Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gambar Nabi, Pujaan atau Mainan

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu’bah Asa

  • Wartawan Senior

    Seorang kawan membuka dialog dengan saya, lewat pesan pendek (SMS), dengan segala singkatannya, yang kalau ”diterjemahkan” akan menjadi begini:

    ”Bagaimana kirakira sikap Nabi Muhammad, andai beliau hidup sekarang, menghadapi heboh karikatur beliau?”

    Saya menjawab, agak sekenanya: ”Akan jengkel juga, lalu menyuruh buang.”

    Rupanya ada yang diinginkannya: ”Mengapa Anda tidak menulis kolom dan menjadikan itu pembuka?”

    ”Tidak cocok,” jawab saya. ”Sebab Nabi Muhammad yang kita bayangkan seperti itu tidak ada.”

    Tidak ada? Sebenarnya jawaban saya kurang pas. Nabi Muhammad yang kita bayangkan seperti itu tentu saja ada, yaitu dalam diri kita, kalau kita memang membayangkannya begitu. Kita tahu bahwa tokohtokoh agama punya kehidupannya sendiri dalam batin kita, yang tak usah sama dengan kenyataan masingmasingnya, dan boleh berbeda antara yang dalam diri satu orang dengan yang lain. Begitulah jawaban atas pertanyaan mengenai ”reaksi Nabi” terhadap karikatur diri beliau bisa beragam. Orang yang ”lebih keras” mungkin akan melukiskan Nabi ”sangat murka”—malah memerintahkan mengusut siapasiapa para pelukis itu. Yang ”lebih santun” dari saya, sebaliknya, bisa menjawab, ”Ah, Nabi palingpaling tersenyum, dan menyuruh para sahabat beliau mengajak para kartunis itu ke lingkungan mereka untuk mendengar pelajaran.”

    Sementara itu, bukankah yang hidup dalam kepala para kartunis Denmark itu Nabi Muhammad yang memang lain? Nabi yang udik, yang ndeso, kelihatan kejam, dan tidak beradab? Begitulah berbagai ”Nabi Muhammad” hidup dalam diri berbagai orang. Bila terdapat doa, dalam Islam, agar Allah berkenan ”memperbaiki agama kami”, maka agama itu, setelah tentu saja bukan Islam sebagai agama, adalah terutama agama yang berada di dalam diri, yang sangat privat sifatnya, berlainlainan warnanya, termasuk ke dalamnya perbedabedaan persepsi mengenai Nabi.

    Hanya saja persepsi itu, di tingkat publik, harus dicek kepada sejarah. Masalahnya ialah kalau ada yang khas mengenai Islam, dan itu dalam hal transmisi ajaran, maka itu adalah kebanggaannya akan keaslian doktrin berdasarkan catatan sejarah. Kebenaran adalah kebenaran sejarah. Nabi Muhammad, dan begitu pun semua nabi, adalah manusia sejarah. Di sisi lain, tidak bakal seorang Islam mengguratkan gambar wajah nabi mereka tanpa—dan tentu saja tidak akan pernah—mendapat dukungan dari dokumen sejarah. Seberapa pun ramainya para pengkritik di luar Islam bergunjing mengenai satudua kelemahan metodologis hadis, hadis tetap dipegangi justru karena berbagai kritik itu umumnya sudah dilampaui para sarjana umat yang sudah lebih dulu bersitegang untuk menapis hadishadis bagi pencarian yang akhirnya mereka nilai sahih, dan dari sana muncul berbagai konsensus. Jangankan lagi mengenai teks AlQuran.

    Karena itu, siapa bisa mengatakan bahwa sebuah gambar adalah gambar Nabi Muhammad? ”Apa buktinya?” tanya para ulama. Tidak, tidak ada masalah ”sekadar pelahiran artistik”. Dalam satu hadis yang tidak masyhur, satu kali Nabi Muhammad menuturkan pertemuannya dengan Isa Almasih (dari antara arwah para nabi) dalam pengalaman mikraj, dan melukiskan Yesus Kristus itu sebagai lakilaki yang, antara lain, ”berambut lurus, berjalan agak membungkuk, dengan wajah yang selalu kelihatan habis mandi (atau habis berwudu).” Bisakah orang Islam membayangkan sosok yang juga mereka muliakan itu?

    Tidak mudah: ”pelahiran artistik”, gambar Yesus yang tak seorang tidak mengenalnya, menguasai pikiran seluruh bumi. Saya tidak tahu apakah hal seperti itu benar yang masuk dalam pertimbangan golongan penolak ikonikon dalam Ikonoklasme yang melanda Gereja Timur di era Bizantium abadabad ke89 Masehi, ketika sebagian jemaat menampik pemujaan gambargambar keagamaan yang sampaisampai dianggap menghadirkan tokoh yang digambarkan secara nyata, dan disejajarkan dengan doa dan sakramen—perpecahan yang melibatkan Kaisar dan akhirnya juga selesai dengan campur tangan Kaisar. Tapi hal yang seperti itu bisa dijadikan sebab pertama, untuk kalangan Islam, dari pengharaman gambar nabi mereka.

    Sebab kedua adalah faktor pemujaan. Ustadz A. Hassan, sesepuh Persis (Persatuan Islam, ormas Moh. Natsir dulu), malah menjadikan motif pemujaan itu satusatunya penyebab diharamkannya gambar—”lantaran zaman itu zaman yang penuh dengan penyembahan berhala, sedang orangorang Islamnya sendiri masih baru meninggalkan beribadat kepada berhala,” katanya dalam sebuah buku tanyajawabnya yang luas beredar. Dengan demikian, semua lukisan maupun patung yang tidak dikhawatirkan disembah, baik binatang maupun orang, utuh maupun sebagian badan, tidak dilarang.

    Itu memang berbeda dari pengiraan sebagian orang yang masih mempermasalahkan ”pelarangan teoretis” (alias tidak lagi dituruti) terhadap gambar makhluk bernyawa (sebagian dari mereka menganggap foto ”bukan gambar”, melainkan ”bayangan yang direkam”) berdasarkan hadis Nabi yang malahan ada yang memuat ancaman kepada si penggambar untuk ”memberikan nyawa” kepada yang digambarnya, yakni di akhirat nanti.

    Begitu ”massif”nya, rupanya, dampak pelarangan itu selama berabadabad, sehingga, dikatakan almarhum Prof. Ahmad Sadali, pelukis, ”Islamlah yang sebetulnya bertanggung jawab atas lahirnya seni lukis abstrak,” yakni karena pelarangan menggambar makhluk bernyawa. Inilah juga, ketiadaan gambar Rasulullah, yang boleh kita pikirkan bersamasama dengan kenyataan maraknya syairsyair kerinduan kepada Muhammad s.a.w. itu dari abad ke abad. Tidak satu agama pun di dunia ini merekam rasa kangen yang begitu dalam, dan begitu menyalanyala, seperti Islam dengan kegilaan para sufinya, misalnya, kepada kecintaan mereka yang potretnya tidak ada di tangan, yang tidak bisa mereka dapati wajahnya berwujud ikon, pribadi yang kemarin dengan dungu dan tanpa empati digambarkan para karikaturis dengan jeleknya.

    Tetapi bagi A. Hassan tetap. Tokoh yang sebetulnya ahli hadis (yang ”tekstualis”) itu menyimpulkan bahwa yang diancam sebenarnya adalah ”orang yang membikin gambar yang disembah atau yang dikhawatirkan akan disembah.” Karena itu, untuk pertanyaan ”apa hukumnya patung yang tidak ditakuti akan disembah orang”, jawab guru yang dulu jadi kawan polemik Bung Karno ini: ”Tidak haram. Kalau haram, tentu Rasulullah tidak biarkan Aisyah main anakanak patung di hadapannya.” (Dilihat dari sini tampak alangkah ”jauh tertinggal”nya kaum Taliban di Afghanistan tempo hari, yang mengharamkan semua gambar, termasuk televisi, semua majalah, semua koran, foto, dan memaksa semua orang tinggal hidup dalam dunia yang gelap).

    Hanya, relevan dengan perbincangan kita, yang dikhawatirkan A. Hassan ialah pemujaan lewat gambar orangorang besar agama. Katanya, ”Biasanya, yang orangorang jadikan persembahan itu ialah Nabi dan orangorang yang shaleh dan ketuaketua agama.” Karena itu pula ia menyatakan setuju dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang memutuskan ”supaya diturunkan gambargambar ketuaketua Islam, seperti yth. Alm. K.H.A. Dahlan.”

    Supaya tidak dipuja, maksud mereka. Meskipun, tentu, tidak berarti mentangmentang tidak boleh dipuja, ”ketuaketua” itu lalu boleh dijadikan bahan tertawaan. Apa lagi ”pucuk pimpinan” mereka, Nabi Muhammad. Masih perlukah ditanyakan bagaimana komentar sang Nabi, andai hidup sekarang, terhadap kasus karikatur yang heboh itu? Tanyajawab bab ”reaksi Nabi” itu telah menghadirkan bayangan ideal Nabi yang dilepaskan dari setting sejarah, dan Nabi yang ”bebas sejarah” itu ditaruh dalam konteks zaman yang sama sekali berbeda. Andai hidup di zaman ini, Nabi Muhammad tentu bukan Nabi Muhammad yang itu. Dan dunia ini bukan dunia ini, semua tahu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus