PERKISAHAN NUSA Oleh: Rosihan Anwar Penerbit: Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1986, 235 halaman SEORANG kakek pulang kampung bersama cucunya. Lalu, di kampung itu, ia bercerita. "Dulu, ketika muda kakek pernah.. ." Atau, seorang ayah pulang dari negeri orang. Di tengah sanak famili, handai tolan, ia pun berkisah, "Di sana, ternyata orang suka makan...." Buku Rosihan Anwar ini mirip cerita kakek dan kisah ayah tersebut. Dengan demikian, tak perlu diharapkan dari tangan wartawan kawakan berusia 66 tahun ini satu informasi lengkap tentang suatu hal. Atau, satu pembicaraan mengenai masalah secara mendalam. Itu bukan urusan Rosihan Anwar, setidaknya dalam buku ini. Tapi, dalam buku ini: tiba-tiba satu informasi sepele tentang hidup sehari-hari kita dengar. Berita atau cerita yang nyaris sulit ditemukan di media massa yang dipenuhi masalah-masalah serius. Umpamanya, obrolan tentang wanita Aceh memakai celana panjang. Disusul dengan mengapa gadis Aceh tak suka menikah dengan pemuda sedaerah. Bahkan, gaya bicara seorang Bali yang menawarkan mobil kepada dua cewek bule bisa terangkat menjadi perhatian kita. Padahal, gaya itu tentulah sudah lazim terdengar setiap saat di pantai Kuta. Tambahan lagi, obrolan Rosihan bukanlah cerita dengan kalimat-kalimat sulit. Ini yang menjadikan pembaca, saya kira, bisa tenteram dengan buku yang gambar sampulnya kurang sesuai dengan isinya -- terlalu ramai. Bahwa Rosihan tampaknya tak ingin mengusik jidat pembacanya, misalnya, ada dalam bagian yang menceritakan ia pulang ke kampung halaman, Sumatera Barat. Lalu, ia mendengar kisah tentang ayahnya yang berkelahi melawan seorang jagoan. Cerita itu berbeda dengan yang pernah ia dengar sewaktu kecil. Tapi, dalam tulisan itu, ia tak coba mengusut cerita mana yang sesuai dengan kenyataan. Itu tidak penting dalam buku ini. Yang perlu, ada cerita dibawa Rosihan dari perjalanannya. Maka, bila mau dibanding-bandingkan, agaknya wartawan ini kini mirip seorang pelipur lara di zaman dulu. Atau tukang cerita Betawi. Tentu saja tema atau cerita itu sendiri berbeda. Rosihan tak lagi berkisah tentang putri-putri raja dan calon suaminya. Tapi, tetap ada benang merah dengan tukang cerita masa lalu itu. Misalnya, orang dari Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia ini suka sekali mengusut dan kemudian menceritakan asal-usul nama-nama kota, atau daerah. Umpamanya, Aceh dan Banjarmasin. Dan apabila si pelipur lara yang bercerita lewat mesin tulis -- bukan mulut -- ini enak diikuti, tampaknya untuk hal-hal kecil ia memang punya banyak perbendaharaan pengalaman. Mungkin bisa ditengok di tahun 1950-an ketika Rosihan masih menjadi anggota redaksi majalah Siasat. Salah satu rubrik dalam majalah itu bernama "Inilah Indonesia", berisi cerita-cerita kecil yang sayang dibuang. Pengasuh rubrik ini menamakan diri "Tjantrik", konon itulah Rosihan Anwar. Peristiwa-peristiwa aneh, unik, yang tak bakal masuk dalam buku sejarah, ternyata juga layak ditulis bahkan dibukukan. Bila kisah-kisah itu menarik banyak perhatian orang, tampaknya radar seleksi dari Rosihan memang sudah disetel untuk itu. Tapi, untuk apa semua itu? Adakah buku ini termasuk yang layak dibaca? Sebab, kata George Bernard Shaw, penulis drama besar Inggris itu, hanya sedikit buku yang layak dibaca. Orang membaca, katanya, cuma untuk membunuh waktu. Jawabnya, bagi tiap pembaca, tentunya berbeda. Yang perlu dicatat, memang tak ada soal besar, pembicaraan serius, atau laporan eksklusif. Yang ada, kejutan kecil di sana-sini, yang dikisahkan dengan enak. Bila kemudian memang muncul ide-ide dalam pikiran pembaca sementara membaca Perkisahan Nusa, jadinya itu klop dengan harapan penulisnya. "Semoga buku ini selain perkataan-perkataan terdapat pula pikiran-pikiran," tulis Rosihan dalam Prakata. Tapi, dibandingkan dengan Musim Berganti (Grafitipers, 1985) yang tersebut baru saja ini lebih banyak "pikiran-pikiran"-nya, dan, lebih kocak serta lebih tangkas gaya berceritanya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini