STASIUN bis Umbulharjo, Yogyakarta, menjadi riuh di suatu siang awal Juli lalu. Mulyadi menggaet uang recehan di bis kota. Bukan mencopet. Bis itu lagi nongkrong, ditinggal sopir dan kernetnya yang lagi makan. Pintu bis tak dikunci. Celakanya, Mulyadi dilihat kondektur bis lain. Ketika orang berteriak: maling, maling, Mulyadi pun lari. Cukup jauh juga, meskipun akhirnya tak bisa lolos. Ia digebuki sampai babak belur. Kemudian polisi datang. Dari kantung Mul, ditemukan uang Rp 3.125. Tapi sopir bis, Sugiyono, mengaku kehilangan uang recehan Rp 15.000. Tentu saja ia meminta surat keterangan polisi tentang jumlah Rp 15.000 itu, untuk dilaporkan kepada bosnya. Tapi bagaimana membuktikan bahwa yang hilang memang Rp 15.000? Wah. Mulyadi sendiri mengaku, tak mungkin, dong, menghitung uang yang diambilnya dari bis itu. Mana ia diteriaki seorang kondektur, lagi. Ia langsung loncat -- dan kepada orang-orang yang mengejar, ia menghamburkan sebagian recehan itu: brrrrr! Orang-orang pun serentak berkerumun seperti laron, dan Mulyadi melesat lagi. Begitu berulang-ulang, sampai akhirnya tertangkap. Cerdik, 'kan? Karena itu, polisi sekarang meminta Sugiyono, si sopir, untuk mengusut sendiri para pengambil uang yang disebarkan itu. Diminta kembali saja, kalau bisa. "Wah, yah percuma," kata si sopir. Merasa terpepet akhirnya dia bilang, "Biarlah. Itung-itung buat amal." Memang, yang memungut uang itu kebanyakan tukang becak, yang sekarang malah pada bergaya bengong, pura-pura tak tahu soal. Polisi rupanya enggan mengusut mereka. "Begitu banyaknya yang memunguti uang. Apa kami disuruh menanyai satu per satu?" kilah polisi. Mustahil, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini