DUA Piala Citra tidak mampu mengubah penampilan Deddy Mizwar sehari-hari. Ia tetap saja muncul sederhana, walau dikerumuni penggemarnya di Hotel Sanur Beach yang berbintang lima atau tampil di panggung terbuka Werdi Budaya, Denpasar. Ini adalah acara Pekan Film Daerah Bali yang dibuka Jumat malam pekan lalu dan berakhir Senin malam pekan ini, diisi diskusi, pemutaran film, dan pawai. Dan Deddy Mizwar tampil dalam semua kegiatan itu. Anak Betawi ini, yang memang tak biasa dengan dunia gemerlapan para bintang, mengaku tidak punya jas. "Bukannya aku tak bisa. Tapi aku tak suka suasana seperti itu." Selama pekan itu, jika mobil jemputan panitia tak muncul, Deddy terkadang naik bemo. Atau nebeng mobil VW Safari yang disewa wartawan. "Di Jakarta, kalau aku pulang dari tempat pacar, aku biasa naik mikrolet." Bukan Deddy tak suka tampil di depan umum. Ia sibuk melambai-lambaikan tangan dan menerima salam khalayak yang memenuhi jalan ketika rombongan artis Jakarta diarak di Denpasar. Ia hadir di gedung bioskop yang memutar film yang dibintanginya. "Kita harus menghargai penonton film nasional, di tengah tidak seimbangnya jumlah film nasional dan film impor," katanya. Deddy Mizwar, anak ketiga dari enam bersaudara yang lahir 5 Maret 1955, adalah aktor yang menonjol sekarang ini. Ia sudah malang-melintang di panggung drama pada awal 1970-an. Pertama kali mendapat peran utama dalam teater pada 1973, lewat pementasan Matahari Sore Bersinar Lembayung karya N. Riantiarno yang disutradarai Aldizar Syafar. Ialah pemain yang, bersama grupnya, dulu ditandai dengan lagu dialognya yang model Indo alias tak sama dengan cara bicara sehari-hari ("Tidak begittun, Mammaaa ... Akku Chinta Khau!"), dengan naskah-naskah yang kebanyakan blasteran. Tahun 1975 ia pemain terbaik Festival Teater Remaja se-Jakarta, acara tahunan Dewan Kesenian Jakarta. Grupnya sendiri Teater Remaja Jakarta namanya -- meraih kejuaraan pertama dan berhak mendapat pembinaan dan sekaligus kesempatan pentas di TIM. "Saat itu aku memang sudah gila-gilaan di teater. Tak terbayang sama sekali akan melangkah ke film." Adalah Wahyu Sihombing, salah seorang pembina teater para muda itu, yang lalu menawari Deddy bermain film dalam Cinta Abadi, 1976. Langsung peran utama. "Banyak hal yang mengagetkan. Aku masih buta dunia yang kumasuki. Apalagi shooting hari pertama itu kebetulan di hari kelima pementasan dramaku di TIM. Adegan yang kulakukan: berpelukan, terus berciuman, dengan lawan main yang tidak kukenal. Aku gemetar. Ha hak haak ...(tertawa). Di panggung teater, adegan berciuman paling-paling hanya simbolis. Tapi di film, sungguhan ! Ditonton banyak orang. Diterpa lampu sekian watt. Panas. "Saya kemudian banyak belajar teknik perfilman. Format film harus juga diketahui. Kalau yang di-shoot hanya mata, bagaimana mengorganisir seluruh kemampuan akting pada mata? Belum lagi kalau adegan yang diambil melompat-lompat. Dalam teater, itu 'kan tidak ada." Bukankah semuanya bisa diberi petunjuk sutradara? "Memang. Tapi yang keluar nanti akting yang teknis saja. Bukan akting wajar. Memerankan tokoh (di film maupun teater) adalah menjadikan tokoh itu manusia. Untuk itu perlu analisa." Dalam Arie Hanggara, film yang menyebabkannya memperoleh Citra untuk pemeran utama pria, ia menganalisa tokoh Machtino dengan, antara lain, mengunjunginya di penjara. "Karena, modelnya sudah ada," katanya. "Di film Opera Jakarta, jenderal yang saya mainkan adalah gabungan dari banyak hasil pengamatan. Memegang tongkat, saya tiru dari seorang tokoh. Berjalan, dari tokoh lain. Begitu banyaknya, sehingga sosok jenderal di Opera Jakarta pasti tak ada modelnya, ha hak haak .... "Stanislavsky sudah bilang akting itu bukan sekadar gerakan dan ucapan, tapi motivasi apa yang mendorong lahirnya gerakan dan ucapan. Ini 'kan perlu penghayatan mendalam. Aktor itu harus banyak belajar, ha hak haak ...." Dan dalam hal itulah ia melihat kelemahan dunia bintang film Indonesia. "Yang diperlukan para bintang saat ini adalah bagaimana menciptakan iklim kebutuhan belajar itu," katanya. Ia sendiri mengakui, ketika memasuki Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, 1980, yang dicarinya adalah kebutuhan belajar. "Banyak bintang, aku tak menyebutkan nama, yang populer pada suatu periode, tetapi karena tak mau belajar meningkatkan akting, hilang dari peredaran. "Yang saya katakan adalah belajar terus-menerus. Tidak selalu harus teater. Jenny Rahman awal-awalnya hanya bermodal paras cantik dan keberanian memamerkan tubuh. Tapi ia segera belajar lebih tekun ketika bersama Teguh Karya -- kemudian dipoles lagi ketika ditangani Sjumandjaja. Christine Hakim juga begitu, tidak lewat teater." Menumbuhkan iklim belajar ini, menurut Deddy, bisa lewat bentuk sanggar, seperti yang dilakukan Teguh Karya. Trend film nasional sekarang ini, dalam pengamatan anak muda yang suka wayang golek ini, sudah membutuhkan aktor dan aktris yang matang. Penonton sudah mulai memperhatikan akting, tidak lagi paha dan pipi yang mulus. "Buktinya film-film unggulan FFI juga menyedot banyak penonton. Produser pun sudah mulai membuat film yang tidak hanya mengikuti selera pasar. Lagi pula, apa, sih, selera pasar ? Kita bisa mengatur selera itu ! ha ha...." Dari 21 film yang dibintanginya, Deddy sulit mengatakan mana filmnya yang paling bagus, mana permainannya yang paling menonjol. "Kalau saya bermain film, saya bermain habis-habisan, seperti di teater. Karena itu, betapa tak masuk akalnya kalau ada bintang film yang bermain rangkap sampai tiga atau empat film." Tapi bujangan yang akan menikah pekan depan ini -- dengan Giselawati, sarjana komputer berdarah Sunda -- pernah bermain rangkap. Pada saat Arie Hanggara tinggal bagian akhirnya, ia sudah harus terjun dalam jadwal Pengantin Baru. "Capeknya luar biasa. Capek mikir. Kepala ini terasa pecah. Tapi, itu karena di luar perencanaan." Lalu ia tertawa lagi: hak hak hak haaaaak .... Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini