Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Digoyang Penjualan Saham

Penjualan Shin Corporation menggoyang kekuasaan Thaksin. Oposisi mengumpulkan bukti.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK dinyana, penjualan 49,6 persen saham keluarganya di Shin Corporation ke Temasek, pada 23 Januari lalu, bisa berakibat fatal untuk kedudukan Thaksin Shinawatra. Hingga pekan lalu, serentetan demonstrasi, termasuk yang diorganisasikan perguru-an tinggi, menuntut Perdana Menteri Thailand itu mundur.

Bahkan taipan media bekas rekan bisnisnya, Sondhi Limthongkul, berubah menjadi lawan. Sondhi menggalang unjuk rasa dan dukungan penduduk pedesaan—basis kekuatan Thaksin selama ini—yang meminta sang Perdana Menteri meletakkan jabatan.

Bagi Thaksin, melepas semua saham keluarga di Shin Corp. ke perusahaan investasi milik pemerintah Singap-ura, Temasek, adalah tindakan patriotik. Thaksin dan keluarga terlepas dari konflik kepentingan karena tidak punya selembar saham pun di perusahaan yang dibangunnya sejak 1981. ”Anak-anak ingin saya fokus pada politik, sekaligus terhindar dari protes,” katanya.

Ini juga sesuai dengan Konstitusi Rakyat dan undang-undang yang mengharamkan perdana menteri dan jajarannya punya usaha, saham, kerja sama di perusahaan tertentu, dan menjadi pegawai perusahaan apa pun. Di masa jabatan kedua, setelah menang telak dalam pemilu Februari 2004, Thaksin bersikukuh mempertahankan jabatan. Dia hanya mundur jika diperintahkan Raja Bhumibol Adulyadej.

Di mana letak ”kesalahan” Thaksin? Penjualan 1,4 miliar lembar saham itu menghasilkan uang kontan US$ 1,88 miliar (sekitar Rp 17 triliun) bebas pajak. Publik pun berspekulasi, akan diinvestasikan di bidang apa uang sebesar itu? Padahal, sebelum terjun ke politik, Thaksin pernah menyatakan tidak butuh mencari tambahan kekayaan.

Mengutip pendapat Surichai Wan-kaew, dosen ilmu politik Universitas Chulalongkorn, Bangkok, ada banyak masalah dalam struktur politik Thailand. Mulai dari penghindaran pajak, kepemimpinan, tanggung jawab, sampai etika pengambilan keputusan. Meski sudah tersedia peraturan yang menjamin terwujudnya pemerintahan bersih, se-perti Konstitusi Rakyat, tetap ada lubang hukum yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu.

Sejak menjabat perdana menteri, pada 2001, Thaksin tak pernah lepas dari kecurigaan mencampurkan kepentingan ne-gara dengan keluarga. Dia juga tidak be-nar-benar membuka daftar kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional.

Saham Thaksin di Shin Corp., misalnya, tiba-tiba berpindah kepemilikan ke tukang kebun dan s-o-pir keluarganya. Thaksin tidak bisa menjelaskan kepada siapa dia memindahkan sahamnya di Ample Rich Investment, perusahaan investasi yang didirikannya pada 11 Juni 1999 di British Virgin Islands, tempat bebas pajak.

Pemerintahan Thaksin ju-ga sering mem-buat kebi-j-akan menguntungkan di bidang-bidang usaha Shin Corp., ya-itu telekomunikasi, penerbangan, pertele-vi-si-an, dan perusahaan keuangan. Ketu-lusan Thaksin pun—dengan melepas sa-ham-saham atas namanya—mulai diragukan. Apalagi setelah janji Thaksin membe-rantas korupsi, terutama di kalangan sen-diri, ternyata pepesan kosong be-laka.

Selama dia menjabat, tak satu pun kasus korupsi yang menyangkut anggota partainya, Thai Rak Thai, disidangkan. Ca-dangan devisa nasional yang menurun drastis membuat kalangan terdidik perkotaan mempertanyakan program po-pulis Thaksin, seperti bantuan sa-tu juta baht (sekitar Rp 234 juta) untuk setiap desa, dan layanan kesehatan mu-rah.

Tantangan Thaksin mempertahan-kan kekuasaan, yang didukung 73 persen kursi di parlemen, makin berat. Setelah mengukir ke-me-nang-an—Thai Rak Thai, sebagai partai pertama yang memerintah t-anpa berkoalisi—Thaksin mungkin bisa tertimpa keka-lahan besar.

Partai Demokrat, p-ar-tai oposisi, telah me-ngumpulkan bukti-bukti bagaimana Thaksin m-engulik-ulik perputaran uang—mengakali jerat hukum dan pajak—hin-gga keluarganya mendapat rezeki nomplok. Makin tak jelas apakah Thaksin mampu bertahan.

Leanika Tanjung (The Nation, Bangkok Post, BBC, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus