Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pelajaran dari Satu Tindakan Bodoh

Kasus karikatur Nabi Muhammad adalah fenomena baru di dunia yang mengglobal. Protes, dengan bermacam ekspresinya, semakin luas.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Protes kartun Nabi Muhammad makin luas. Di Indonesia, demonstrasi sampai tuntutan memboikot produk dan pemutusan hubungan diplomatik dengan Denmark, negaranya koran JyllandPosten memuat karikatur itu, 30 September 2005.

Sejumlah tokoh di Indonesia khawatir gejolak berubah menjadi sentimen agama dan perseteruan antara Barat dan Islam. Sebenarnya, jalan penyelesaian tak sulit. Pemerintah Denmark dan koran JyllandPosten segera meminta maaf, mengakui kalau mereka salah.

Ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin

Tak ada langkah jitu bagi pemerintah Denmark selain meminta maaf. Mereka harus menyatakan secara terbuka, termasuk harian yang memuat karikatur itu. ”Mereka harus mengakui telah keliru,” kata Ma’ruf Amin. Mungkin mereka tidak paham kalau kartun itu bisa menyulut kemarahan karena menghina umat Islam.

Ketika melihat gambar itu di internet, Ma’ruf merasa pembuatnya sangat berani. Ajaran Islam tidak membolehkan visualisasi Nabi Muhammad. Dia yakin betul kalau itu akan menuai protes. Ternyata benar, dan protesnya bahkan mendunia.

Mereka tidak paham bahwa kebebasan ada batasnya dan tidak boleh menyentuh wilayah sensitif umat lain. Dia menyayangkan sikap mereka yang tidak mau meminta maaf. Persoalan kini kian runyam. Selain mereka tak mau meminta maaf, Amerika Serikat, Inggris, dan negara Eropa lainnya menyatakan dukungannya kepada Denmark. ”Saya tidak tahu kenapa,” katanya.

Cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat

Pertama kali melihat karikatur Nabi Muhammad, tiga hal tebersit di pikiran Komaruddin Hidayat. Perbuatan iseng, dungu, menghina, atau menabuh genderang perang. Sampai sekarang dia belum menemukan jawabannya. Apalagi, kisruh belum berakhir karena banyak negara ikut membuat situasi makin panas.

”Ini sebuah fenomena baru,” katanya. Semua komunitas agama saat ini memasuki pengalaman anyar yang disebut masyarakat global. Kartun Nabi Muhammad bisa dilihat dari tiga ikatan, yaitu agama, lokal, dan global. Islam dan Kristen memiliki jaringan dunia yang potensial berseberangan dengan budaya global yang sekuler.

Bagi umat Islam, memvisualkan sosok Nabi Muhammad adalah perbuatan terlarang. Muhammad adalah sosok universal yang diikuti sifat dan tabiatnya. Tidak ada nasionalisasi atau arabisasi Muhammad. Tapi, bagi orang Denmark ini soal biasa saja. ”Ini menimbulkan benturan,” katanya.

Dia melihat dunia Barat yang tidak konsisten. Mereka bicara demokrasi, hak asasi, dan pluralisme, tapi tidak bisa menghargai orang lain. Mereka bersuara tentang kebebasan pers, tapi tak berani bicara tentang Holocaust, cerita pembantaian kaum Yahudi oleh rezim Hitler.

Menurut Komaruddin, Barat harus diberi pelajaran melalui demonstrasi umat Islam dunia. ”Mereka harus mengakui kesalahan dan minta maaf. Jika tidak, akan sulit dikendalikan,” katanya.

Presiden PKS Tifatul Sembiring

Dia melihat pemuatan karikatur itu sebagai tindakan konyol dan bodoh yang akhirnya kontraproduktif. ”Ini bukan yang pertama. Sebelumnya sudah banyak,” katanya. Agar tak makin runcing dan melebar, Tifatul mengatakan, pemerintah Denmark segera meminta maaf. Mereka harus menyadari kebebasan yang mereka agungkan itu juga harus tidak mengganggu kebebasan orang lain. ”Bebas tapi tidak boleh menghina orang lain,” katanya.

Bagi kebanyakan orang muslim, Nabi tidak bisa divisualkan. Karikatur itu tak hanya melanggar keyakinan umat Islam, tapi juga menghina karena adanya pemantik bom di bagian kepala. ”Ini sangat provokatif,” katanya.

Jika pemerintah Denmark tetap kukuh dengan tameng kebebasannya, kata Tifatul, persoalan akan melebar. Itu akan berakibat pada rakyat Denmark. Beberapa negara muslim memboikot produk makanan negara itu. Jika berlangsung lama, ekonomi mereka bisa oleng.

Dia tak bisa membayangkan apa yang bisa meredam kemarahan umat Islam dunia. Permintaan maaf memang akan mengurangi tekanan kemarahan, tapi tidak sertamerta serentak meredam gejolak karena menyangkut sesuatu yang diyakini.

Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia Fauzan alAnshari

Fauzan mengetahui adanya kartun itu pertama kali dari internet, awal Februari 2006. ”Darah saya langsung mendidih, tersinggung dengan pemuatan gambar itu. Mereka berhasil membangkitkan amarah orang,” katanya. Apalagi, pemuatan gambar kartun Nabi Muhammad dilakukan secara iseng oleh JyllandsPosten.

MMI mengirim nota protes ke Kedutaan Besar Denmark di Jakarta. Duta Besar Denmark, Niels Erik Andersen, ketika itu memahaminya dan meminta maaf. ”Dia mengatakan tak ada niat melecehkan atau menghina Nabinya umat Islam. Itu hanya ekspresi kebebasan yang dijamin di Denmark,” kata Fauzan.

Pernyataan Andersen ternyata berbeda dengan Perdana Menteri Denmark dan Ratu Margrethe II. Ratu Denmark menganggap pemerintahnya terlalu lembek terhadap Islam. ”Sepertinya Denmark memusuhi Islam. Karena itu, kami meminta pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Denmark, memboikot produknya, dan negara Eropa lain yang memuat ulang kartun Nabi Muhammad itu,” katanya.

Pemuatan kartun itu, menurut Fauzan, cara licik Barat mengganggu Islam. ”Kalau ingin perang dengan Islam, nyatakan saja dengan gentle, seperti pernah diucapkan Presiden Bush soal crusade,” katanya. Sekarang, garagara umat Islam di seluruh dunia marah, opini menjadi bergeser. Itu seakan menjustifikasi kalau orang Islam itu teroris.

Wakil Sekretaris Umum Persatuan Gereja Indonesia Weinata Sairin.

Dalam sebuah masyarakat majemuk, tiap orang harus saling menghargai nilai yang dianut agama lain. Pemuatan karikatur Nabi Muhammad yang sangat dihormati umat Islam adalah sebuah pelecehan dan penghinaan terhadap agama tersebut. ”Apa pun alasannya, sudah di luar standar atau koridor baku,” kata Weinata Sairin.

Jika ini terjadi pada umat Kristen dalam bentuk tulisan, misalnya, pasti akan ada penolakan. Weinata melihat ini wujud tidak menghargai nilai yang dianut agama lain. Katanya, di dunia majemuk dan global sekarang ini, memahami dengan baik nilai yang dianut orang lain adalah sebuah keharusan. ”Tidak ada pilihan kalau ingin membangun kehidupan yang baik,” katanya.

Dia berharap adalah langkah konkret menjaga agar konflik tidak melebar dan meruncing. ”Jangan sampai konflik meluas menjadi sentimen agama dan intervensi dunia Barat terhadap Islam,” katanya. Pemerintah Denmark, katanya, harus secepatnya minta maaf. Mereka seharusnya tak berlindung di balik kebebasan pers karena sudah menyangkut wilayah sensitif. Kemarahan umat Islam yang, menurut dia, dalam batas wajar, harus direspons baik.

Doktor Seni Rupa dan Desain ITB Prijanto S.

Sebagai kartun, menurut Prijanto, gambarnya biasabiasanya saja. ”Mungkin karena itu terbit di Denmark ya,” ujarnya. Kartun itu menjadi masalah karena dipublikasikan dan dimuat banyak media di banyak negara. ”Jika disimpan sendiri mah nggak apaapa,” katanya.

Kartun yang tampil di JyllandPosten dan beberapa media di Eropa itu, menurut Prijanto, terlalu gampang mengambil kesimpulan bahwa teroris identik dengan Arab, sama dengan Islam, dan Nabi Muhammad. ”Terlalu dangkal dan kurang observasi,” katanya. Apalagi, dasar ide kartun itu adalah untuk ilustrasi buku Koran and The Prophet’s Life. ”Ini kan jauh dari ide tersebut. Tampak sekali tidak sensitif, karena dipublikasikan secara meluas,” kata Prijanto.

Sebagai kartunis, apalagi yang hidup di Timur, ia menilai kartun itu tak sesuai adat ketimuran. ”Bukan hanya pada Islam, Hindu atau Buddha juga tak boleh dibuat mainmain seperti itu,” katanya. Mungkin pembuatan kartun yang menyinggung agama, menurut Prijanto, itu tipikal orang barat yang tak mau peduli dan arogan.

Sebelum membuat kartun, Prijanto sudah memperhitungkan dari awal kemungkinan pihak yang akan terkena dampak. ”Sudah ada filter dalam diri saya, mana yang boleh dan pantas untuk dibuatkan kartunnya,” ujarnya.

Kalau kritik sosial, menurut dia, tak menjadi masalah. ”Pasti ada yang suka atau tidak suka dengan kartun yang saya buat, tapi tak bakal saya menyentuh wilayah agama atau wilayah sensitif lainnya,” kata doktor yang menuntaskan Disertasi ”Metafor pada Kartun Tahun 1950an” itu.

Leanika Tanjung, Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus