Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Garuda mengoperasikan 142 pesawat yang mayoritas berstatus sewaan.
Frekuensi penerbangan Garuda melorot pada masa pandemi Covid-19.
Garuda mengoperasikan pesawat dengan sistem rotasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra, mengatakan belum akan mendatangkan pesawat baru setelah menghentikan operasi jet Bombardier di jalur perintis, demi menurunkan beban keuangan perusahaan.
Menurut Irfan, seluruh pesawat yang dikelola Garuda, yang lebih banyak berstatus sewaan, akan dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan rute dan penumpang. “Tak ada pengadaan lagi, yang sekarang ada dimaksimalkan dulu,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Saat ini Garuda mengoperasikan 142 pesawat yang terdiri atas Boeing 777-300ER, Boeing 737-800NG, Airbus A330-200, Airbus A330-300, Airbus A330-900neo, Bombardier CRJ1000 NextGen, dan ATR 72-600. Meski mayoritas armada berstatus layak operasi, kata Irfan, frekuensi operasinya terus menyusut seiring dengan berlakunya pembatasan mobilitas pada masa pandemi Covid-19.
Irfan mengatakan, sebelum masa pandemi, Garuda mencatatkan 500 penerbangan per hari. Pada pertengahan 2020, saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai berlaku, frekuensi penerbangan Garuda melorot menjadi140-160 flight per hari. Menjelang libur akhir tahun, frekuensi penerbangan perlahan meningkat hingga 300 flight. “Ada yang dioperasikan sebentar, ada juga yang bergantian dalam sebulan. Sebagian terbang, sebagian parkir.”
Strategi rotasi itu pun bakal diterapkan untuk rute yang tak lagi dilayani pesawat Bombardier CRJ1000 NextGen. Hal ini terjadi setelah Garuda menyetop operasi 12 pesawat tersebut dan menegosiasikan terminasi kontrak sewa dengan Nordic Aviation Capital (NAC). Sementara itu, enam pesawat serupa yang dibeli lewat pembiayaan Export Development Canada (EDC) akan dioperasikan secara terbatas. “Kami putuskan untuk rute yang selama ini dilayani CRJ1000 diganti dengan Boeing 737-800,” ujar Irfan.
Pengunjung memesan tiket pesawat di kantor Garuda Indonesia, di Makassar, Sulawesi Selatan. Dokumentasi TEMPO/Hariandi Hafid
Bombardier CRJ1000, yang didatangkan ke Indonesia pada 2012-2015, melayani beberapa jalur pendek, seperti Makassar-Lombok, Makassar-Gorontalo, Surabaya-Semarang, serta Tarakan-Balikpapan. Rute terbarunya antara lain Balikpapan-Tarakan dan Makassar-Manokwari-Sorong.
Manajemen Garuda sudah mengungkapkan rencana penghentian sewa Bombardier CRJ1000 dan ATR 72-600 dalam rapat kerja Komisi Badan Usaha Milik Negara Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli 2020. Kedua jenis pesawat itu dianggap tak cocok beroperasi di Indonesia, misalnya karena kapasitas bagasi yang kecil, padahal penumpang kerap membawa banyak barang.
Pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, setuju frekuensi penerbangan di rute yang ditinggalkan Bombardier diisi dengan pesawat lain melalui skema rotasi. Bila memungkinkan, kata dia, Garuda bisa memesan pesawat lain yang lebih irit untuk menggantikan Bombardier CRJ1000. “Misalnya pesawat Airbus A220 dengan kapasitas lebih dari 100 penumpang.”
Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra Arivin menyarankan Garuda lebih teliti menyeleksi tipe pesawat agar tak tumpang-tindih. Dia menilai pemakaian CRJ1000 tak efisien karena utilitas atau frekuensi penggunaannya kalah oleh pesawat buatan Boeing dan Airbus, yang juga dipakai untuk rute pendek. “Jangan ada tumpang-tindih dari segi peranan pesawat pada jenis pasar di setiap rute,” kata dia.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, mengatakan rute CRJ1000 pun cocok diisi Airbus A320 yang berkapasitas 150-186 seat. “Sudah dipakai Citilink, jadi terbukti andal.”
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo