Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARUDA seperti bergegas hendak membentangkan sayap. Maskapai penerbangan pelat merah ini ngebut menuju lantai bursa. Sebuah langkah yang layak disorot serius, karena kita tak ingin kisruh penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) PT Krakatau Steel kembali berulang.
Targetnya, IPO digeber pada Februari tahun depan. Pemerintah berencana melepas kepemilikan 30 persen saham PT Garuda Indonesia. Dana publik yang diincar senilai US$ 300-400 juta atau setara dengan Rp 2,75-3,2 triliun.
Rasanan langkah go public ini sebenarnya sudah muncul sejak tujuh tahun lalu. Sial, Garuda yang bongsor tidak gampang melaju. Inefisiensi di segala lini membuat ia tidak kompetitif. Bahkan, pada Juli 2009, rute penerbangan menuju dan dari Eropa dibekukan dengan alasan keamanan tidak terjamin. Eropa baru memulihkan jalur ini lima bulan lalu.
Langganan rugi membuat maskapai ini terbelit utang kronis. Bertahun-tahun Garuda berusaha keras merestrukturisasi utang, termasuk dengan formula debt swap. Utang pokok US$ 100 juta kepada Bank Mandiri dikonversi dengan kepemilikan sepuluh persen saham Garuda. Tiga tahun terakhir, setelah utang direstrukturisasi, Garuda mulai mencetak laba. Rapor merah perlahan terhapus.
Bukan berarti Garuda sudah sehat betul. Kuartal ketiga lalu beredar kabar maskapai ini merugi. Konon, kerugian ini lantaran rute Eropa masih membutuhkan gerojokan investasi dan penyesuaian. Meskipun telah dibantah, kabar rugi ini menunjukkan bahwa status kesehatan Garuda belum stabil. Masih gampang masuk angin.
Masuk angin yang paling parah terjadi dua pekan lalu. Perubahan sistem informasi telah membikin Garuda kacau-balau. Jadwal penerbangan, pilot, dan armada kalang kabut. Ribuan penumpang dirugikan. Jelas, kisruh ini membuat citra maskapai jadi buram dan berisiko. Jika proses IPO dipaksakan, selagi sistem dan citra maskapai belum sembuh betul, taruhan yang amat mahal menanti. Valuasi saham perdana bisa ambrol.
Kita juga belum lupa akan kontroversi penjualan saham perdana PT Krakatau Steel. Harga yang dipatok, yakni Rp 850 per lembar saham, dituding terlalu murah dan kurang maksimal memberikan keuntungan bagi negara-selain ihwal alokasi saham di pasar perdana yang tak transparan.
Garuda, seperti halnya Krakatau, memiliki gambaran prospek serupa. Target konsumen kedua badan usaha milik negara ini amat luas, permintaan terus melaju, dan potensi pengembangan pasarnya cukup menjanjikan. Valuasi IPO keduanya bisa maksimal jika ditangani secara profesional, tidak terkontaminasi ekonomi biaya tinggi. Praktek tercela mengejar upeti untuk para politikus, pejabat, juga media tak boleh terjadi lagi.
Perusahaan sekelas Garuda semestinya juga jangan hanya bertarung menggaet duit di Bursa Efek Indonesia. Tak ada salahnya mencoba menjemput investasi di bursa yang berdaya magnet ekstrakuat seperti di Singapura, Seoul, atau New York. Potensi pendanaan yang bisa diraih jauh lebih besar dan menguntungkan.
Sudah pasti langkah menuju pasar global perlu persiapan ekstraserius. Pembenahan serius kinerja korporasi tidak bisa dielakkan. Efisiensi, pelayanan, ketepatan, dan akuntabilitas harus dipacu. Jadwal penerbangan, misalnya, tak boleh ditarik-ulur hanya karena gertakan pejabat seperti yang berkali-kali terjadi.
Satu lagi yang harus dipastikan, proses penawaran saham perdana tak boleh diwarnai agenda politik. Tak boleh lagi ada pihak yang memburu-buru waktu IPO hanya karena mengejar setoran upeti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo