SEMBILAN puluh sembilan (angka ini memang tepat) ibu-ibu Desa Pangauban, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pertengahan Juli lalu mendatangi Kantor Kecamatan Lelea. Mereka berteriak-teriak, menuntut supaya kuwu (kepala desa) mereka diganti. Gara-gara kuwu, kata mereka, tikus merajalela di sawah dan panen pasti gagal. "Apa kuwu itu datang membawa tikus?" tanya Camat, setengah berkelakar. "Bukan Pak. Kuwu melarang upacara adat, jadinya tikus dan hama lain mengancam para petani!" teriak salah seorang. Camat kebetulan tak bisa menerima mereka lebih lama, dan ibu-ibu merasa tak puas. Apa boleh buat. Dua hari kemudian, rombongan ini bergerak ke Balai Desa. Kuwu Pangauban memang orang baru. Ia masih pejabat sementara, droping dari kabupaten. Dulu, Pak Kuwu -- namanya Narka -- heran ketika mendengar penduduk mau menyelenggarakan upacara adat yang mahal itu. Di desa itu ada tiga upacara yang berurusan dengan sawah. Ada sedekah bumi, menjelang musim hujan. Lalu mapag tamba, setelah tanaman padi berumur satu bulan. Kemudian mapag sari menjelang panen. Semuanya dilangsungkan dengan tumpengan sebagai sesaji, lalu nanggap wayang golek semalam suntuk. Setiap upacara biayanya sekitar Rp 500.000, dan itu dipikul patungan oleh penduduk yang berjumlah hampir 4.000 jiwa. Kuwu sendiri, sebelum jabatan sementaranya yang sekarang, ikut ambil peranan sebagai koordinator. Tapi sekarang ia dikabarkan terpengaruh beberapa ulama yang menyebut upacara adat itu takhayul dan syirik. "Tapi setelah kuwu menghapuskan upacara adat, sawah-sawah dimakan tikus," kata Hajah Marwiyah, 35. Ibu ini (haji, lho), juga ikut demonstrasi, bahkan seolah-olah penggeraknya. Ia punya sawah setengah hektar, dan panen tahun lalu menghasilkan 24 kuintal. "Sekarang tak mungkin bisa panen," katanya. Menurut Bu Haji, semula ia mau membawa sedikit orang saja ke kantor Camat. "Tapi ibu-ibu di sini 'kan persatuannya kuat. Mereka kayak bebek saja, ikut-ikutan, sehingga seperti demonstrasi," kata wanita dengan dua anak ini. Kenapa kaum bapak tak ikut? "Bapak-bapak di sini, sih, cuma memble aje." Tapi sebenarnya bukan karena memble. Soalnya, ada perhitungan lain, konon. "Cara demonstrasi seperti itu berbahaya. Saya sudah menegur istri saya," kats Haji Yasin, suami Hajah Marwiyah. Teguran itu tentu saja muncul belakangan setelah demonstrasi itu dilarang Danramil. Adapun Narka, kuwu yang diusulkan diganti itu, tidak bergeming. Hama tikus itu merajalela bukan hanya di Pangauban, katanya, tetapi di seluruh Kabupaten Indramayu. Lalu ia bersilat lidah, "Apa ada yang menjamin, kalau saya berhenti jadi kuwu, lantas tikus itu berhenti melalap padi?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini