”, bukan rahasia pula bila pemerintah daerah kerap membersihkan jalanan dari para pengemis dan gembel ketika tim juri datang. Perangkat pemerintah daerah juga sibuk menyembunyikan pedagang kaki lima, kios, dan warung di pinggir jalan, menyurukkan sampah, begitu terdengar kabar juri datang bertandang. Kota langsung tampak bersih dan apik, tapi semuanya tak lebih dari pemandangan artifisial. Kebiasaan tercela ini menyebabkan Adipura—sebagian atau kebanyakan—jatuh ke tangan kota yang satuan tugas pengamanannya paling trengginas menyingkirkan sementara semua hal yang membuat wajah kota bopeng dan busuk.
Ketimbang menjadi piala penanda kebanggaan semu pemerintah daerah, atau alat menarik simpati rakyatnya dalam pemilihan kepala daerah, penyelenggaraan Adipura perlu diperbaiki. Untuk mengembalikan gengsi Adipura, setiap tahun cukup lima sampai sepuluh kota yang mendapatkan trofi ini. Penjurian sebaiknya melibatkan tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan ahli lingkungan independen, mendampingi anggota dari Kementerian Lingkungan Hidup. Saran ini semakin relevan bila kelak Komisi Pemberantasan Korupsi membuktikan bahwa anggota juri dari kementerian itu benar menerima uang suap dari Wali Kota Bekasi.
Adipura pasti bukan bukti sebuah kota mampu menjawab persoalan penataan lingkungan dan kebersihan. Apalagi semakin lama jumlah penduduk semakin banyak, dan beban pemerintah daerah menata kota semakin berat. Maka—seperti pendapat arsitek Danang Priatmodjo—Adipura hendaknya tidak diberikan atas dasar penilaian kebersihan dan keindahan saja. Kemampuan pemerintah daerah menyediakan ruang publik yang layak bagi penduduk patut menjadi pertimbangan penting. Bupati dan wali kota mestinya tidak hanya berpacu mengeluarkan izin membangun mal dan pusat belanja, tapi juga membangun taman kota dan lapangan terbuka yang bebas digunakan rakyat tanpa perlu membayar.
Bila tak ada kota yang sanggup memenuhi kriteria tersedianya ruang publik yang cukup bagi warga daerah, penyelenggara Adipura tak perlu memaksa mencari-cari pemenang dengan menurunkan bobot penilaian. Dengan kata lain, Adipura hanya diberikan kepada daerah atau kota yang pemimpin dan masyarakatnya bekerja keras menata lingkungan dan menciptakan kebersihan. Semua ini tak akan tercapai selama piala Adipura bisa diraih dengan cara menyuap—seperti yang diduga terjadi di Bekasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo