ZAHIDA Kandil bukan cuma kaget tapi juga cemas dan takut. Suatu hari keponakan laki-laki wanita pengusaha Aljazair yang masih di sekolah dasar pulang dan langsung menyatakan bahwa ia tak lagi mau mencium bibinya itu. Guru sekolahnya mengatakan, seorang pria yang mencium wanita bukan istrinya haram hukumnya. Di Sudan, seorang mahasiswa berbaring di rumah sakit di Khartoum. Kepalanya dibalut. Tangan dan punggungnya merah terbakar, beberapa bagian mengeluarkan darah. Ia adalah korban demonstrasi kelompok Islam radikal di Februari lalu. Mahasiswa itu disiram cairan dari botol, lalu seseorang menyulutkan api. Tak seorang pun ditahan karena tindakan ini. Di Mesir, puasa yang lalu, suasana di sejumlah kota begitu dingin di malam hari, tak seperti Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Soalnya, di bulan puasa itu, pertunjukan musik yang disertai tari-tarian adalah terlarang. Lebih dari sepuluh tahun setelah revolusi Islam modern pertama di Iran, Islam radikal sekali lagi bangkit di mana-mana. Angin kebangkitan itu tampaknya mempengaruhi suasana kehidupan sehari-hari di sejumlah negara Timur Tengah. Memang, sejauh ini barulah Sudan yang punya pemerintahan bernapaskan Islam, setelah Revolusi Khomeini tahun 1979 lalu. Tapi hampir semua pemerintah negara-negara Arab kini harus menghadapi empasan gelombang Islam radikal dan harus menjawab desakan keinginan dari bawah, keinginan mempunyai pemerintah dan masyarakat Islami." Dalam kadar tertentu, kekuatan Islam bisa dikatakan telah merebut kemenangan," tutur Gilles Kepel, ahli tentang Islam dari Prancis. "Yang kami saksikan kini adalah re-Islamisasi di banyak wilayah dan negara, suatu perubahan dalam norma-norma dasar kehidupan. Dan Eropa tak terkecuali. Saya biasanya bertemu dengan seorang perempuan berkerudung sekali dalam seminggu di sekitar tempat tinggal saya di Paris. Kini saya setidaknya berjumpa dengan lima perempuan berkerudung tiap harinya." Kepel menyebut Revolusi Iran sebagai revolusi yang dikobarkan oleh kaum elite Islam dari atas. Gelombang radikalisme Islam sekarang, katanya, muncul dari bawah, berskala massal, hingga tak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah di mana pun. Pendapat-pendapat yang beredar di Timur Tengah, sebagaimana di London dan Paris di kalangan akademisi, politisi, mahasiswa, karyawan, dan ulama mengatakan bahwa ideologi pan-Arabisme dan nasionalisme Arab, yang mendominasi gerakan kemerdekaan di Timur Tengah selama sekitar setengah abad, kini surut. Digantikan oleh gerakan anti-Barat dan pemupukan harga diri yang merupakan bentuk dan bahasa baru kebangkitan Islam. Sejumlah orang berpendapat bahwa gerakan Islam radikal bertentangan dengan paham nasionalisme Arab. Tapi ada penjelasan lain dari Albert Hourani, seorang sejarawan Inggris. Kata Hourani, gerakan Islam radikal kini merupakan tahap ketiga dari nasionalisme Arab. Tahap pertama, katanya, berlangsung tahun 1900 sampai 1940, berfokus pada yang disebutnya sebagai "nasionalisme borjuis", paham yang memperjuangkan kemerdekaan dan emansipasi wanita. Tahap kedua, 1940 sampai 1970-an, dipusatkan pada perjuangan mewujudkan keadilan sosial: pemerataan kekayaan, nasionalisasi industri dan semacamnya. Apa pun warna gerakan itu, dan ada atau tidak hubungannya dengan gerakan sebelumnya, disepakati di kalangan luas bahwa dua peristiwa belakangan ini ikut punya andil pada kebangkitan Islam. Yakni, berakhirnya Perang Dingin, dan Perang Teluk. Runtuhnya Uni Soviet dan komunisme sungguh menghancurkan kekuatan kiri, musuh terbesar Islam radikal. Itu tak cuma menghapuskan bantuan militer dan ekonomi terhadap kelompok kiri di mana-mana, tapi juga menjatuhkan kredibilitas politiknya. Lalu Perang Teluk antara Irak dan Amerika beserta sekutunya. Peristiwa itu tak cuma menjadi bukti betapa tak berdayanya dunia Arab, tapi juga membuktikan betapa tak berdayanya sang pemenang, yang ternyata bergantung pada militer Barat. "Karena kegagalan dari rezim-rezim sekarang, meruyaknya korupsi, tiadanya alternatif, tak adanya pandangan-pandangan baru yang bisa memberi ilham, memunculkan kekosongan besar dalam dunia politik," kata wartawan Mesir kenamaan, Mohamad Heikal. Dalam suasana begitu, "Hanya Islam yang bisa diterima, hanya Islam yang masih autentik, bagi sebagian besar orang Arab." Pengamat Islam di Universitas John Hopkins, Amerika, ahli ilmu politik Fouad Ajami menyimpulkan, kini politik Islam adalah "sebuah penjelasan untuk sebuah alternatif". Barat pada dasarnya cenderung melihat tumbuhnya politik Islam kini berbahaya, monolit, dan baru. Tapi memang berbahayakah perkembangan Islam sekarang bagi Barat, dan apakah Barat bisa "menerima" politisasi Islam -- dua hal yang ramai diperdebatkan -- tak ada fenomena baru dalam hal ini. "Hampir semua dinasti Arab dimulai sebagai gerakan religius yang sasarannya adalah untuk membangkitkan dan memperbarui masyarakat," kata Saad Eddin Ibrahim, pendiri Pusat Ibnu Khaldoun di Kairo. Dan sebenarnya berpolitiknya Islam kini tidak monolitik. Politik Islam berbeda-beda, sebanyak negeri Arab itu sendiri. Dan bangkitnya apa yang disebut sebagai Islam fundamentalis tak bisa dijelaskan semata-mata oleh keluhan terhadap bobroknya atau melencengnya ekonomi dan sosial dari rel Islam. Para generasi tua di Timur Tengah adalah generasi yang masih ingat bagaimana gelombang Westernisasi melanda negaranya di awal abad ini. Mereka juga tentu masih punya kenangan terhadap nilai-nilai masyarakat feodal yang kini hampir lenyap. Lalu adalah sebuah nostalgia hadirnya kembali kebudayaan Islam, yang pernah mencapai puncaknya di abad ke-9 dan ke-10. Di sisi lain adalah kemarahan terhadap Barat, yang mendukung Syah Iran dan rezim lain yang korup dan brutal. Mungkin itulah unsur-unsur yang mendorong kebangkitan Islam kembali. Bila boleh disederhanakan, itu semua bersumber pada satu hal: kerinduan bangsa Arab pada kebanggaan dan harga diri yang pernah mereka miliki. Kerinduan itulah agaknya bisa menjelaskan, kenapa sejumlah bangsa Arab mendukung Saddam Hussein dalam Perang Teluk, meski mereka tahu betapa salahnya diktator itu. Keputusasaan terhadap pemerintah yang sekarang dan kerinduan pada kebesaran masa lalu tercermin dalam slogan yang populer ini: "Islam adalah solusi." Untuk meredam Islam radikal, pemerintah di Timur Tengah puya cara masing-masing. Tunisia memilih menutup semua lubang yang memungkinkan Islam radikal berkembang. Dengan kata lain, itulah penindasan. Pemerintah Aljazair mula-mula asyik dengan demokrasi, tapi kemudian kembali menindas setelah jelas tanda-tanda bahwa gerakan yang disebut Islam fundamentalis akan memenangkan pemilihan umum. Pemerintah Arab Saudi, meskipun secara kultural menjalankan hukum Islam, masih kesulitan menjinakkan kelompok elitenya yang menginginkan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik. Dan kelompok bawah masyarakat Saudi, meski relatif sudah begitu makmur dengan berbagai subsidi, tetap saja menuntut subsidi yang lebih besar untuk bahan bakar, listrik, kesehatan, dan sebagainya. Yordania lain lagi. Pemerintah negeri ini sedang berusaha menarik aktivis Islam radikal ke dalam pemerintahan, dengan tujuan agar bisa bersama-sama menghadapi kritik dari masyarakat. Lain lagi cara pemerintah Mesir meredam gerakan Islam radikal. Pemerintah Kairo bersikap keras terhadap gerakan yang menggunakan kekerasan, dan bersikap toleran terhadap yang menjauhi slogan-slogan Islam radikal. Kata Mohammad Noah, aktor drama dan penyanyi populer Mesir, "Kami ini mencoba menjadi lebih Islam daripada Nabi sendiri." ALJAZAIR: ANTARA SAMPAR DAN KOLERA Kerusuhan di tahun 1988, yang konon digerakkan oleh yang disebut kelompok Islam fundamentalis, menyebabkan Presiden Chadli Benjedid memutuskan untuk menjalankan demokrasi secara berangsur-angsur. Pada awalnya suasananya sungguh membawa harapan. Maka pada tahun 1991 di Aljazair tumbuh 58 partai politik, sekitar 30 surat kabar independen, dan perdebatan terbuka mau dibawa ke mana negeri berpenduduk 26 juta ini ramai terjadi tanpa ada yang melarang. Yang lebih elok, konsekuen dengan demokrasi, Chadli Benjedid mengakui kesahihan Front Islam Penyelamat, Front Islamique du Salut, partai Islam yang oleh sebagian kalangan dicap sebagai gerakan fundamentalis yang bertujuan mendirikan negara Islam. Sebelumnya partai ini dilarang dan cuma bisa bergerak di bawah tanah. Negeri yang pernah bisa mencukupi kebutuhannya sendiri ini, tapi kemudian bangkrut ekonominya, ternyata tak bertahan dengan demokrasinya. Dalam kondisi negara mengimpor 75% kebutuhan pangan, dengan beban utang luar negeri sebesar US$ 25 milyar dan inflasi bergerak sekitar 40%, pemilihan umum yang diadakan ternyata menguntungkan pihak oposisi, yakni Front Islam Penyelamat itu. Inilah partai yang kemudian dituduh oleh pemerintah memanfaatkan 10.000 masjid sebagai basis politik. Maka ketika dalam pemilu Desember lalu Front Islam Penyelamat dikhawatirkan menggusur Front Pembebasan Nasional, partai yang sudah lama berkuasa, pihak militer memutuskan untuk mengakhiri eksperimen demokrasi. Pihak militer tak senang Aljazair akan menjadi contoh negara Arab pertama yang memberi jalan pemerintahan Islam berkuasa lewat pemilu, tampaknya. Ini membuat pemerintah Tunisia, Yordania, Libya, dan Mesir -- pemerintah-pemerintah yang dikepung oleh Islam radikal -- merasa lega. Demikian pula negara-negara di Timur Tengah yang pemerintahannya cenderung sekular, berorientasi ke Barat, dan yang kelas menengahnya, terutama wanita, tak begitu cocok dengan penerapan hukum Islam. Tapi Front Islam yang hampir saja berkuasa, dan tindakan militer Aljazair yang mengambil alih kekuasaan dan kemudian melarang Front Islam Penyelamat, mengejutkan banyak pihak di Barat dan di dunia Arab sendiri. "Tak ada kelompok yang benar-benar demokrat di Aljazair," kata seorang bekas pejabat senior Aljazair. Mungkin itu kesimpulan yang berlebihan, tapi bagi dia baik Benjedid maupun Front Islam sama-sama menggunakan demokrasi tidak untuk menata kehidupan bernegara dan kehidupan sosial, tapi "sekadar sebagai alat untuk mempertahankan atau mencapai kekuasaan." Para pendukung kudeta militer mengatakan Front Islam tak secara nyata menang. Sebab, kata mereka, hanya hampir 60% warga Aljazair yang menggunakan suara mereka, dan hanya 48% di antaranya memilih Front Islam. Dan sebenarnya dalam pemilu terakhir suara pendukung Front Islam jauh berkurang dibandingkan dengan pemilu daerah pada tahun 1990. "Hanya kurang dari 30% warga Aljazair yang mendukung negara ini menjadi negara Islam yang menerapkan syariat Islam," kata Ali Haroun, salah seorang dari lima Dewan Negara Tinggi, yang kini memerintah Aljazair. Haroun sebelumnya adalah menteri hak asasi, lembaga pembela hak-hak asasi kemanusian yang pertama di seluruh dunia Arab. Seorang asisten profesor dalam bidang studi perkotaan, Ouardia Ider, menyimpulkan sebenarnya tak ada niat untuk menegakkan demokrasi dalam Front Islam sebagaimana yang mereka kecapkan. "Mereka semacam fasis kecil yang menunggu kesempatan," kata Ider. "Percayalah, jika militer tak segera mengambil alih kekuasaan, akan terjadi perang saudara. Orang-orang setengah baya seperti saya, yang dulu memperjuangkan kemerdekaan negeri, tak akan rela melihat kursi kekuasaan jatuh di tangan kaum berjenggot itu. Saya siap angkat senjata." Para pembela Front Islam tentu saja berkata lain. Pemerintah telah menyebarkan kebohongan untuk menakut-nakuti rakyat, kata seorang aktivis muda partai itu. Ia pun menegaskan bahwa Islam mau tidak mau adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi, dan tak akan menggunakan kekerasan bila memerintah. Ia memberikan contoh, kaum wanita akan tetap diizinkan bekerja di luar, meski lebih diseyogyakan berperan sebagai pengasuh anak di rumah. Dan untuk tugasnya itulah mereka dibayar. "Bukankah Anda akan lebih suka memberikan pekerjaan pada laki-laki yang bertugas melindungi seluruh keluarganya daripada kepada wanita?" katanya. Kini, setelah Front Islam dilarang, kata anak muda itu, "Tak ada pilihan lain selain melawan. Dan nanti, setelah kami menang -- dan kami pasti menang -- kami akan tetap ingat siapa yang mendukung kami dan siapa yang menindas." Mereka yang tidak menyukai Front Islam sebenarnya tidaklah membencinya sejak awal. Ada hal-hal yang kemudian mengubah sikap mereka untuk terpaksa mendukung kudeta militer. Misalnya, sebelum pemilu putaran pertama, kampanye Front Islam, terutama dari kelompok yang disebut sebagai moderat, adalah menegakkan demokrasi. Begitu mereka merasa pasti akan menang, suara kelompok itu sudah berbeda, dan ikut menyuarakan slogan kelompok radikal: "Tak ada hukum, tak ada konstitusi. Hanya ada hukum Allah dan kitab suci Quran." "Anda harus tahu bahwa Front Islam tak ada hubungannya dengan Islam," kata Syekh Ahmad Merani, bekas anggota partai itu yang disepak. Merani ditendang dari partai karena mengeluarkan pernyataan bahwa Abassi Madani, pemimpin Front Islam, "berbahaya bagi Aljazair dan bagi Islam itu sendiri." Tapi apakah Front Islam benar-benar akan menginjak-injak demokrasi setelah berkuasa adalah hal yang bisa diperdebatkan tanpa kata putus. Lebih terdengar masuk akal mereka yang mengatakan bahwa Front Islam dicegah naik kuasa karena diragukan kemampuannya menjalankan pemerintahan. Beberapa yang lain lebih melihat pada inisiatif Presiden Benjedid. Eksperimen Benjedid dengan demokrasi, kata mereka, sungguh berbahaya. "Enak saja bagi orang lain berbicara tentang percobaan demokrasi di Aljazair," kata Maloud Brahimi, bekas Ketua Lembaga Hak Asasi Manusia Aljazair. "Mereka itu melihat kami sebagai apa -- sebagai tikus?" Tapi para pendukung kudeta pun kini bertanya-tanya. Apakah dengan melarang Front Islam lalu persoalannya selesai? Tampaknya, tanpa memberikan alternatif lain, muncul kembalinya Islam radikal cuma soal waktu, kata mereka. Sebab, prospek Aljazair sendiri tak begitu cerah. Dalam kondisi ekonomi yang tak begitu baik, bila pemerintah harus pula mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan keamanan, hanya menambah buruk situasi saja. Walhasil, kini banyak suara, termasuk yang dulunya mendukung kudeta di Aljazair, bahwa kudeta militer yang lalu itu telah menyebabkan atmosfer Aljazair tegang, cenderung melahirkan suasana putus asa. "Tapi pilihan bagi kami memang sulit," kata seorang pejabat senior pemerintah Kairo. "Pilihan bagi kami tampaknya antara sampar dan kolera." SUDAN: WANITA-WANITA YANG TAKUT Model Sudanlah yang paling ditakuti para penguasa Aljazair. Mereka mengatakan, negeri yang pernah diperintah Gaafrar al Nimeiry itu sekarang telah menjadi negara polisi atas nama Tuhan. Dengan penduduknya yang 26 juta dan tersebar pada wilayah luas, Sudan adalah negeri yang sedang "sakit". Pendapatan per kapitanya hanya US$ 100, yang tentu saja berada jauh di bawah negara-negara Arab lain ynag paling miskin, ditambah lagi dengan angka kelahiran tinggi. Perjuangan Sudan untuk keluar dari kungkungan kesengsaraan telah lama berlangsung. Bahkan jauh sebelum penguasa sekarang, Jenderal Omar Hassan al-Bashir, yang merebut kekuasaan secara militer dari pemerintah Sadiq-al Mahdi, yang dipilih secara demokratis tapi tak efektif. Sebenarnya, rakyat menyambut dengan hangat perampasan kekuasaan oleh Al-Bashir itu. Mungkin lantaran mereka telah cukup menderita selama tujuh tahun di bawah sistem demokrasi yang ternyata hanya menimbulkan kekacauan. Banyak dari mereka yang berharap agar tentara bisa mengakhiri perang saudara yang tak hentinya antara pemerintah pusat di utara yang didominasi muslim Arab dan selatan yang sebagian besar dikuasai orang Afrika yang beragama Kristen. Tapi, menjelang 1990, muncullah Hassan al-Turabi, pemimpin Front Nasional Islam. Ia bertindak sebagai pemikir strategis dan ideologis yang memberikan konsultasi kepada al-Bashir. Malahan ada dugaan al-Turabi justru yang bermain di belakang semua langkah sang jenderal. Sebagian orang bahkan menduga lebih jauh lagi: Turabi justru menjadi bos yang efektif yang mengatur Bashir. Dalam kedudukan itu, Turabi, yang veteran politikus dan pernah menduduki banyak jabatan penting di rezim-rezim, lalu berhasil mencapai tujuan yang telah lama diidamkannya, yakni menjadikan Sudan sebagai negara Islam yang bakal menjadi inspirasi untuk semua kelompok militan muslim di seluruh dunia. Sayangnya, sistem negara Islam seperti yang diterapkan di sana malahan tidak menjadi inspirasi. Sejak Bashir berkuasa, partai-partai politik dan serikat sekerja yang menjadi ciri tradisional sistem politik Sudan benar-benar ditindas. Konstitusi dibekukan, semua pers yang bukan pemerintah diberangus, sedangkan aparat hukum, birokrasi, dan tentara dibersihkan dari orang-orang yang dianggap kafir. Sampai sekarang paling tidak ada tiga percobaan kudeta telah digagalkan, 26 perwira dieksekusi, dan 1.300 lainnya tak diketahui nasibnya. Tempat tahanan yang dikenal dengan nama "rumah setan" bermunculan di seluruh negeri. Sejalan dengan itu, siksaan fisik yang dilakukan oleh aparat-aparat sekuriti, baik yang resmi maupun yang tidak, telah menjadi kebiasaan yang dipraktekkan secara luas. Anehnya, otak sistem represi sistematis itu bukan tentara tapi justru Front Nasional yang telah menginfiltrasi hampir seluruh mesin birokrasi dan pemerintahan dan bahkan berbagai organisasi kemasyarakatan. Dengan cara itu, dan dibarengi dengan terciptanya suatu sistem kontrol efektif, pada kenyataannya Sudan telah dikuasai oleh Front Nasional Islam tersebut. Front Nasional Islam membentuk apa yang disebut Barisan Pertahanan Rakyat, yang sebenarnya suatu organisasi semimiliter dan polisi, terdiri dari mahasiswa dan pegawai pemerintah. Sebelum berdinas di dalam barisan tersebut mereka mendapat latihan militer sekadarnya dan indoktrinasi agama. Di semua RT dan RW selalu ada organisasi yang disebut "komite lingkungan", yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur Barisan Pertahanan tadi. Sebenarnya itu tak lebih dari sel-sel Front Nasional yang kerjanya mengintip kelakuan seluruh anggota masyarakat. Setiap tingkah laku yang dianggap "tidak Islami" dengan segera dilaporkan kepada badan keamanan. Dalam sistem seperti itu, wanita tentu saja menjadi sasaran utamanya. November tahun silam Jenderal Bashir mengeluarkan sebuah deklarasi yang melarang dansa antara laki-laki dan perempuan. Peraturan itu juga mengharuskan semua wanita yang memasuki kantor pemerintahan mengenakan pakaian sesuai dengan aturan yang katanya berdasarkan standar Islam. Menurut laporan, bahkan sebelum peraturan itu dikeluarkan pun, banyak wanita yang didera karena berpakaian "tak senonoh". "Karena pakaian yang harus dikenakan itu bukan baju yang biasa dipakai mereka, mereka terpaksa membelinya. Buat yang tak kuat membeli pakaian seperti itu, mereka terpaksa tinggal di rumah karena takut keluar," kata seorang dokter Sudan yang pernah mengobati wanita-wanita yang mendapat siksaan itu. Maret lalu pemerintah mengumumkan lagi suatu UU kriminal yang didasarkan pada hukum Islam. Menurut peraturan terbaru itu setiap pelanggar akan dijatuhi hukuman berdasarkan pada syariat Islam: tangan dipotong untuk pencuri yang berkali-kali melakukan aksinya, dirajam untuk perzinaan, hukum dera bagi pelanggaran lain, dan bahkan penyaliban. Namun, sebegitu jauh belum ada orang yang telah dijatuhi hukuman seperti itu. Ideologi Islam Turabi yang demikian ekstrem itu baru tumbuh belakangan ini. Front Nasional sebenarnya adalah salah satu partai modern paling tua di Timur Tengah. Menurut Turabi sendiri, ia mulai merangsek dengan memaksakan sistem negara Islam tak lama setelah memperoleh gelar doktor di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1964. Adalah Turabi yang pada 1985 berhasil membujuk Gaafar al-Nimeiry, diktator pro-Amerika, untuk mulai mempraktekkan hukum Islam. Turabi-lah yang menolong sang diktator yang digulingkan pada 1985 itu menyusun hukum tersebut. Dalam hukum tersebut dimasukkan juga ancaman hukuman mati untuk sikap dan perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip agama. Ancaman hukuman tersebut sampai sekarang masih tetap berlaku. Ia juga yang membujuk Nimeiry untuk mengizinkan dibukanya Bank Islam Faisal, bank Islam pertama di Timur Tengah. Dengan mengatur operasinya dari sebuah ruangan di kantor bank tersebut, Front Nasional menjadi suatu gerakan politik yang dibeking sumber keuangan yang sangat kuat. Dengan segi finansial yang demikian kuat itu, dan diimbangi oleh pengelolaan yang ketat, Front Nasional menjadi organisasi politik yang tersebar luas dan terkuat di Sudan. Namun, memerintah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah bagai membalikkan telapak tangan. Mahasiswa yang menjadi penjaga dan sumber kekuatan kaum elite Sudan, dan pada mulanya merupakan ladang subur bagi tumbuhnya gagasan-gagasan Islam, justru menentang Front Nasional. Karena itu, dewan mahasiswa di beberapa kampus dibubarkan, dan pemilu di kalangan mahasiswa dilarang. Di banyak kampus terjadi konflik berdarah antara mahasiswa para pendukung Front tersebut dan penentang-penentangnya. Di bidang ekonomi, Sudan harus berjuang keras. Pada Februari lalu pemerintah mengambil langkah yang berbau kapitalistis dengan mendevaluasi uang. Tindakan itu dibarengi dengan mengakhiri pengendalian harga dan menghentikan subsidi negara pada beberapa sektor ekonomi. Walaupun demikian, Sudan masih saja merana. Dukungannya kepada Irak semasa Perang Teluk telah menjauhkannya dari Arab Saudi. Saudi menghentikan bantuan ekonominya dan bahkan memulangkan para pekerja Sudan. Padahal, uang yang dikrim para pekerja itu kepada sanak familinya di Sudan merupakan salah satu sumber dana uang keras untuk pemerintah. Menurut keterangan resmi, angka inflasi "hanya" 100%, volume impor mencapai lima kali volume ekspor, dan uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang dengan selatan diperkirakan sampai US$ 150 juta. Itu berarti setengah dari jumlah pendapatan yang didapat dari ekspor. Sementara itu, Mesir dan Washington makin curiga campur khawatir karena Sudan makin dekat saja dengan Iran dan makin jelas dukungannya pada kelompok-kelompok teroris. Sebegitu jauh Turabi membantah tuduhan itu. Para diplomat Barat cenderung membenarkan sanggahan Turabi itu. Mereka meragukan laporan Amerika tentang kehadiran Iran yang begitu besar di Sudan. Katanya, paling banyak ada sekitar 200 orang Iran di sana. Padahal, Iran adalah negeri Syiah dan Sudan negeri Suni. Negara-negara Arab lain khawatir bahwa kemesraan antara dua aliran yang secara tradisional selalu berlawanan itu justru telah menghilangkan garis perbatasan antara keduanya. Turabi juga dituduh telah mengubah warna perjuangan nasionalisme Arab yang tadinya sekuler menjadi Islam militan. "Apabila perubahan-perubahan yang telah kami rintis di sini berjalan dengan baik, itu akan menjadi suatu revolusi," kata Turabi yang berusia 60 tahun itu. Dengan militansinya, Turabi telah muncul sebagai salah satu teoritikus Islam baru yang punya pengaruh cukup besar. "Pranata-pranata tradisional agama di Kairo dan Riyadh sedang gemetar," kata Turabi dalam bahasa Inggris yang fasih. "Saudi dengan elitenya yang monarkis dan sekuler telah lama berusaha menyebarkan konservatisme Islam di seluruh Timur Tengah," kata Turabi lagi. "Tapi, Perang Teluk telah menghancurkan legitimasi mereka. Sekarang mereka mesti berhadapan dengan suatu gerakan Islam mahabesar yang tak bisa lagi dibeli dengan uang mereka," katanya lagi dengan pasti. Turabi menyangkal kalau ia punya kedudukan resmi dalam pemerintahan. Tapi ia mengakui sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas makin suburnya gerakan Islam. "Para nasionalis Arab sadar, mereka mesti pulang kandang, karena tanpa persatuan Islam mereka tak punya hari depan. Kalian di Barat lebih baik membiasakan diri dengan fenomena Islam dan bukan takut terhadapnya. Kami bukan musuh Barat, dan hari depan di tangan kami," katanya dengan penuh kepercayaan. Katanya lagi, Islam pada masa ini adalah fenomenal. Untuk seorang pejabat tinggi Mesir, upaya para militan Islam untuk menguasai Timur Tengah adalah kabar buruk. Tapi, kabar baiknya, kata penggede itu lagi, mereka telah berkuasa di Sudan. "Kami bisa mengucilkan dan akan berhasil dengan itu," katanya lagi. Tapi tak semua orang Mesir punya keyakinan seperti itu. Sudah lama Kairo selalu memperlakukan Sudan yang terletak di sebelah selatan negeri itu dengan cara paternalistik campur kecurigaan. Mesir menganggap rezim Turabi sebagai ancaman terhadap Mesir, karena kedua negara itu sama-sama memerlukan Sungai Nil. Dengan menguasai bagian hulu sungai itu, Sudan bisa berbuat macam-macam yang bisa saja mengancam bendungan Aswan. Bendungan itu sendiri terletak hanya sekitar 200 km dari perbatasan dengan Sudan. MESIR: MENDEKATI JUGA MEREDAM Mesir sudah sejak tahun 1920-an berkutat menghadapi militansi Islam, ketika Ikhwanul Muslimin atau Persaudaraan Muslim muncul sebagai cikal-bakal militansi di desa-desa utara yang miskin. Gamal Abdul Nasser malahan memanfaatkan militansi Islam itu untuk membantunya merontokkan pemerintahan Raja Farouk. Tapi kemudian ia menindas gerakan itu tanpa ampun. Anwar Sadat mula-mula mencoba mendekati mereka dan kemudian menjebloskan para pemimpin mereka ke penjara. Pada akhirnya Sadat pun terbunuh oleh ulah organisasi itu. Presiden Mesir sekarang, Husni Mubarak, berusaha membendung militansi Islam dengan cara halus dan keras: mendekati, memberinya kebebasan, tapi juga menindas. Tapi taktik represif hanya dipraktekkan pada organisasi-organisasi militan yang melakukan tindak terorisme, kekerasan, dan subversi. Jadi, Mubarak memberi izin bagi pihak-pihak militan untuk bebas menyuarakan pendapat mereka. Dalam pada itu, ia tak memberi kesempatan sedikit pun pada Persaudaraan Islam untuk muncul sebagai partai politik ataupun suatu organisasi lain yang berlandaskan kebudayaan, misalnya. Namun, konon, justru Husni Mubarak juga yang menganjurkan kepada sahabat karibnya Chadli Benjedid dari Aljazair agar mengizinkan Front Islam Penyelamat, yang disebut-sebut sebagai partai Islam fundamentalis, muncul sebagai partai politik. PRO DAN KONTRA Di Barat, pemunculan militansi Islam telah menimbulkan perdebatan seru tentang apa yang harus dilakukan Barat untuk membendung kecenderungan itu. Sementara itu, pejabat dan komentator politik Amerika mengatakan dengan sangat gamblang bahwa pemunculan militansi Islam itu sebagai ancaman baru bagi Barat. Karena itu, ia harus dibendung, sama seperti yang dilakukan Amerika terhadap komunisme. Sangat salah kalau "kami" membiarkan golongan yang dengan jelas-jelas anti-demokrasi, anti-Barat, anti-hak-hak wanita, dan terutama anti-Israel menguasai kawasan yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup dan keamanan nasional Amerika. Tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Menentang kebangkitan kembali Islam, kata pendapat kedua ini, tak ada bedanya dengan menyongsong bencana. Langkah itu adalah suatu kesalahan politis yang malahan akan memperkuat sikap anti-Barat. John Esposito, seorang ahli yang menekuni kebangkitan kembali Islam mengatakan, orang Barat kelewat membesar-besarkan timbulnya gejala itu. Persepsi seperti itu, kata Esposito, tak lebih dari upaya untuk mengisi "kesenjangan eksistensi ancaman" dengan musnahnya komunisme. Untuk itu, Esposito dan beberapa ahli lainnya menyarankan agar Barat memahami Islam sebagai agama, yang bisa saja tak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi Barat. Tapi Islam sebagai agama sebegitu jauh sangat toleran terhadap hadirnya agama lain seperti agama Yahudi dan Kristen. Itu harus dibedakan dengan Islam yang militan dan punya warna politik. Namun, orang-orang yang anti-Islam memandang pendapat kedua itu tak banyak artinya. Sebab, menurut mereka, Islam tak membedakan agama dan pranata kenegaraan. Fakta bahwa Mesir dan negara-negara Arab "moderat" lainnya berhasil mengatasi krisis akibat munculnya militansi Islam tak banyak menerangkan perihal Islam itu sendiri. Yang lebih banyak diterangkan adalah bagaimana negara-negara itu bisa memisahkan Islam dengan politik. Ada juga yang mengatakan Islam dewasa ini hanyalah suatu gejala yang sifatnya trendy belaka. Ia berusaha untuk mengambil kekosongan yang ditinggalkan oleh kegagalan sosialisme dan sistem liberal-demokratis. Dulu, kalau kedua sistem itu gagal, yang mengambil alih pasti kaum militer. Sekarang Islamlah yang merebut kekuasaan. Argumentasi itu diajukan oleh A. Abu Zayd, rektor Universitas Ombdurman Aliya di Khartoun, Sudan. Untuk menarik kaum muda, Islam mesti galak dan militan. "Ia harus menentang segala sistem yang ada," kata Zayd lagi. Kalau Barat mau menentang Islam, pasti Barat tak tahu apa yang akan dikerjakannya. Militansi Islam muncul berkat adanya dukungan lokal, dan itulah yang menjadi kunci keberhasilan gerakan itu. Dan itu terjadi di mana-mana. Teori itu dikemukakan oleh Ali E. Hillal Dessouki, seorang ilmuwan politik dari Mesir. "Itu berarti bahwa tak akan ada satu pun pendekatan yang akan berhasil membendungnya, tapi juga efek domino tak akan terjadi, kata Dessouki lagi. Banyak juga yang menoleh pada sistem demokrasi dan kemerdekaan untuk mengeskpresikan pendapat politik sebagai alternatif dari radikalisme Islam. Tapi Dessouki bersikap skeptis atas pendapat itu. Kebanyakan orang Arab, kata ahli politik itu, berpendapat bahwa demokrasi sebagai "pemerintahan oleh mayoritas" tanpa mempertimbangkan hak-hak minoritas. Demokrasi adalah bukan hanya prosedur, tapi juga sekumpulan norma yang meliputi toleransi, penghormatan terhadap hak-hak individu, dan plularisme. "Hal seperti itu masih makan waktu lama untuk terjadi di tanah bangsa Arab," kata Dessouki. Justru karena itulah, menurut beberapa analis, telah terjadi suatu liberalisasi yang berjalan dengan sangat pelahan di Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Maroko. Padahal, itu adalah negara-negara tempat para penguasanya yakin telah berhasil membendung pengaruh radikalisme Islam. Namun, sebagian pengamat lain tak melihat kemungkinan pemerintah berhasil membendung militansi Islam. Dan kalaupun Islam tak berhasil merebut kekuasaan, paling tidak akan ada proses Islamisasi kultural di kawasan itu. Angka kelahiran yang tinggi yang disertai pengangguran dan ketakstabilan politik di Timur Tengah malahan akan mempercepat proses tersebut. Akhirnya, simaklah pendapat terakhir ini. "Dalam jangka panjang orang akan mengerti bahwa Islam bukan berarti jalan keluar," kata Sir Mohammed Sid Ahmed, pemikir yang telah lama memperjuangkan gagasan-gagasan sekuler. "Islamisme akan gagal, seperti juga revolusi Iran yang telah gagal," sambung Ahmed. Tapi, menurut dia lagi, kalau tak ada alternatif lain dan tak ada cara lain yang bisa mengubah pemerintahan dengan jalan damai, golongan Islam militanlah yang akan merebut kesempatan itu. Kalau apa yang dikatakan pemikir Mesir itu bisa dipercaya, apabila reformasi di segala bidang di dunia Arab tak akan jalan, setidaknya untuk sementara, militansi Islam tentunya satu-satunya alternatif. ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini