Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gembel-gembel Beijing, Suatu Hari

Pertumbuhan ekonomi Cina yang tinggi membuat Beijing kini menjadi kota digital. Kota ini ingin menjadikan dirinya sebuah metropolitan yang indah, canggih, sekaligus zero dari unsur-unsur kekumuhan. Sejak sepuluh tahun lalu, pemerintah kota aktif melakukan gerakan pembersihan orang miskin. Apalagi menjelang Olimpiade 2008, pembersihan ini semakin gencar. Gelandangan, pengemis, dan pengasong terus digusur. Tapi gerakan ini tak sepenuhnya berhasil. Masih banyak gembel yang tak mau menyingkir. Wartawan Tempo Sunudyantoro mereportasekan kaum rudin Beijing ini.

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria berkaus putih keruh merebahkan tubuhnya di bangku taman kawasan pedestrian di luar tembok Kota Terlarang, Beijing, Republik Rakyat Cina. Handuk putih menyampir di sandaran bangku tempat dia tidur pada siang bolong itu. Tas hitam menyangga tengkuk dan kepalanya, menggantikan tugas bantal.

Ia seperti ingin melupakan Beijing yang sedang tertimpa cuaca ganjil. Siang itu, cuaca demikian panas. Menurut badan meteorologi, dalam sepuluh hari terakhir akhir Juli itu suhu berada pada titik 38 derajat Celsius. Biasanya ketika musim panas tiba suhu ”cuma” 35 derajat. Terlihat di mana-mana orang gerah, berkipas, membuka baju, atau berpayung. Tapi aneh, pria itu terlelap.

Lima puluh meter dari pria itu, ada lelaki sepuh duduk di bangku taman lain. Kepalanya doyong ke kanan dan memejamkan mata. Hanya celana pendek hitam yang melindungi tubuh kurusnya yang tak terurus.

Ya, mereka gelandangan. Dua orang gelandangan itu sebagian dari puluhan lainnya yang menumpang hidup di taman-taman sekeliling Kota Terlarang, salah satu pusat wisata di Beijing. Mereka bagian dari ratusan orang miskin yang menyandarkan hidup di sana, entah sebagai pengemis, pemulung, penjual asongan air kemasan dalam botol, entah pengecer koran.

Mereka adalah sisa-sisa orang miskin yang ”lolos” dari gerakan pembersihan yang dilakukan pemerintah Cina sejak menjelang peringatan 50 tahun kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok sebelas tahun lalu. Sebelum itu, pengemis, pedagang asongan, dan pengamen banyak dijumpai di persimpangan jalan. Sejumlah kawasan kumuh, terutama yang tampak dari jalan raya, dibongkar habis. Urbanisasi ke Beijing juga diawasi ketat. Orang miskin di pedesaan Cina dan di provinsi-provinsi miskin di kawasan barat Cina dilarang masuk Beijing.

Semua jalan raya dibikin lebar, menjadi tiga, empat, bahkan enam lajur. Yang menarik, hampir semua jalan di Beijing lurus, sedikit sekali yang berkelok. ”Di Beijing yang ada jalan tegak dan lurus,” kata Tommy Lie, seorang warga Beijing sembari tangannya membuat lambang tegak lurus di depannya. Ini beda dengan Shanghai, banyak jalan berkelok-kelok. Sejak itu, Beijing tertib dan bersih.

Pembersihan Beijing dari orang dan kawasan miskin kian gencar ketika kota ini membedaki diri demi Olimpiade pada Agustus dua tahun lalu. Olimpiade Musim Panas 2008 adalah titik balik Beijing. Pemerintah Cina menganggap pesta olahraga bangsa-bangsa seluruh dunia ini sebagai lambang keterbukaan negara itu. Mereka membawa angin perubahan ”Beijing Baru”. Beijing yang lebih megah dan wah.

Separuh dari jutaan penduduk Cina tersingkir dari perkampungan tradisional (hutong) mereka dan digantikan dengan berbagai kondominium, mal, serta gerai makan dan minum cepat saji produk Amerika. Pengendara sepeda berkurang, sedangkan jumlah lapangan golf, tempat ski, klub dansa, dan spa makin banyak.

Menjelang perhelatan akbar olahraga musim panas sedunia itu, tinggal 1.500 hutong. Padahal dulu setidaknya ada 10 ribu hutong. Kini jumlahnya terus menyusut. Memang, setelah Partai Komunis menang di Cina pada 1949, pemerintah mengambil alih kepemilikan hutong. Penghuni hutong tak lagi memiliki rumah sendiri.

l l l

Beijing atau Pinyin atau Peking adalah kota yang struktur administrasinya setingkat provinsi, mirip DKI Jakarta. Kota ini berpenduduk sekitar 14 juta jiwa dan merupakan kota terbesar kedua di Cina setelah Shanghai. Beijing adalah pusat politik, pendidikan, dan kebudayaan di Cina. Sedangkan Shanghai dan Hong Kong pusat perekonomian. Beijing ibu kota bagi negeri berpenduduk hampir 1,5 miliar orang ini. Pada 1 Oktober nanti Republik Rakyat Cina berusia 61 tahun.

Wajah Beijing yang dulu identik dengan gerobak dan sepeda ontel orang-orang miskin berubah menjadi kota yang bisa dibilang serba digital. Bus kota dan kereta bawah tanah menjual karcis dengan sistem digital. Peta, petunjuk jalan, dan iklan di stasiun serba digital. Dulu, Beijing cuma punya satu jalur kereta bawah tanah. Menjelang penyelenggaraan Olimpiade, Beijing membangun sembilan lagi jalur baru. Untuk mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang cukup membeli tiket dua kali.

Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin. Olimpiade juga menjadi momentum buat Beijing mengharamkan sepeda motor melintasi jalanan di kawasan dalam kota. Alasannya, sepeda motor kerap dipakai penjambret melakukan aksinya. Setelah menjambret, biasanya mereka lari ke kawasan perumahan kumuh dengan gang-gang sempit yang tidak bisa dilalui mobil.

Menjelang Olimpiade, Beijing berbenah. Warisan Cina era tua diperbaiki habis-habisan. Pemerintah Kota Beijing memasok anggaran khusus satu miliar yuan untuk proyek pembangunan kembali gedung lama dan prasarana kota. Wakil Direktur Komisi Pembangunan Kota Beijing Zhang Jiaming mengatakan, ”Kami perbaiki 40 kawasan rumah lorong dan 140 taman.”

Beijing pun membangun stadion raksasa untuk pesta megah olahraga musim panas sedunia dua tahun lalu. Kini stadion itu menjadi landmark baru Beijing era modern setelah Kota Terlarang dan Tembok Raksasa. Stadion Nasional Beijing, demikian nama resminya, menjadi semacam monumen sukses Cina menyelenggarakan Olimpiade. Orang juga mengenalnya sebagai Bird Nest Building atau Niao Ciao. Sebuah gedung berkonstruksi baja yang terinspirasi oleh sarang burung walet. Di sinilah dulu upacara megah pembukaan dan penutupan Olimpiade berlangsung. Cina mengeluarkan pundi-pundi hingga sekitar Rp 4,8 triliun untuk membangunnya.

Stadion Nasional berada dalam satu kawasan dengan Stadion Tertutup Nasional dan Pusat Akuatik Nasional. Tiga bangunan ini menyatu dengan Gedung Pertemuan, Pusat Olahraga, dan Gedung Budaya Wukesong Beijing, sebuah kawasan yang kemudian diberi nama Taman Olimpiade. Enam lokasi utama ini dibangun dengan biaya US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 19 triliun. Fantastis!

Alun-alun superluas membentang. Sejauh mata memandang belum juga ditemukan ujung Taman Olimpiade pada saat Beijing berkabut, akhir Juli lalu. Setidaknya 20 ribu orang berkunjung per hari. Pada musim liburan musim panas akhir Juli lalu, kunjungan makin banyak. Orang-orang dari pelosok Cina berduyun-duyun mengunjungi kemegahan stadion sarang burung itu. Turis asing pun terus mengalir. ”Luas dan megahnya menakjubkan,” kata Jodie O’tania, seorang pelancong.

Kemewahan stadion ini didukung patung kontemporer di Taman Olimpiade. Ada dua puluh patung. Dua tahun lalu, sebagai bagian dari cara Beijing berdandan menyambut Olimpiade, Institut Seni Patung Cina mengundang 20 pematung top dunia untuk membangun 20 karya monumental. Salah satunya adalah pematung top Italia, Alfio Mogelli.

l l l

Ekonomi Cina memang sedang tumbuh melesat. Akhir Juli lalu, Bank Dunia membuat laporan yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Cina telah membantu negara-negara berkembang di Asia Timur pulih dari krisis global. Tapi Bank Dunia tetap mengingatkan Cina agar tak buru-buru mencabut kebijakan propertumbuh-an. ”Terima kasih sekali kepada Cina. Kebanyakan produksi, ekspor, dan kesempatan kerja di sini telah kembali ke tingkat sebelum krisis,” tulis laporan lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington.

Laporan itu menyebutkan perekonomian Cina tumbuh 10,7 persen pada kuartal keempat 2009. Ini meningkatkan perekonomian, terutama melalui permintaan impor dari Cina yang terus menanjak. Pertumbuhan ekonomi Cina ini ikut mengatrol pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di Asia Timur.

Wilayah itu meliputi Vietnam, Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Sehingga Asia Timur memimpin pertumbuhan ekonomi global tahun. Bank Dunia pun memperbarui target pertumbuhan tahun ini menjadi 8,7 persen. Ini melebihi target yang ditetapkan pada November tahun lalu sebesar 7,8 persen.

Cina terus membangun. Tahun ini Negeri Paman Mao Tse Tung ini melakukan investasi lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp 930 triliun pada 23 proyek infrastruktur baru. Sebagian besar untuk memacu pertumbuhan kawasan barat, meliputi Xinjiang, Tibet, Mongolia Dalam, Sichuan, dan Yunnan. Daerah ini lebih miskin dibanding kawasan timur Cina. Ini sekaligus untuk mendorong naiknya permintaan dalam negeri. Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan ini pada Juli lalu.

Menurut Wen Jiabao, ekonomi Cina menghadapi situasi sangat rumit. Ekonomi Cina memang stabil. Tapi lambannya pemulihan ekonomi global dari yang diperkirakan berimbas pula pada Cina. Survei terhadap manajer pembelian dua bulan lalu juga menunjukkan kegiatan pada industri manufaktur juga melemah.

Uang 682,2 miliar yuan itu akan digunakan untuk membangun rel kereta api, jalan, bandara, tambang batu bara, pusat pembangkit listrik tenaga nuklir, dan jaringan listrik. Cina menganggarkan 2,2 triliun yuan untuk 120 proyek besar sejak tahun 2000 hingga 2009. Media pemerintah Cina melaporkan pada Juni lalu, Beijing akan mengalirkan bantuan ekonomi sekitar 10 miliar yuan untuk Xinjiang. Bantuan mengucur ke rakyat mulai tahun depan.

Ini bagian dari upaya meningkatkan standar hidup suku minoritas Uighur. Bayaran atas dilarangnya orang-orang miskin menyerbu Beijing yang wah. Pemerintah Cina tampak berupaya keras menjadikan Beijing steril dari gembel di jalanan. Namun upaya ini belum sepenuhnya berhasil.

Selain pengemis yang tidur di taman-taman seputar kawasan Kota Terlarang di atas, banyak pemulung yang berkeliaran di seputar stadion mewah bekas Olimpiade. Mereka memungut botol-botol bekas dari tempat sampah atau dari orang yang sembarang membuang sampah. Ada yang mencangklong karung sembari berputar dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Ada juga yang menggunakan sepeda bergerobak, menunggu bekas kemasan makan dan minum di warung-warung tenda ditinggal pembelinya.

Di beberapa tempat di Taman Olimpiade, tampak warga Cina yang masih terlihat ndeso antre panjang ingin difoto kamera digital. Tukang foto keliling laris manis. Selama musim panas Juli itu, begitu banyak gembel menuju taman-taman Kota Beijing untuk sekadar mendinginkan badan. Warga miskin Beijing itu tampak duduk-duduk bertelanjang dada, tak ubahnya orang kampung di Jawa atau orang Tionghoa papa yang berserak di Pontianak hingga Singkawang, Kalimantan Barat.

Sunudyantoro (Beijing)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus