Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBENTUK setengah lingkaran, empat orang lelaki muda itu berdiri bersisian. Tanpa dikomando, tangan mereka setengah mengepal di depan mulut, membentuk rongga seakan memegang mikrofon. Sejurus kemudian, suara-suara ritmis keluar dari mulut mereka. Membentuk untaian ketukan dan nada yang dekat dengan genre musik hip-hop. Orang-orang di sekitar mereka turut menggoyangkan badan atau kepala mengikuti irama beatbox yang mereka nyanyikan.
Tontonan itu tersaji ketika Tempo menyambangi tempat kumpul komunitas Indobeatbox di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Rabu malam tiga pekan lalu. Mereka khusus mempertunjukkan kebolehan beatboxing—mengeluarkan suara ritmis dari mulut—kepada Tempo. Biasanya, anak-anak muda itu duduk-duduk di tangga taman, bercengkerama, serta bertukar informasi dan teknik beatbox. ”Hampir setiap pekan ada orang baru yang datang bergabung dan belajar,” kata Billy, 29 tahun, pentolan Indobeatbox.
Komunitas beatbox di Indonesia berdiri pada 30 Oktober 2008. Waktu itu beatboxer Jerman ternama, Mando, datang dalam rangka Festival Film Eropa. Pria bernama asli Daniel Mandolini itu mempromosikan film Love, Peace, and Beatbox, yang dia bintangi bersama grupnya 4XSample. Oleh para punggawa beatbox, termasuk Billy, kesempatan itu digunakan untuk mendeklarasikan berdirinya komunitas ini. ”Pekan pertama, 200 orang datang memberikan respons positif,” kata Billy, yang memiliki nama lengkap Willem Carolus Christopherson Tamnge.
Keberadaan komunitas ini membuat eskalasi penyebaran beatbox di Indonesia jauh lebih cepat. Ricardo, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, mengakuinya. Pria 18 tahun ini mengatakan sudah tertarik dengan beatbox sejak 2006, ketika menyaksikan video Blake Lewis di situs YouTube. Ia kagum dan ingin bisa melakukan hal serupa. Sebelum ada komunitas, ia belajar sendiri dan meniru dari YouTube. ”Di komunitas, teknik lebih terasah karena sering berbagi,” kata Ricardo, yang pernah ikut ajang Indonesian Idol.
Beatbox, yang juga dikenal dengan vokal perkusi, adalah seni yang fokus menghasilkan bebunyian ritmis yang mirip ketukan (beat) drum, hanya dengan suara yang dihasilkan dari mulut. Tekniknya kemudian terus berkembang, seperti menirukan efek suara piringan seperti yang dihasilkan disk jockey. Irama yang keluar melalui alat ucap—mulut, lidah, dan bibir—ini mirip dan sering diasosiasikan dengan hip-hop. ”Boleh dibilang ini memang turunan atau subgenre hip-hop,” kata pengamat musik Denny Sakrie.
Menurut Denny, beatbox berakar dari komunitas kulit hitam di kota-kota Amerika Serikat yang kerap berkumpul di wilayah seperti Bronx, New York. Mereka menelurkan genre musik rhythm and blues. yang menjadi akar banyak musik. Biasanya mereka berkumpul melingkari api sembari mengeluarkan bebunyian dari mulut. ”Sebagai pengganti instrumen musik,” ujar Denny. Dari budaya itu, variasi dan improvisasi membuat hip-hop, rap, dan beatbox menjadi bunyi-bunyian yang keren.
Boleh dibilang, beatbox terlambat tenar di Indonesia. Musik ini dipelopori antara lain oleh Doug E. Fresh, Darren ”Buffy” Robinson (Fatboys), dan Biz Markie pada 1980-an. Pada dekade 1990, ada beberapa beatboxer ternama, antara lain Vaughan Chadderton, Rahzel, dan Kenny Muhammad. Hingga 2000-an lahirlah Blake Lewis, yang tenar dan menjadi runner up di ajang American Idol 2005.
Tak jauh berbeda dengan hip-hop atau rap, penampilan anak-anak beatbox serupa. Mereka kerap menggunakan celana dombrang (lebar), topi baseball, kaus oblong, dan jaket sporty. Mereka juga punya cara salaman yang berbeda. Setelah telapak tangan berjabatan, keduanya biasanya saling mengepal dan menggenggam, baru kemudian kembali ke posisi salaman. Setelah itu, tangan terkepal dipukulkan ke dada. Itu menunjukkan sikap persaudaraan di antara mereka.
Kini, menurut Billy, ada sekitar 6.000 beatboxer di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari berbagai daerah, terutama kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Palembang, Solo, Bogor, dan Pontianak. Seiring dengan tumbuhnya komunitas-komunitas tadi, ajang tahunan beatboxing juga mulai digelar. Rencananya, Oktober tahun ini Indobeatbox akan kembali mengadakan kejuaraan dalam rangka ulang tahunnya yang kedua. ”Juara tahun lalu berasal dari Palembang,” kata Sarah, Manager Indobeatbox.
Berbagai cara dilakukan oleh para beatboxer untuk mengembangkan kemampuan. Salah satunya dengan meniru para bintang tadi lewat video. Namun yang lebih seru adalah berlatih bersama di komunitas. Dalam komunitas, di antara anggotanya terjalin suasana kekeluargaan, yang menghilangkan individualisme. ”Kalau kumpul, kami biasanya sama-sama belajar dan berbagi teknik beatbox,” kata Ferry Jhon, pentolan Bandung Beatbox Community. Di Bandung ada sekitar 700 anggota komunitas.
Ferry, misalnya, merelakan usaha warung Internetnya dijadikan tempat berkumpul beatboxer Bandung. Teras yang cuma selebar satu meter sering dijejali sekitar 20 orang anggota komunitas, yang kebanyakan siswa sekolah menengah dan mahasiswa. Sebuah ruangan 2,4 x 2,4 meter sengaja dikosongkan sebagai tempat menginap anggota komunitas, yang kadang datang dari wilayah sekitar Bandung, seperti Soreang, Dayeuh Kolot, dan Rancaekek.
Beatboxer Indonesia tidak sekadar meniru bunyi-bunyian yang berasal dari negara aslinya, tapi mereka juga berkreasi sendiri. Para beatboxer di Yogyakarta, misalnya, memadukan kemampuan beatbox dengan irama lagu-lagu daerah. Mereka juga kadang menyelipkan bahasa Jawa dalam lagu itu. Sehingga beatbox di Yogya lebih dikenal sebagai conthongan, yang kurang lebih berarti suara mulut. ”Untuk keroncong dan campursari sangat sulit. Tapi untuk dangdut sangat oke,” ujar Yota Optimuzbeat, 28 tahun, seorang beatboxer Yogya.
Memadukan muatan lokal dengan beatbox juga dilakukan oleh Ferry. Ia memainkan suling tidak dengan ditiup, melainkan dengan teknik beatbox. Suling ditiup menyamping agar tidak menyulitkan mulut mengeluarkan suara beatbox. ”Di luar negeri sih sudah biasa menggunakan flute,” ujarnya. Dalam sebuah ajang pencarian bakat, Ferry dan teman-temannya juga tampil dengan menggunakan pakaian adat Sunda.
Selain menjadi hobi, beatbox kini sudah bisa ”menghasilkan” bagi sebagian punggawanya. Dalam beberapa acara hiburan, para beatboxer kerap diundang mengisi acara, ada juga yang terlibat pembuatan iklan radio, serta tampil di program televisi. Ricardo, misalnya, disewa SMAK 7 Penabur Cipinang untuk memberikan pelatihan ekstrakurikuler beatboxing kepada siswa di sana. Bahkan, pada Juli lalu, empat anggota tim Indobeatbox diundang ke Singapura sebagai pengisi acara ”8lock Party”, sebuah festival tari hip-hop internasional.
Penghasilan dari beatboxing tak dinikmati sendiri. Menurut Billy, setiap pendapatan beatboxer akan dipotong paling besar 20 persen untuk kas komunitas. Dana ini dikelola oleh manajer Indobeatbox, dan digunakan untuk kepentingan komunitas. ”Di sinilah kita berbagi,” kata Billy. Dengan begitu, kegiatan dan kebersamaan dalam komunitas bisa terus berlangsung dan berlanjut.
Tito Sianipar, Anwar Siswadi (Bandung), Muh. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo